JAKARTA - Ketergantungan penjajah Belanda akan budak terlampau tinggi. Budak dianggap memiliki nilai tinggi. Kadang kala budak dibutuhkan untuk membantu rumah tangga. Kadang pula budak digunakan membantu pekerjaan tuannya di perkebunan.
Perbudakan pun menjelma jadi status sosial baru. Makin banyak budak, maka semakin kaya seseorang. Kondisi itu berbanding terbalik dengan nasib budak. Mereka kerap disiksa bak binatang. Karenanya, peristiwa budak bunuh diri dianggap biasa di Batavia.
Keinginan maskapai dagang Belanda VOC memonopoli perdagangan rempah di Nusantara sudah bulat. Batavia (kini: Jakarta) dijadikan sebagai pusat kekuasaan VOC. Namun, urusan membangun pusat kekuasaan (negeri koloni) tak mudah.
Kualitas fisik orang Belanda di daerah tropis tak dapat diandalkan. Empunya kuasa justru butuh tenaga tambahan. Siasat mendatangkan banyak budak jadi ajian. Hasilnya gemilang. Permintaan akan budak meningkat.
Kompeni dapat pemasukan tambahan dari menjual budak. Sedang pejabat atau penguasa dapat tenaga kerja tambahan yang terjangkau. Budak-budak pun difungsikan di segala bidang. Urusan pembangunan, jaga ternak, rumah tangga, dapur, dan kasur.
Kehadiran budak dalam rumah tangga orang Belanda pun menjelma bak budaya baru. Perbudakan justru dianggap sebagai simbol status sosial baru di Batavia. Barang siapa yang memiliki banyak budak, maka dia akan dilihat sebagai keluarga terpandang dan kaya raya.
Tuan-tuan kulit putih bahkan tak sungkan memamerkan banyak budaknya dalam suatu acara tertentu. Banyak budak dilibatkan untuk mengantar tuannya ke gereja atau pemakaman. Budak-budak itu hanya memiliki tugas remeh-temeh.
Ada yang membawa payung tuannya. Ada pula yang membawa kotak sirih majikannya. Ketergantuan tuan kulit putih itu membuat kehadiran budak dalam rumah tangga orang Belanda tak cukup satu. Bahkan, satu tuan kulit putih bisa memiliki ratusan budak yang dapat memainkan ragam peran.
BACA JUGA:
“Orang-orang Eropa yang kaya di Batavia abad ke-17 bisa memiliki 100 orang budak atau lebih, dan pasar budak utama di kota sejak awal merupakan tempat yang penuh sesak dan meriah. Para pekerja Melayu, India, Burma, dan Bali ini dilatih untuk mengisi ceruk-ceruk sangat kecil dalam struktur tenaga kerja rumah tangga – iklan-iklan menyebutkan kebutuhan akan tukang menyalakan lampu, pengurus kereta kuda, pengantar surat, pembuat teh, pembakar roti, tukang jahit kasur, dan yang paling spesial, tukang pembuat sambal.”
“Budak-budak wanita yang melayani nyonya-nyonya diperkerjakan sebagai tukang pijat atau penata rambut; gadis-gadis itu pintar merancang rambut menjadi bentuk yang dikenal dengan nama konde, yang sangat disukai di salon-salon zaman itu. Karena mereka begitu banyak dan murah, budak-budak sering kali tidak mempunyai banyak pekerjaan dan hanya duduk-duduk sambil berjudi untuk mengisi waktu,” terang Simon Winchester dalam buku Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 (2006).
Budak Bunuh Diri
Populasi budak di Batavia kian bertambah tiap tahunnya. Kondisi itu membuat Batavia era Kompeni sempat dijuluki Kota Budak. Tuan-tuan kulit putih merasa kehadiran budak cukup membantu. Namun, berbeda bagi budak. Mereka tak dapat memilih siapa yang akan menjadi majikannya.
Barang siapa yang mampu membayar, maka dapat menjadi majikan budak. Kondisi itu dapat jadi petaka bagi budak yang memiliki tuan dengan tabiat jahat dan keji. Budak tak dapat salah sedikit. Budak yang tak dapat bekerja sesuai arahan akan mendapatkan hukuman keji.
Budak kerap dipaksa bekerja siang-malam tanpa henti. Bentakan, tendangan, dan pukulan jadi hal biasa. Pun budak tak jarang diikat bak diinterogasi dengan cara disiksa. Model siksaan sadisnya beragam. Ada yang meneteskan air panas ke kepala budak. Ada juga yang mencambuk budak.
Siksaan itu membuat budak tak kuasa lagi hidup di dunia. Satu-satunya opsi yang dapat dilakukan supaya siksaan hidup berakhir adalah kematian. Budak pun memilih untuk melanggengkan bunuh diri. Semuanya karena kematian bisa membuat budak terbebas.
Namun, majikan jahat di Batavia bukan satu dua orang saja. Majikan jahat ada di mana-mana di Batavia. Alias bejibun. Kondisi itu membuat angka bunuh diri budak terhitung tinggi. Pun urusan bunuh diri budak kemudian dianggap hal biasa di Batavia. Kompeni sendiri tak terlalu peduli urusan budak.
“Mereka menyiksa para budak yang malang itu dengan begitu kejamnya sehingga sebagian besar merasa putus asa dan bunuh diri. Ada yang gantung diri, ada yang menggunakan besi, ada juga yang terjun ke air di mana kematian tampaknya tidak terlalu menyiksa.”
“Semasa saya di Batavia, ada dua budak yang menggorok lehernya sendiri dan satu orang menenggelamkan diri. Jika para pria merupakan penyebab para budak bunuh diri, maka para wanita majikan lebih kejam lagi dengan bersenang-senang membunuh sendiri para budak serta memuaskan mata mereka dengan tontonan yang begitu mengerikan,” terang Jean Baptiste Tavernier sebagaimana ditulis Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006).