Bagikan:

JAKARTA - "Kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun dan akan tetap berada di sini selama 300 tahun lagi. Bila perlu dengan tongkat dan senjata.”

Begitulah kalimat terkenal yang keluar dari mulut seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir, Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer yang memerintah pada tahun 1936 hingga 1942, sedari kali pertama memegang kuasa.

Sayangnya, jangankan berkuasa 300 tahun lagi, kekuasaan Belanda atas Indonesia, terhitung setelah dirinya menjabat hanya memiliki durasi relatif singkat, yaitu 6 tahun saja.

Hal itu dikarenakan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 8 maret 1942, yang diwakili dirinya dan Panglima KNIL (tentara kerajaan Belanda) Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, menandatangani dokumen penyerahan tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat.

Berdasarkan itu, pada tanggal 9 Maret 1942 kuasa Belanda secara resmi berakhir di bumi Nusantara. Tak hanya status gubernur jenderal saja yang lepas dari Tjarda. Dirinya juga harus menanggung malu kekalahan tersebut, sampai dirinya sendiri menjadi tawanan perang.

Hal itu ditulis oleh M. Adnan Amal dalam bukunya berjudul Kepulauan Rempah-Rempah (2016). Ia mengungkap, “Mr. Tjarda pada mulanya ditahan di sebuah rumah di Bandung, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin.”

Hingga pada 2 januari 1943, bersama tahanan internasional lainnya, ia dibawa ke Formosa, Taiwan. Setelahnya, ia dibawa ke Manchuria. Baru setelah tahun 1945, dirinya dibebaskan setelah Jepang menyerah dalam perang Pasifik.

Sayangnya, meski telah kembali, narasi Hindia yang sejatinya ingin dikuasai 300 tahun lagi, hanya terdengar seperti bualan, karena Indonesia telah menjadi Negara merdeka.

Alasan runtuhnya Hindia Belanda

Jikalau dianalisis, runtuhnya Hindia-Belanda tak cuma berdasarkan fakta Jepang yang perlahan-lahan menguasai Nusantara, dari Kalimantan hingga Jawa. Keruntuhan sebenarnya sudah tercium jauh sebelum itu. Hal itu dikarenakan adanya kebijakan yang mengundang keruntuhan.

Dikutip dari Sejarawan Ong Hok Ham, dalam tulisan kolomnya di majalah Tempo yang berjudul Runtuhnya Sebuah Negera Pejabat: Hindia-Belanda, Desember 1942 (1981). Merunut sejarah, suatu aparatus negara biasanya berkembang menurut kepentingan rakyat. Sayangnya, tak demikian dengan negara kolonial.

Kehadiran pemerintah kolonial Belanda di bumi Nusantara malah mencengkram masyarakat yang lemah. Berkat ulah tersebut, wawasan politik mengenai gejolak masyarakat menjadi tak ada sama sekali. Oleh Ong disebutkan Hindia Belanda sebagai suatu negara pejabat (Beamtenstaat), yang kaku mengadapi persoalan di bawah.

“Dengan sendirinya, kondisi demikian menyebabkan kerenggangan antara negara dan rakyat yang dikuasainya. Malahan dapat timbul kesan penindasan dari atas ke bawah, karena birokrasi tidak berakar pada realitas masyarakat," tulis Ong.

"Pun tidak ada usaha sama sekali untuk membangun jembatan antara pemerintah dan rakyat Indonesia. Semua gerekan dari bawah diabaikan, permintaan-permintaan ditolak,” tambah Ong.

Masalah itu tentu tak dapat dikatakan remeh. Sebab, jika pemerintah Belanda mau memberi banyak hal atau menjanjikan rakyat Indonesia seperti parlemen dengan mayoritas orang Indonesia, setidaknya masyarakat menjadi mendukung.

Kiranya, itulah yang tak dilakukan Belanda. Efeknya, kala Jepang mulai menggelorakan narasi kebanggaan sebagai orang Asia, sampai urusan kecantikkan. Seperti yang diungkap L. Ayu Saraswati berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2013), pendudukan Jepang membuat orang Eropa atau Indo-Eropa yang sebelumnya menganggap dirinya berada di posisi istimewa merosot.

Maka dari itu, Jepang yang seakan ingin mengembalikan martabat negara-negara di Asia, lalu mendapat dukungan dari beberapa tokoh besar seperti Soekarno maupun Hamka. Padahal, Jepang sebenarnya tak sungguh-sungguh menjanjikan kemerdekaan.

Selain itu, runtuhnya Hindia-Belanda bukan cuma disebabkan oleh hubungan buruk antara rezim dan rakyat. Tetapi terletak pada lemahnya alat-alat perang dan infrastruktur militer kuno Belanda sejak ratusan tahun terakhir memang tidak mengalami perang Internasional.

Betapa tidak, infrastruktur militer yang ada hanya cocok digunakan untuk memuluskan eksistensi menguasai nusantara belaka melawan raja-raja lokal saja, sedangkan saat berhadapan dengan Jepang, Hindia-Belanda di buat runtuh untuk selama-lamanya.

Atas kuasa itu, Hamka menggambarkan perpindahan kekuasaan itu lewat sebuah puisi berjudul Di atas Roentoehan Malaka–Lama dalam Pandji Poestaka nomor 25 (1943). Berikut penggalan puisinya yang dikutip dari tulisan kolom Goenawan Muhamad di Majalah Tempo berjudul Nippon (2003):

Pendiriankoe sekarang tetaplah soedah,

Berjoeang sampai sa’at jang achir,

BERSAMA NIPPON, Madjoe melangkah,

KEBESARAN ASIA MESTILAH LAHIR…