Ketika Perbudakan jadi Simbol Kekayaan di Nusantara
Foto keluarga Eropa bersama budaknya (Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Perbudakan adalah salah satu bentuk peradaban tertua di muka bumi. Sejak peradaban Sumeria di Mesopotamia 3500 SM, orang-orang telah dikuasai hajat hidupnya oleh orang-orang lain yang berasal dari kelas sosial lebih tinggi. Perbudakan pun meluas dan melanggeng. Ia menyentuh peradaban di Eropa, Afrika, Amerika, hingga Nusantara di Benua Asia. Praktik itu dilakukan sepanjang penguasaan Belanda dan kongsi dagangnya, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Kala itu, sekitar tahun 1600-an, aktivitas VOC di Nusantara tak sekadar membangun benteng, markas, serta pos dagang belaka. Mereka juga mempraktikkan jual-beli manusia sebagai budak. Kebanyakan mereka yang menjadi budak didatangkan dari wilayah Asia, seperti India, Sri Lanka, Malaysia, Filipina serta beberapa yang berasal dari kepulauan Indonesia, mulai dari Bali, Sulawesi, hingga Sumatera.

Selain di Asia, VOD yang memiliki kuasa di Tanjung Harapan juga kerap berbelanja di pasar budak di belahan Afrika Timur. Selain membeli, VOC juga menjadikan orang-orang yang ditaklukkan wilayahnya sebagai tawanan perang. Tentu saja, para tawanan itu kemudian dijadikan budak. Semau-maunya VOC. Mereka kadang menjual atau memanfaatkan para budak untuk keperluan mereka sendiri.

BACA JUGA:


Penguasaan VOC atas hidup budak-budaknya terlihat sejak awal mereka menguasai Nusantara. Kala itu, VOC mengirimkan puluhan ribu orang untuk dijadikan budak di markas-markas dan pos dagang mereka yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara. 

Reggie Baay, dalam tulisannya, Belanda Sembunyikan Sejarah Perbudakan di Indonesia menjelaskan, “Dari penelitian, terbukti bahwa selama keberadaannya, kongsi dagang Hindia Timur VOC, diperkirakan telah memperdagangkan, mempekerjakan dan mengangkut dengan kapal antara 600 ribu sampai sejuta orang yang dijadikan budak. Sebagai pembanding, keseluruhan perdagangan budak di wilayah barat diperkirakan mencapai antara 500 ribu dan 600 ribu orang.”

Simbol kekayaan

Dalam perkembangannya, budak tak hanya jadi alat bantu orang-orang kelas atas. Para budak itu juga kemudian menjadi simbol kekayaan yang menentukan status sosial seseorang di tengah masyarakat. Dengan kata lain, siapa yang memiliki jumlah budak paling banyak, maka ia lah yang paling terhormat. Situasi sosial itu dijelaskan Nicolaus de Graaff, dalam buku berjudul Reisen van Nicolaus de Graaff, na de vier gedeeltens des werelds (1701).

De Graaf mencontohkan, “Adalah kemewahan dan kesombongan yang luar biasa dipertontonkan oleh perempuan-perempuan di Batavia-Belanda, Mestizo dan juga campuran, terutama ketika mereka pergi dan pulang dari gereja. Untuk acara seperti itu, segala sesuatunya disiapkan secara lebih mewah dibandingkan saat-saat lain. Selanjutnya, mereka duduk di antara ratusan orang di gereja dengan lagak seperti boneka.”

“Seorang perempuan Belanda yang paling rendah derajatnya pun memiliki budak yang mengiringinya dengan membawa payung sebagai pelindung dari panas matahari. Banyak dari mereka memiliki parasol berbordir naga emas dan ornamen dedaunan,” tertulis.

Gambaran itu dilengkapi oleh Tavernier dalam catatan perjalanannya yang berjudul Travels in India (1889). Ia menuliskan deskripsi lebih jauh tentang para budak dari perempuan yang dikisahkan De Graaf. Selain membawakan payung, para budak juga digunakan untuk membawakan buku doa, kipas, kotak sirih, serta baskom untuk menyirih.

Foto perbudakan zaman Belanda (Commons Wikimedia)

Maka, jadi pemandangan umum kala itu, ketika seorang majikan keluar rumah, ia akan didampingi oleh lima sampai enam orang. Mereka berbagi tugas. Bahkan, saking banyaknya budak yang melayani majikan Eropa, seseorang bisa terlihat seperti ratu dan raja. Budak mereka jadikan pelayan sejati, bahkan untuk mengambil sedotak di dekat kaki mereka sendiri.

Tak cuma perintah-perintah tak masuk akal. Konsekuensi yang dihadapi budak dalam melayani majikan-majikannya pun menyakitkan. Makian "anak pelacur, pelacur jelata, hingga anak anjing" akan dilepeh oleh si majikan. Tak cuma verbal. Penganiayaan pun akan dialami para budak. Kala itu, hukuman fisik paling umum adalah diikat, dicambuk, atau dipukul dengan kayu rotan yang tajam dan bergerigi hingga budak berdarah-darah dan terkelupas kulitnya.

BACA JUGA:


Jurnalis senior Alwi Shahab, dalam tulisan berjudul Jakarta Kota Budak memaparkan lokasi pelelangan para budak. “Sekarang ini, bekas tempat jual beli budak masih kita dapati di Kali Besar Timur, Jakarta Barat. Tepatnya di Toko Merah, bangunan abad ke-18 yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Di tempat ini dan sekitarnya, sewaktu-waktu terjadi lelang.”

“Berapa harga seorang budak tergantung kecantikannya untuk budak wanita. Sedangkan, laki-laki yang berbadan kekar dan kuat. Di antara para budak yang dianggap beruntung adalah mereka yang dijadikan nyai.” tulis Alwi Shahab.