JAKARTA – Memori hari ini, 22 tahun yang lalu, 10 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengangkat Abdullah Mahmud (A.M) Hendropriyono sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Pengangkatan itu dilakukan karena Hendropriyono adalah tokoh intelijen dan loyalisnya.
Sebelumnya, kedekatan Megawati dan Hendropriyono mulai langgeng sejak era Orde Baru (Orba). Hendropriyono mendukung penuh langkah politik Megawati. Utamanya dalam merebut kursi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Presiden Indonesia.
Kiprah Hendropriyono di dunia militer penuh dinamika. Ia mengabdikan diri sebagai bagian dari baret merah dalam kariernya di Angkatan Darat (AD). Pun ia pernah diturunkan dalam banyak operasi. Dari Kalimantan hingga Timor-Timur.
Semuanya dilanggengkan dengan penuh suka cita. Keterlibatannya pun mengundang pujian. Ia dikenal sebagai intelijen mempuni. Anak didik dari Jenderal Benny Moerdani ini kemudian pernah bercokol sebagai Direktur D dan A Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Posisi itu nyatanya tak membuat Hendropriyono mengarahkan dukungan penuh kepada Orba. Ia justru melanggengkan dukungan kepada lawan politik Soeharto dan Orba, Megawati Soekarnoputri. Hendropriyono yang dikenal sebagai pengagum Soekarno kemudian mendukung Megawati mengambil alih pimpinan PDI pada 1993.
Dukungan politik itu dilanggengkan karena Megawati diyakini sebagai pilihan terbaik. Dukungan itu terus diberikan sekalipun ia diangkat memegang jabatan non-militer sebagai Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan merangkap Menteri Tenaga Kerja.
Dukungan Hendropriyono kepada Megawati semakin intens kala Orba runtuh. Ia percaya Megawati dapat menjadi Presiden Indonesia yang baru. Boleh jadi Megawati adalah wanita, tapi Hendropriyono percaya kepemimpinannya akan kuat.
“Dipilihnya figur Megawati sebagai presiden dalam kondisi ini merupakan pilihan terbaik, tidak saja untuk menyinergikan kekuatan politik eksekutif dan DPR, tapi yang lebih penting adalah untuk mempercepat stabilitas poliitik, ekonomi, dan keamanan nasional. kalaupun opini publik menganalisis Megawati sebagai figur yang lemah, maka hal ini harus dilihat sebagai suatu early warning agar Megawati tidak mengulangi kesalahan pendahulunya.”
“Karenanya maka Megawati akan memperkuat formasi kabinetnya dengan para elite partai besar sehingga mampu memperoleh dukungan politik di DPR. Bila feedback ini benar-benar diinstrumentasikan, maka kepemimpinan Megawati Niscaya akan jauh lebih kuat dibandingkan kempemimpinan nasional saat ini,” ungkap A.M. Hendropriyono dalam buku Dari Terorisme sampai Konflik TNI-Polri (2013).
Pucuk dicinta ulam tiba. Keinginan Hendropriyono melihat Megawati sebagai Presiden Indonesia baru terwujud. Megawati kala itu menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilengserkan oleh MPR. Kepemimpinan itu membuat Megawati tak melupakan nama Hendropriyono.
BACA JUGA:
Hendropriyono kemudian diangkat Megawati sebagai Kepala BIN. Pengangkatan itu dilanggengkan karena Megawati telah paham luar-dalam terkait kemampuan Hendropriyono sebagai tokoh intelijen. Penentapannya pun dianggap sebagai salah satu putusan yang paling punya pengaruh besar di era kepemimpinan Megawati.
“A.M. Hendropriyono dilantik sebagai Kepala BIN pada 10 Agustus 2001. Ia adalah purnawirawan jenderal bintang tiga yang dekat dengan Megawati dan PDI (lantas menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDIP). Bersama Agum Gumelar, Hendropriyono turut menyukseskan pencalonan Megawati sebagai Ketua PDIP pada tahun 1993. Ia mengaku tidak diperintah oleh siapa pun, Hendropriyono mau membantu karena menaruh simpati kepada Megawati, anak dari idolanya, Presiden Sukarno.”
“Pada masa pemerintahan Habibie. Hendropriyono memegang jabatan Menteri Transmigrasi, kemudian dipromosikan oleh Megawati menjadi Kepala BIN. BIN pada masa Hendropriyono merupakan pemain kunci dalam membantu presiden mengatasi terorisme dan ekstremisme yang memuncak sejak peristiwa 11 September 2001 di AS dan bom bunuh diri di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002,” terang Putri Ariza Kristimanta dalam buku Membangun Intelijen Profesional Di Indonesia: Menangkal Ancaman, Menjaga Kebebasan (2022).