Perdagangan budak masif dilakukan di fase awal kolonialisme Belanda. Kehadiran budak tak ubahnya tenaga kerja murah. Bahasa mudahnya: budak serba bisa. Sekali beli, empunya dapat dengan kejam mengeksploitasi tenaga budak sesuka hati. Posisi itu buat budak –pria atau wanita-- rentan menerima siksaan. Acap kali di luar batas. Amarah budak memuncak. Mereka memilih berontak. Balas dendam dilanggengkan. Lantaran itu meracuni majikan jadi cara terbaik membalaskan dendam kesumatnya.
Citra Batavia sebagai pasar budak telah kesohor sejak fase awal kolonialisme Belanda di Nusantara. Kurangnya tenaga kerja di Batavia jadi musababnya. Opsi mendatangkan budak dari luar dan dalam negeri dipilihnya.
Benar saja, perbudakan mampu membantu tumbuh kembang maskapai dagang Belanda VOC. Terutama dalam membangun kota Batavia dan meluaskan kuasanya. Karenanya, warga Batavia (orang Eropa, China, serta Arab) menganggap kenyamanan hidup mutlak butuh “nyala api” perbudakan. Budak jadi buruan segenap warga Batavia. Acara lelang budak pun jadi acara yang paling ramah dikunjungi para calon majikan.
Kunjungan itu dilakukan supaya mendapatkan budak berkualitas, pikir mereka. Sebab, mereka dapat memilih budak sesua kriteria masing-masing. Budak pria biasanya dilihat dari kemampuan dan keterampilannya dalam bekerja.
Sedang budak wanita biasanya dilirik dari paras, suara, serta kemampuan menjalankan pekerjaan rumah. Di sisi lain, harga dan latar belakang budak juga jadi salah satu pertimbangan membeli budak. Semua itu demi mencari budak yang andal untuk ragam pekerjaan.
“Budak diperkerjakan sebagai tukang, pekerja kebun, di galangan kapal, di gudang atau di rumah tangga. Ada yang diharuskan menjual hasil pertanian atau melacur, supaya si pemilik mendapatkan rezeki. Demikian misalnya Chr. Frick membeli seorang wanita muda seharga 18 rijksdaaleder dari Bali, yang kemudian ia pekerjakan untuk mendapat dua perak sehari (1683).”
“Budak yang untung digunakan sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai pengiring majikan guna mempertontonkan kekayaannya. Yang lain disewakan untuk memperolah pendapatan misalnya untuk bekerja di Pulau Onrust atau di perkebunan di luar kota,” ungkap tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta, Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta (2016).
Kemampuan untuk membeli itu membuat empunya budak merasa superior. Budaknya diperlakukan tidak manusiawi. Pekerjaan mereka berat. Mereka tak jarang dipaksa bekerja siang malam untuk menghidupi majikannya.
Perihal kesehatan budak tak terlalu dipikirkan oleh majikannya. Andai kata budak meninggal dunia, majikan akan menganggapnya sepi saja. Mereka tinggal datang ke pasar lelang, lalu membeli budak yang baru. setelahnya masalah selesai.
Perlakuan buruk majikan terus berlanjut. Mereka sering menyiksa budaknya dengan kejam. Bahkan, hanya karena masalah kecil. Perilaku itu didukung pula oleh aturan yang dibuat oleh Kompeni. Yang mana, aturan itu menyebutkan jika budak sulit dikendalikan, maka penyiksaan kepada budak dilegalkan. Karena itu, aturan tersebut memantik kesewenang-wenangan majikan kepada budak. Mereka sering kali diberikan hukuman kejam nan keji. Dirotan, dirantai, dicap besi panas, hingga disiram air panas. Jika tak mampu menghukum, para majikan dapat menyewa orang lain untuk menertibkan budak.
“Jika para pria merupakan penyebab para budak bunuh diri, maka para wanita majikan lebih kejam lagi dengan bersenang-senang membunuh sendiri para budak serta memuaskan mata mereka dengan tontonan yang begitu mengerikan. Seorang wanita Belanda, yang memergoki salah seorang budak perempuannya tengah bersenda-gurau dengan seorang pria yang bekerja di rumahnya, menyeret budak itu dan menjejalkannya secara paksa ke dalam martavane (martaban), sejenis tempayan, suatu wadah besar dari tanah yang dipernis berukuran sedikit lebih besar daripada takaran kuno kita.”
