JAKARTA – Sejarah hari ini, 94 tahun yang lalu, 29 Juli 1929, Jaksa Agung Hindia Belanda, R.J.M. Verheijen menyebut pejuang kemerdekaan Iwa Kusmasumatri sebagai tokoh berbahaya. Narasi itu diungkapnya dalam laporan kepada Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff.
Ia bahkan meminta Iwa dihukum preventif atau pengasingan. Sebelumnya, jejak Iwa sebagai pejuang kemerdekaan kerap merepotkan Belanda. ia tak saja merepotkan penjajah Belanda di Nusantara, tapi ikut merepotkan penguasa di Negeri Kincir Angin.
Tiada yang menyangkal Sekolah Dokter Hindia Belanda, STOVIA sebagai ‘rumah’ kaum pergerakan. Namun, urusan pergerakan nasional bukan melulu lahir dari STOVIA. Beberapa di antara pejuang kemerdekaan juga lahir dari Sekolah Tinggi Hukum Batavia, Rechtshoogeschool (RHS).
Iwa Kusumasumatri, misalnya. Pendidikan di RHS dimanfaatkan benar oleh Iwa. Perihal hukum dan sejarah, terutama. Pelajaran itu membuat jiwanya sebagai kaum bumiputra bergejolak. Ia kemudian memilih untuk 'mewakafkan' hidupnya dalam dunia pergerakan.
Ia bergabung dalam organisasi pergerakan nasional Jong Java. Iwa kemudian berjumpa dengan pejuang kemerdekaan lainnya seperti Sartono hingga Raden Said Soekanto. Iwa terhitung aktif meluangkan waktunya untuk berorganisasi.
Akan tetapi, organisasi itu tak membuat Iwa melupakan kewajibannya sebagai mahasiswa. Ia mampu menyelesaikan pendidikannya pada 1921. Kelulusan itu membuatnya dapat berkarier di Landraad (pengadilan negeri) hingga Raad van Justitie (pengadilan negeri).
Pekerjaan itu membuatnya semakin peka terhadap kondisi rakyat Indonesia. Iwa mulai ‘memanen’ kebencian terhadap praktek kolonial. Kebencian itu diutarakan kepada prakteknya, bukan kepada orang-orang Belanda. Sebab, menindas adalah perbuatan tercela, apalagi menindas tuan rumah.
"Seperti halnya STOVIA, RHS juga menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh kaum pergerakan. Di antaranya Mr. Sartono, Iwa Kusumasumantri, Soesanto Tirtoprojo, Iskaq Tjokrohadisurjo, Soepomo, Tengkoe Moehamad Hasan, Mohammad Roem, dan Santoso Wirjodihardjo," ungkap Ambar Wulan dan Awaloedin Djamin dalam buku Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo (2016).
Perjuangannya Iwa berlanjut ke Negeri Belanda. Semuanya karena Iwa menempuh pendidikan di Universitas Leiden. Iwa kemudian bergabung Perhimpunan Indonesia (PI). Pun ia mulai memperdalam terkait komunisme. Apalagi, kala itu ia tercatat dekat dengan Semaun.
Iwa pun memanfaatkan benar bekal ilmu sesama menuntut ilmu di Belanda. Ia pulang ke Indonesia dengan semangat menyala. Ia memilih Kota Medan sebagai tempatnya berjuang dan bekerja. Di sana, ia mendirikan surat kabar Matahari Indonesia. Surat kabar itu menjadi corong perjuangannya mendukung kaum buruh dan melemparkan kritik terhadap Belanda.
BACA JUGA:
Belanda pun mulai terganggu dengan Iwa. Apalagi, ia dikenal mampu memobilisasi kaum buruh di Medan. Belanda kemudian menangkap Iwa. Namun, karena terlalu berbahaya, Jaksa Agung Hindia Belanda R.J.M. Verheijen menyebut Iwa tokoh yang harus mendapatkan hukuman pengasingan.
Ia menyarankan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Andries Cornelis Dirk de Graeff untuk memberikan hukuman preventif kepada Iwa pada 29 Juli 1929. Ia kemudian diasingkan ke Banda Neira pada 1930.
“Iwa dengan demikian, ditangkap karena riwayatnya. Posisi sentralnya dalam kegiatan perkumpulan orang Indonesia di Medan yang membuatnya dicurigai dan karena pemerintah menemukan ia sebagai target mudah untuk menentramkan orang-orang Eropa di Deli dan di bagian Hindia Belanda yang lain.”
“Pada tanggal 29 Juli, Jaksa Agung meminta kepada Gubernur Jenderal menahan Iwa dalam penahanan preventif, karena propaganda komunis yang dilakukan sejak tahun 1924 di Amsterdam, kegiatan politik di Sumatra Timur, dan dengan kaitannya dengan Liga Anti Imperialis. Dibenarkan oleh alasan ini, proses administratif untuk membuat Iwa dimulai,” terang Takashi Shiraishi dalam buku Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2015).