Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 82 tahun yang lalu, 8 Agustus 1941, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) diasingkan Belanda ke Sukabumi. Hukuman preventif itu dilanggengkan karena Haji Rasul dianggap sosok yang berbahaya. Dakwanya kerap dianggap mengganggu eksistensi Belanda di Minangkabau.

Sebelumnya, ayah dari Buya Hamka itu terkenal sebagai tokoh Muhammadiyah kesohor. Ia seorang reformis Islam di tanah Minangkabau. Ia memilih jalan pendidikan agama sebagai ajian berjuang.

Intelektual Muslim banyak bertumbuh di masa penjajahan Belanda. Abdul Karim Amrullah, misalnya. ia mendalami ilmu Islam dalam tiap kesempatan. Alasan itu membuatnya kepincut untuk belajar agama ke Arab Saudi (Makkah dan Madinah).

Ilmu agamanya bertambah pesat. Ia memilih untuk pulang ke Nusantara. pria yang dikenal dengan nama Haji Rasul turut prihatin dengan penderitaan rakyat dengan akses pendidikan yang terbatas. Ia pun berjuang lewat jalur pendidikan untuk mencerdaskan kaum muda di Minangkabau.

Kepekaan terhadap kondisi rakyat itu kemudian mempertemukannya dengan banyak tokoh besar Islam Nusantara. Dari Kiai Haji Ahmad Dahlan hingga H.O.S. Tjokroaminoto. Pertemuan itu membuat Haji Rasul mantap melanggengkan perjuangan lewat jalur pendidikan.

Semua itu karena ia tak begitu tertarik dengan paham komunisme yang dianut para tokoh Islam. Sekalipun komunisme dielukan sebagai alat pembebasan. Narasi itu karena Haji Rasul menganggap upaya mengalahkan penjajahan yang paling benar adalah dengan memperkuat orang beriman.

Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) juga dikenal sebagai ayah dari ulama kesohor, Buya Hamka. (Wikimedia Commons)

Kedekatannya dengan Ahmad Dahlan pun membuahkan hasil. Haji Rasul kemudian mengembangkan Muhammadiyah di Minangkabau. Kepemimpinan itu membuat nama Haji Rasul kesohor di seantero negeri. Pun namanya juga dikenal sebagai salah satu intektual Muslim yang menonjol di awal abad ke-20.

“Di tahun-tahun awal abad ke-20, tiga orang murid Syekh Ahmad Chatib di Mekah-- Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) Haji Abdullah Ahmad, dan Syekh Mohd Djamil Djambek—mempelopori penyebaran ajaran Islam modern ketika ketiganya kembali ke kampung halaman. Namun demikian, sejalan dengan pandangan gurunya, meskipun mereka banyak mengambil ajaran dari pembaharu Islam asal Mesir, Muhammad Abduh.”

“Ketiga haji ini membatasi ajaran mereka hanya di bidang agama dan pendidikan, dan mereka sangat enggan mengikuti pandangan-pandangan politik kolega Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani, yang waktu itu melanda Mesir dan Turki. Tetapi pemisahan antara agama dan politik seperti itu rupanya tidak dihormati oleh kebanyakan murid mereka," terang Audrey R. Kahin dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005).

Haji Rasul pun aktif memberikan pengajian, nasihat, hingga fatwa. Pengikutnya pun bejibun. Namun, Haji Rasul tak ingin dirinya dianggap aktif dalam politik. Ia menyebut gebrakannya sebagai bagian dari menyebarkan ilmu agama saja.

Eksistensinya sebagai ulama kemudian diusik oleh Belanda. Empunya kuasa ingin menerapkan ordonasi sekolah liar. Barang siapa yang diingin membangun sekolah harus memiliki izin Belanda. Begitu pula para pengajarnya. Belanda khawatir sekolah yang digelar Haji Rasul jadi gudangnya subversi.

Haji Rasul kemudian menginiasi pertemuan dua ribu ulama di Bukittinggi untuk menentang Ordonasi Sekolah Liar pada 1828. Semenjak itu segala macam ikut campur Belanda dalam urusan Islam ditentang oleh Haji Rasul. Ia menentang Belanda secara terang-terangan dan membuatnya diasingkan ke Sukabumi pada 8 Agustus 1941. Ia masuk ke dalam radar Belanda sebagai tokoh berbahaya.

“Pejabat kulit putih Belanda berkali-kali memanggil dia untuk memberi peringatan; anggota-anggota keluarganya, termasuk salah seorang istrinya, juga diganggu; seorang putranya, saudara tiri Hamka, ditangkap karena membuat tulisan yang dianggap menghasut, dan meninggal dalam penjara. Pada awal 1941, ketika tentara Jerman sudah menduduki Negeri Belanda dan situasi Hindia genting, Asisten Residen Belanda datang naik mobi ke surau Haji Rasul untuk menangkap dia.”

“Meski pers dan Volksraad memprotes, dia dibuang ke Jawa dan dijadikan tahanan rumah sampa Jepang datang. Alasan Belanda adalah kekuasaan pemerintah yang sah dan hukum-hukum adat tidak dapat dijalankan lagi di negeri yang beliau duduki. Hamka yang sedang menghadiri konferensi Muhammadiyah di Aceh mendengar berita pembuangan ayahnya di radio,” ujar James R. Rush dalam buku Adicerita Hamka (2020).