JAKARTA - Sejarah mencatat sejak Jakarta masih disebut dengan nama Kalapa, Jacatra hingga Batavia, kota ini pernah terkenal sebagai tempat bisnis prostitusi tumbuh subur. Wanita penghiburnya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari bumiputera, China maupun Jepang, hingga Indonesia Belanda (Indo). Salah satunya yang melegenda adalah Fientje de Feniks.
Nama Fientje melegenda sebagai pelacur di Batavia. Namun, kondangnya Fientje bukan hanya karena didaulat sebagai pelucur kelas atas, melainkan karena kematiannya yang misterius dan telah membuat gempar seantero Hindia Belanda (Indonesia) khususnya Batavia.
Kematiannya yang misterius Fientje semakin ramai lantaran mendapat sorotan media besar pada 1912. Kedua media itu yakni surat kabar terbitan Batavia, Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie, dan surat kabar terbitan Surabaya, Soerabaische Handelsblad.
Dalam pemberitaannya mereka menjelaskan sesosok mayat yang kemudian diketahui sebagai Fientje terapung di Kali Baru (daerah Senen), Batavia pada 17 Mei 1912. Mayat dengan wajah rusak tersebut tersangkut di pintu air dan terbungkus karung lalu menjadi tontonan warga sekitar.
Mulanya, masyarakat menyangka jenazah tersebut sosok wanita China karena terlihat mengenakan sarung dan kebaya. Namun, setelah diidentifikasi lebih lanjut, mayat itu adalah Feniks, seorang penjajak seksual dari rumah bordil, Oemar Ompong.
“Peristiwa ini jelas membuat penduduk Batavia heboh karena ini kali pertama sebuah peristiwa pembunuhan dengan peristiwa kekerasan dan seks. Dari bukti-bukti fisik dapat disimpulkan bahwa perempuan Indo itu tewas dicekik,” ungkap Achmad Sunjayadi dalam (Bukan) Tabu di Nusantara (2018).
Investigasi terhalang suap
Atas kejadian itu, Komisaris besar polisi Batavia, Ruempol langsung menyelidiki kasus pembunuhan Feniks. Sang muncikari, Oemar Ompong menjadi orang pertama yang dimintai keterangan. Oemar yang ketakutan sontak menyebut nama seorang laki-laki Belanda, Gemser Brinkman yang ditengarai sebagai pembunuh karena kerap menggunakan jasa sang pelacur.
Oemar mengungkap Brinkman suka sekali bertandang ke rumah bordilnya. Dari banyaknya wanita pengibur yang ada, Brinkman selalu memilih Fientje sebagai teman tidur. Yang mana kemudian Brinkman disinyalir ingin memonopolinya dengan menjadikannya seorang gundik. Namun keinginan Brinkman ditolak sehingga pembunuhan pun terjadi.
Polisi skeptis dengan keterangan Oemar. Sebab, Brinkman merupakan bagian dari kelompok elite dan tercatat sebagai anggota Societeit Concordia, sebuah klub yang diisi oleh para saudagar.
Rosihan Anwar dalam bukunya Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004) menceritakan, keterangan Oemar kemudian dikuatkan oleh saksi dari kalangan pelacur lainnya, Rosna. Lewat keterangannya Brinkman mati kutu. “Ternyata Fientje menemui ajalnya di rumah pelacuran milik Oemar. Seorang pelacur lain bernama Rosna telah mengintip dari celah dinding bambu, bagaimana Brinkman mencekik leher Fientje.”
Brinkman yang mati kutu kemudian mencoba memanfaatkan kekayaannya untuk menyuap Wedana Weltevreden, Sabaroedin sebanyak tiga ribu gulden dan Asisten Kepala Jaksa sebesar dua ribu gulden untuk menutup kasus tersebut. Ia juga mencoba membayar pembela Mr. Hoorweg sebanyak 15 ribu gulden, dan jika berhasil membela hingga bebas, ia menjanjikan uang tambahan sebanyak 6 ribu gulden secara kontan.
Akan tetapi, keberuntungan tak berpihak pada Brinkman. Semua saksi malah memberatkan dan membuat Brinkman semakin terpojok. Dalam persidangan, Rosna pun berkata kepada ketua pengadilan: "Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut, tapi saya katakan sekali lagi, laki-laki itu yang telah melakukan pembunuhan."
Beruntung, pengadilan mengabulkan tuntutan. Kemudian Brinkman pun dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman mati.
“Di dalam sel kematian, sungguh dia tak bisa percaya bahwa seorang kulit putih yang kaya harus membayar dengan nyawanya sendiri karena membunuh seorang pelacur Indo. Dia lebih percaya pada teman-temannya yang berpengaruh besar Meleset. Hari eksekusinya kian mendekat. Tak bisa dibendung. Dia menangis-nangis histeris. Akhirnya Brinkman bunuh diri,” tulis Rosihan Anwar.
Melahirkan jurnalisme kuning
Kematian Fientje yang menggemparkan seisi Hindia, menjadi tonggak utama berkembangnya jurnalisme kuning di Indonesia. Hal itu terbukti dari meledaknya kasus Fientje dapat menarik orang membeli surat kabar mereka dengan meramu berita secara bombastis, sensasional, dan dibumbui dengan judul utama serta teras yang menarik perhatian khalayak. Berita sejenis itu dikenal dengan sebutan jurnalisme kuning.
Kematian Fientje memang menjadi berita besar. Sebagaimana yang diungkap Fauzan Mukrim dalam Mencari Tepi Langit (2010), berhari-hari orang mengikuti beritanya melalui Koran-koran yang terbit saat itu. Semua ingin tahun bagaimana nasib pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya.
BACA JUGA:
Tan Boen Kim, seorang wartawan dan editor mingguan Len Po yang terbit di Batavia, bahkan menulis novel berdasarkan kematian Fientje. Novel yang terbit tahun 1915 itu diberinya judul Nona Fientje de Feniks. Seperti yang sudah ditebak, novel tersebut laris manis hingga dicetak berkali-kali.
“Tan Boen Kim juga membuat sebuah syair yang dia beri judul lumayan panjang: Sair nona Fientje de Feniks dan sakalian ia poenja korban jang benar terdjadi di Betawi antara taon 1912-1915,” tutup Fauzan.