“Perut tempayan itu besar tapi mulutnya amat sempit dan mengecil ke arah dasarnya. Di tempat seperti itu air dapat tersimpan tanpa pernah berbau busuk atau berkutu. Setelah budak malang itu dimasukkan ke dalam martaban itu dengan susah-payah, sang majikan meneteskan air mendidih sedikit demi sedikit di atas kepalanya hingga wadah itu pesuh dan tubuhnya kepanasan, lalu mati kelelap,” terang Jean Baptiste Tavernier sebagaimana ditulis Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis (2006).
Balas Dendam
Perlakuan buruk dan angka kematian budak yang tinggi jelas tak berarti apa-apa bagi majikannya. Tapi tidak bagi budak itu sendiri. Kekejaman dan siksaan yang didapatnya begitu membekas. Beberapa budak yang tak kuat menerima siksaan memilih kabur.
Tapi mereka yang sudah terbakar amarah justru memiliki berontak. Mereka mencoba melakukan perlawanan kerena terlanjur sakit hati. Cara perlawanan yang paling populer dipilih oleh budak adalah dengan meracuni majikannya.
Kepopuleran cara membunuh majikan dengan racun bukan tanpa alasan. Mudahnya kaum budak mengakses racun –dalam jumlah sedikit atau banyak-- jadi muasalnya. Lagi pula, hampir setiap warung China yang berjualan di Batavia paling tidak menjual ragam jenis racun.
Penjual tidak terlalu peduli atau skeptis dengan peruntukan racun yang dibeli. Satu-satunya yang dipikirkan oleh mereka adalah keuntungan. Racun-racun itu kemudian disimpan oleh kaum budak sembari menunggu saat yang tepat.
“Meracuni majikan laki-laki atau perempuan sering diawali dengan aneka upacara yang melibatkan ilmu sihir, seperti terungkap dari rangkaian proses pengadilan kasus ilmu sihir tahun 1638-1639. Percobaan meracuni selalu dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Maria van Macassar, budak perempuan Margareta van de Cust dijatuhi hukuman mati dengan dicekik di tiang pada 1674, ia dipersalahkan melancarkan serangkaian ilmu sihir juga meracuni menantu laki-laki majikannya, Jan Slecht.”
“Pada 1681, jaksa kota Casembroot memperlihatkan kepada pengadilan dua potong arsenikum yang ditemukan pada budak perempuan Hester van Malabar. Budak ini mengaku telah meracuni mantan majikannya, Nona Reiniers. Ia juga mengaku menghaluskan racun itu menjadi bubuk dengan maksud hendak dimasukkan dalam air minum Dirck Heckman dan istrinya,” ungkap Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
Banyaknya kasus majikan yang mati karena diracun membuat VOC bergerak cepat. Mereka membatasi penjualan racun di Batavia. Toko yang dapat menjual racun hanya toko yang diberikan izin oleh VOC. Pun pembelinya dibatasi. Itupun kepada mereka yang namanya sudah terdaftar saja.
Namun, pembatasan penjualan racun tak efektif. Keuntungan yang ditinggi dari penjualan racun justru memicu kemunculan pedagang racun ilegal. Apalagi VOC sebagaimana yang sudah-sudah tak pernah serius dalam melakukan penindakan.
Tingginya tingkat pembelian racun juga meningkat karena masalah percintaan budak dan majikan. Hubungan itu digambarkan tiga jenis: antara sesama budak, antara majikan pria dan budak wanita, dan antara majikan wanita dengan budak laki-laki. Khusus yang terakhir jarang terjadi.
Percintaan itu bak hubungan terlarang. Tapi, cukup emosional. Apalagi ketika majikannya mulai mendapatkan pujaan hati sesama warga bebas. Budak yang terbakar api cemburu langsung bertindak gelap mata dengan meracuni keduanya, atau salah satu di antaranya.
“Perempuan budak yang main cinta dengan majikan pria terancam penderitaan berat, sebab majikannya yang perempuan tentu saja cemburu dan murka. Namun menurut perwira Inggris, Major William Thorn pernah juga terjadi budak perempuan meracuni majikannya yang pria karena ia dicampakkan oleh mantan kekasihnya itu,” tertulis dalam buku Ketoprak Betawi (2001).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.