JAKARTA - Ancaman wabah adalah momok yang menakutkan. Batavia (kini: Jakarta) pernah merasakan. Abainya maskapai dagang Belanda, VOC jadi muaranya. Alih-alih peduli kepada lingkungan hidup, VOC justru mengedepankan masifnya pembangunan. Wabah kolera dan malaria pun mengancam.
Kematian di mana-mana. Kehadiran rumah sakit dianggap jawaban. Nyatanya tidak. Mereka yang berobat bukannya sembuh, justru meninggal. Orang-orang pun menjuluki Batavia sebagai kuburan orang-orang Belanda.
Kota Batavia adalah contoh nyata abainya Kompeni terhadap lingkungan hidup. Maskapai dagang Belanda itu melulu memikirkan keuntungan semata. Masalah lingkungan hidup dianggapnya sepi saja. Kompeni terus membangun Batavia. Pun izin pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan terus diberikan. Akibatnya, pembalakan hutan semakin ramai.
Kondisi itu diperparah dengan kemunculan ragam industri yang direstui Kompeni. Dari penyulingan arak, batu-bata, gula, hingga mesiu. Pabriknya dibangun di seantero Batavia. Artinya, ada banyak limbah yang siap mencemari sungai.
Jangankan Kompeni, orang Belanda yang mendiami Batavia sama bebalnya. Apalagi mereka terus melanggeng aktivitas merusak lingkungan dengan buang sampah dan buang hajat di pinggir sungai. Padahal, mereka sehari-hari meminum air dari sungai Ciliwung. Sikap abai itu harus dibayar mahal.
Kehadiran wabah jadi tamu yang tak diundang di Batavia. Wabahnya bermacam-macam. Kolera dan malaria utamanya. Kedua wabah itu jadi pembunuh nomor satu di Batavia. Pun wabah itu tak mengenal status sosial. Alias, siapa saja berpeluang terkena wabah dan meninggal dunia. Kematian Gubernur Jenderal VOC Dirk van Cloon (1732-1735) jadi contohnya.
“Markas VOC di Batavia sekarang mendapat reputasi buruk sebagai sumber wabah mematikan yang terus dipertahankan hingga abad ke-19. Kolam-kolam ikan yang dibangun sepanjang pesisir. Batavia merupakan tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk-nyamuk anopheles. Sejak 1733, kota ini menyebarkan wabah malaria yang mematikan. Antara 1733 dan 1795, sekitar 85 ribu serdadu dan pejabat VOC di Batavia mati karena wabah ini dan sebab-sebab serupa.”
“Pada tahun 1734, diumumkanlah satu hari pembacaan doa dan puasa untuk memohon kepada Tuhan agar melenyapkan wabah tersebut dari kota ini. Permohonan penduduk Batavia, yang sering dianggap sebagai gembel bermoral bejat dan tidak beriman, ini tidak mengubah keadaan. Penyakit terus merajalela dan mengakibatkan meninggalnya Gubernur Jenderal Dirk van Cloon,” ungkap sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Rumah Maut
Kompeni tak tinggal diam. Mereka berupaya keras melawan wabah. Beberapa rumah sakit disiagakan untuk mengobati warganya yang terkena wabah. Jauh panggang dari api. Rumah sakit bukan jawaban. Pasien yang datang bukannya sembuh, justru mereka banyak yang meninggal dunia.
Semua itu karena ilmu kesehatan belum memperoleh kemajuan signifikan. Ketidaktahuan dokter yang menangani wabah, ditambah ketiadaaan obat jadi muara masalah. Bahkan, tak jarang obat-obat yang digunakan untuk penyakit lainnya diaplikasikan kepada pasien yang terkena wabah.
Orang-orang di Batavia kemudian menjuluki rumah sakit sebagai rumah maut. Kematian sehari-hari bisa mencapai puluhan orang. Narasi itu membuat orang-orang enggan berobat ke rumah sakit. Lagi pula, datang ke rumah sakit seraya mengantar nyawa.
Opsi lainnya (selain rumah sakit) jadi pilihan. Banyak di antara orang kaya dan sangat kaya datang langsung ke rumah dokter yang dipercayai dapat meracik obat wabah kolera atau malaria. Kadang kala, mereka tak memedulikan status pendidikan dokter yang menanganinya.
Andai kata dokter mata dapat meracik obat untuk sembuh dari wabah, maka dokter itu ramai dikunjungi. Bagi yang belum kena wabah, satu-satunya langkah preventif yang dapat dilakukan adalah segera pindah ke kota-kota sekitarnya yang masih aman.
Petaka wabah itu akhirnya jadi bukti bahwa Kompeni gagal membangun Batavia. Narasi buruk Batavia menghadapi wabah diabadikan oleh pelancong-pelancong dari luar negeri. Karenanya, Batavia pun erat dijuluki sebagai graf der Hollanders atau kuburan orang-orang Belanda.
BACA JUGA:
“Di Batavia, terasa mengejutkan banyaknya pasien yang dirawat di rumah sakit mengingat kecilnya jumlah penduduk Eropa, betapa pentingnya dianggap kehadiran suatu lembaga seperti panti asuhan.”
“Tapi juga harus diingat tingginya tingkat kematian orang dewasa karena masalah kesehatan yang buruk, epidemi, dan penyakit tropis di tempat yang begitu tidak sehat, schingga sepanjang abad ke-17 dan ke-18 Batavia dikenal sebagai kuburan orang Eropa,” tutup Bruzen de la Martiniere sebagaimana ditulis Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006).