JAKARTA - Bagi banyak perempuan Indonesia, nama Raden Ajeng Kartini adalah ikon. Kartini dikenal sebagai inspirator gerakan emansipasi di negeri ini. Namun, sejarah sejatinya mencatat deretan nama perempuan lain yang memainkan peranan penting dalam sejarah Indonesia. Buku Perempuan-Perempuan Perkasa: Di Jawa Abad XVIII-XIX (2016) merangkumnya.
Tak ada yang memungkiri kebesaran Kartini, baik dalam jasa maupun nama. Pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Soepratman bahkan menciptakan lagu nasional berjudul Ibu Kita Kartini di tahun 1929. Menggambarkan jasa besar Kartini, Soepratman menyairkan: Ibu kita Kartini, pendekar bangsa, pendekar kaumnya.
Sejarawan Inggris, Peter Carey dan Vincent Hoeben yang menulis buku Perempuan-Perempuan Perkasa: Di Jawa Abad XVIII-XIX (2016) mencoba menggambarkan perjuangan lain para perempuan di tanah Jawa. Lewat buku ini, keduanya hendak membuktikan bahwa wanita di tanah Jawa memiliki peran penting sejak dulu. Bukan cuma konco wingking atau teman tidur sebagaimana gambaran kuno.
Bagaimana Carey dan Hoeben merangkum buku ini jadi istimewa. Keduanya mengulas setiap tokoh berdasar sumber otentik dan beraneka ragam. Ada yang berasal dari naskah Jawa kuno --babad dan hikayat, surat pribadi, ataupun silsilah. Nama-nama yang tercatat dalam rangkuman ini, antara lain sosok Ratu Kidul, Prajurit Estri, Raden Ayu Yudokusumo, hingga Nyi Ageng Serang.
Ratu Kidul
Eksistensi Ratu Kidul dikenal sebagai penguasa Pantai Selatan. Perempuan-Perempuan Perkasa: Di Jawa Abad XVIII-XIX (2016) menjelaskan sosok Ratu Kidul adalah putri dari Raja Pajajaran bernama Dewi Retno Suwido.
Dikisahkan, sang putri adalah jelmaan dua sosok sekaligus: Batari Durga yang dikenal sebagai dewi perusak dan kekacauan juga Dewi Uma, yang merupakan dewi pelindung dan kemakmuran. Karena kesaktiannya, raja-raja Jawa menjalin hubungan dengannya untuk menjamin keselamatan negeri yang dipimpinnya.
“Untuk menjamin perlindungan Sang Ratu dan memperkuat pertalian gaib antara keraton dan istana di bawah laut, setiap tahun diadakan upacara khusus di Parangtritis yang dinamakan labuhan (lepas ke laut),” tertulis dalam halaman 14.
Prajurit Estri
Dalam Perempuan-Perempuan Perkasa: Di Jawa Abad XVIII-XIX (2016) juga dijelaskan bahwa perempuan Jawa telah terlibat dalam kegiatan militer sejak dulu kala. Era Hamengkubuwono II di Yogyakarta dan Pakubuwono V di Surakarta, tepatnya. Saat itu perempuan telah didik sebagai prajurit mumpuni bernama Prajurit Estri.
“Van Goens memperkirakan korps ini terdiri atas 150 perempuan muda. Dan mereka bukan hanya dilatih memainkan senjata, melainkan juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Di antara tarian itu adalah Retno Tinandhing, yang diilhami gerak pertempuran Prajurit Estri. Hingga kini tarian ini masih digelar di Keraton Surakarta,” tulis halaman 19.
Dalam kesehariannya, Prajurit Estri dikenal sebagai pengawal raja yang andal menggunakan berbagai jenis senjata. Mereka juga dikenal lihai mengendarai kuda. Permaisuri Sultan Yogyakarta adalah salah satu tokoh yang merintis karier sebagai Putri Estri.
Selain itu, ada juga ibu tiri Pangeran Diponegoro, Ratu Ageng. Ia pernah menjadi komandan pertama Kops Srikandi Kesultanan pada masa awal keraton.
Raden Ayu Yudokusumo
Ia adalah putri Sultan Yogyakarta pertama yang semangat juangnya melebihi kaum laki-laki. Selain itu, ia juga memiliki kecerdasan tinggi, kemampuan besar, dan siasat jitu.
Semua sifat itu terbukti saat berlangsungnya Perang Jawa (1825–1830). Raden Ayu Yudokusumo saat itu menjadi orang yang mengatur strategi penyerangan terhadap masyarakat Tionghoa di Ngawi pada 17 September 1925.
“Meskipun digambarkan serangan itu sebagai pembantaian, tampaknya hal itu dibesar-besarkan oleh penulis. Namun, aksi di Ngawi itu membuat Raden Ayu Yudokusumo segera saja mendapatkan gelar pejuang yang garang. Seorang perempuan cerdas namun sangat menakutkan,” halaman 29.
Nyi Ageng Serang
Perempuan ini juga dikenal dengan Raden Ayu Serang karena sebelumnya pernah menjadi mantan istri Sultan Yogyakarta kedua. Setelah cerai, ia menikah lagi dengan Pangeran Serang I yang masih kerabat keluarga Kalijogo. Ia kemudian dikenal dengan nama Nyai Ageng Serang.
Peran perempuan satu ini hampir mirip dengan Raden Ayu Yudokusumo. Kala Perang Jawa meletus, Nyi Ageng Serang turut angkat senjata demi membantu putranya, Pangeran Serang II, yang disebut dalam laporan militer Belanda telah memimpin 500 pasukan di kawasan Serang-Demak pada bulan pertama perang itu.
Secara keseluruhan, buku 116 halaman ini banyak memberi banyak sudut pandang baru tentang peran wanita Jawa pada masa lalu. Peran yang membangun kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
BACA JUGA:
Detail:
Judul Buku: Perempuan-Perempuan Perkasa: Di Jawa Abad XVIII-XIX
Penulis: Peter Carey dan Vincent Houben
Terbit Pertama Kali: 2016
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Jumlah Halaman: 116