Resensi Buku <i>Perdagangan Lada Abad XVII</i> - Kala Lada Menjadi Alat Tukar Ideal
Buku Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan "Emas" Putih dan Hitam di Nusantara. (Detha Arya Trifada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sedari dulu, daya tarik rempah-rempah nusantara begitu besar. Saking kesohornya, bangsa Eropa sampai terhipnotis datang jauh-jauh untuk mendapatkan rempah seperti Pala, Cengkih, dan Lada.

Menariknya, di antara daftar rempah yang paling dicari, ada nama lada atau merica berada dalam daftar teratas. Setidaknya, itulah yang yang dijabarkan dalam buku Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan "Emas" Putih dan Hitam di Nusantara (2019).

Lewat buku yang ditulis oleh Sejarawan dan jurnalis Senior Kompas, P. Swantoro, perihal populernya lada nusantara di mata masyarakat Eropa bukanlah pepesan kosong belaka. Sebab, sejak dulu lada dikenal sebagai barang mewah alias untuk mendapatkan lada, orang-orang Eropa harus merogoh kocek yang lumayan tebal.

Kala itu, perdangan lada dapat disetarakan dengan harga emas. Bagi orang Eropa adanya lada dapat memberikan cita rasa yang khusus pada makanan mereka sehari-hari. Yang mana, sebelum adanya lada, orang Eropa hanya makan daging yang diasapi dan diberi garam saja tanpa adanya citarasa yang menggugah selera.

Alhasil, lewat penjelajahan demi penjelajahan orang Eropa ke Indonesia, lada kemudian dapat dikonsumsi secara merata oleh orang Eropa. Perdagangan lada pun menjadi sedemikian hidup sehingga geliat perdagangan perlahan-lahan mulai berubah menjadi keinginan sepihak, seperti yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia.

Terang saja peristiwa itu berdampak besar bagi sejarah bangsa. Penjajahan atas dasar monopoli sumber daya alam sungguh tak bisa dibenarkan.

Kendati demikian, bukan berarti kita tak dapat belajar dari peristiwa yang telah lalu. Apalagi, melalui buku yang terbilang tipis ini orang-orang dapat memandang secara luas terkait perdagangan lada di Nusantara.

Beberapa di antaranya mulai dari berharganya lada bagi masyarakat Eropa, lada dan Tiongkok, bedanya lada hitam dan putih, dan lada picu kolonialisme. Semuanya ditulis dengan tujuan supaya pembaca dapat mengetahui seluk beluk lada nusantara.

Berharganya Lada

Berharganya lada bagi orang Eropa merupakan fakta yang tak dapat disangkal. Saat itu, hanya orang kaya dan sangat kaya saja dapat membeli lada.

Hal itu dikarenakan jalan yang ditempuh untuk sampai ke Eropa memberatkan bagi pedagang, terutama dalam perihal makan biaya besar dan proses yang berbelit-berbelit karena harus membayar pajak sana sini.

Hasilnya, jumlah lada yang dapat diangkut sampai ke Eropa tidaklah besar. Uniknya, itulah yang membuat lada menjadi alat tukar yang ideal pada masa itu.

"Lada adalah alat tukar yang ideal. Ia berharga bagaikan terbuat dari emas. Biaya melintas, sewa, pajak, bahkan denda pengadilan, dapat dibayar dengan lada. Lada bisa membeli tanah dan pulau, melunasi barang gadaian, serta membeli kewarganegaraan dan persenjataan lengkap, wanita cantik, kuda tergagah, perhiasan terindah, karpet berharga, bulu hewan langka: semua bisa dimiliki dengan lada," tertulis di halaman 12.

Lada dan China

Dalam berbagai literasi memang benar dikatakan bangsa Eropa menjadi konsumen utama dari lada. Namun, secara fakta pada abad ke-15 dan ke-16, China lah yang menjadi konsumen utama lada Nusantara. Besar ekspor negara itu tercatat sebanyak 50.000 zak, sedangkan hasil lada nusantara kurang lebih 60.000 zak setiap tahun.

Para pedagang dari China pada umumnya membeli lada dari pedagang-pedagang Jawa. Atas jumlah besar ekspor itulah, tak mengherankan jika bea masuk lada menjadi sangat tinggi, yakni mencapai 20 persen.

Lada Hitam dan Lada Putih

Berdasarkan pengelompokkan lada, secara umum lada yang dijual ke China adalah lada putih, dan lada yang dijual ke Eropa adalah lada hitam. Hal itu semakin mengukuhkan China sebagai konsumen utama lada dibanding Eropa. Apalagi, lada putih dikenal lebih mahal dari lada hitam.

Harga yang mahal itu terletak dari perbedaan cara pengelolahannya.

"Untuk mendapatkan lada hitam, orang memetik buahnya sebelum seluruhnya masak, yakni saat beberapa bulir dari setiap gugus yang telah menguning. Gugus yang telah dipetik lalu dionggokkan selama beberapa hari, sehingga bertanggas, dan semua bulir-bulirnya menjadi hitam."

"Berbeda dengan lada hitam, lada putih menuntut cara yang sedikit lebih rumit. Untuk mendapatkan lada putih, orang harus membiarkan semua bulir masak lebih dahulu. Setelah itu, selama satu atau dua minggu, bulir-bulir yang telah masak itu ditaruh dikantong-kantong, dan diletakkan di air. Proses itu dilakukan agar selupat lada menjadi lunak, sehingga mudah terkupas apabila digosok-gosok dengan tangan atau diinjak-injak. Bulir itu kemudian dicuci dan dijemur agar kering," hadir di halaman 18.

Lada Picu Kolonialisme

Setali dengan kesohornya lada, kolonialisme pun lahir. Negara-negara Eropa yang sebelumnya hanya menjadi pedagang, mulai mencium potensi keuntungan jikalau mengendalikan perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Oleh sebab itu, pihak Eropa (Belanda) kemudian mencoba memonopoli perdagangan dengan kongsi dagang mereka yang kesohor VOC.

Akibat monopoli tersebut, pedangan Melayu kemudian dihalang-halangi, berbagai negeri dijajah, serta sumber daya alamnya direbut. Untuk itu, ungkapan siapapun yang mengusai laut, menguasai perdagangan; siapa pun yang mengusai perdagangan, menguasai orang-orang kaya di dunia, dan dunia itu sendiri ada benarnya.

Kiranya, itulah yang tersaji dalam buku itu. Sekalipun adapula ragam hal yang belum banyak terulas dalam resensi ini, terutama bagian lada dalam angka, produsen lada terbanyak di nusantara, serta ragam perjanjian VOC dengan penguasa nusantara.

Detail:

Judul Buku: Perdangan Lada Abad XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara

Penulis: P. Swantoro

Terbit Pertama Kali: 2019

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Jumlah Halaman: 107