JAKARTA – Sejarah hari ini, 340 tahun yang lalu, 11 Agustus 1683, maskapai dagang Belanda, VOC melangsungkan monopoli perdagangan lada di Jambi. Ajian monopoli itu dilanggengkan dalam sebuah perjanjian yang memaksa Kerajaan Jambi harus menjual Lada, kain, candu (opium) hanya kepada Kompeni.
Sebelumnya, nafsu kompeni memonopoli perdagangan rempah Nusantara bukan cuma pepesan kosong belaka. Mereka melanggengkan segala cara untuk merebut kuasa. Perang dan politik adu domba jadi yang utama.
Keinginan Kompeni menguasai perdagangan rempah di Nusantara tiada dua. Narasi itu membawa Kompeni melanggengkan penaklukkan kerajaan-kerajaan Nusantara. Mulanya Kompeni masuk bak seorang sahabat.
Perjanjian menguntungkan antara satu dan lainnya dijalin. Masalah muncul ketika penguasa setempat mulai merasa nyaman. Kompeni kemudian memainkan perannya melanggengkan perang. Itulah yang kemudian dihadirkan Kompeni dalam penaklukkan vasal Kesultanan Banten, Jayakarta pada 1619 dan pembantaian di Kepulauan Banda pada 1621.
Penaklukkan itu membuat Kompeni menguasai perdagangan rempah yang ada. Namun, opsi perang yang diambil terlalu banyak memakan biaya. Mau tak mau VOC mengubah siasat untuk dapat memopoli perdagangan rempah Nusantara.
Kompeni memilih siasat yang lebih elegan. Devide et impera, namanya. Politik adu domba itu pun membawa Kompeni ke puncak kejayaan. Kompeni untung besar karenanya. Apalagi biaya yang dikeluarkan relatif kecil dibanding perang.
Kompeni juga melanggengkan siasat itu untuk menguasai perdagangan lada di Banten. Empunya kuasa mencoba mengadu domba Penguasa Banten, Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji. Ajian itu berhasil.
Kuasa Sultan Ageng Tirtayasa dapat diakhir. Sebagai bentuk rasa terima kasih, Sultan Haji memberikan Kompeni banyak kewenangan dan melanggengkan perjanjian damai.
“Pada tahun 1656 pasukan Banten bergerilya di sekitar Batavia. Pada tahun 1657 Belanda menawarkan perjanjian damai, namun perjanjian itu hanya menguntungkan Belanda, sehingga ditolak oleh sultan. Pada tahun 1580 mulailah perang besar. Perang ini berakhir pada 10 Juli 1659 dengan ditandai penandatanganan perjanjian gencatan senjata,” Tri Hatmadji dalam buku Ragam Pusaka Budaya Banten (2007).
Kompeni kemudian ingin melebarkan sayapnya ke Kerajaan Jambi. Empunya kuasa melihat Kerajaan Jambi mengontrol perdagangan lada yang besar. Kompeni pun kepincut. Mereka sempat mendirikan loji di Muara Kompeh.
Ajian itu tak membawakan hasil. Segenap penduduk Jambi ogah menjual hasil bumi kepada Kompeni. Kompeni pun berang. Mereka kemudian mencari cara untuk dapat memonopoli perdagangan rempah di Jambi. Devide at Impera pun kembali digunakan.
Kompeni pun menawarkan perlindungan kepada Kesultanan Jambi jika mendapatkan ancaman dari Kerajaan Johor. Upaya itu membuat Kompeni berada di atas angin. Kerajaan Jambi merasa terbantu dan ingin balas jasa.
Akhirnya, monopoli perdagangan lada di Jambi pun berhasil dilanggengkan pada 11 Agustus 1683. Perjanjian itu juga membuat seisi Jambi harus menjual hasil buminya kepada Belanda saja. Dari Lada, kain, hingga candu.
BACA JUGA:
“Kompeni Belanda jelas sudah mulai campur tangan urusan Kerajaan Jambi. Dengan menyodorkan suatu perjanjian tahun 1643 yang hakikatnya memaksakan monopoli perdagangan, tetapi ditolak, akhirnya Sultan Abdul Kahar berhenti dan digantikan oleh Sultan Abdul Jalil yang dapat mengikuti kehendak VOC Pada masa pemerintahan Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Johor di mana kerajaan Jambi mendapat bantuan VOC dan akhirnya menang.”
“Meskipun demikian, sebagai upah bantuan itu VOC berturut-turut menyodorkan perjanjian tanggal 12 Juli 1681, 20 Agustus 1681, 11 Agustus 1683, 20 Agustus 1683 yang pada hakikatnya perjanjian-perjanjian tersebut menguatkan monopoli pembelian lada dan sebaliknya VOC memaksakan untuk penjualan kain dan opium,” terang Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III (2019).