JAKARTA – Memori hari ini, 18 tahun yang lalu, 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa membolehkan hukuman mati dalam perkara tertentu. Fakwa tersebut dikeluarkan oleh MUI bertepatan dengan Musyarawah Nasional MUI VII di Jakarta.
MUI menyebut Islam mengakui hukuman mati dan pemerintah Indonesia tak perlu ragu-ragu menerapkannya. Sebelumnya, hukuman mati telah dilanggengkan sejak era penjajahan Belanda. Hukuman mati dianggap ampuh meredam kejahatan. Sekalipun diprotes sana-sini.
Perihal hukuman mati bukan barang baru di Indonesia. Hukuman mati bahkan sudah terpantau hadir sejak fase awal penjajahan Belanda. Dari kuasa maskapai dagang Belanda, VOC hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Hukuman mati dilanggengkan kepada mereka yang dianggap bersalah untuk ragam kasus. Dari perbuatan asusila hingga pemberontakan. Empunya kuasa pun kerap menjadikan hari eksekusi mati tahanan sebagai suatu tontonan besar.
Penjajah ingin rakyat menyaksikan sendiri nasib akhir dari pelaku kejahatan. Ajian itu supaya tak banyak rakyat yang meniru laku hidup tahanan. Karenanya, ketentraman jadi dapat terjamin.
Hukuman mati tak lantas hilang kala Indonesia Merdeka. Hukuman mati banyak dilanggengkan, terutama era Orde Baru (Orba). Barang siapa yang dianggap berseberangan dengan pemerintah, atau memiliki niatan pemberontakan, hukuman mati ganjarannya.
Narasi hukuman mati baru dianggap tak begitu penting di era Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie menjabat sebagai orang nomor satu Indonesia. Habibie menentang keras hadirnya hukuman mati. Ia lebih memiih melanggengkan hukuman seumur hidup.
Habibie menganggap masalah lahir dan mati adalah urusan Tuhan. Manusia tak berhak menggambil jatah malaikat pencabut nyawa. Narasi itu dibuktikan dengan selama Habibie menjabat Presiden Indonesia tidak ada Undang-Undang (UU) yang dicetuskan perihal hukuman mati.
“Berakhirnya Periode Presiden Soekarno pada Tahun 1965, dengan munculnya Presiden Soeharto dengan Orde Barunya, berkuasa selama 32 (tiga puluh dua) tahun telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pidana mati.”
“Berakhirnya Orde Baru dan munculnya reformasi yang ditandai dengan terpilihnya BJ. Habibie sebagai Presiden pada Tahun 1998, dalam periode ini tidak ada peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pidana mati,” tulis Tina Asmarawati dalam buku Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia (2015).
Narasi hukuman mati pun kembali muncul ke permukaan --sekalipun tak masif-- di era Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, hingga teranyar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Masa pemerintahan SBY banyak diuji dengan kasus-kasus yang dianggap layak diberikan hukuman mati. Pemerintah kala itu banyak berhasil menangkap gembong narkoba.
Keberhasilan itu membuat narasi melanggengkan hukuman mati mencuat. Namun, langkah pemerintah masih ragu-ragu. MUI pun turun tangan. Organisasi Islam itu menganggap hukuman mati bukan sebuah hal yang harus dihindari. Sebab, Islam telah mengenal hukuman mati sejak dulu kala.
MUI pun mengeluarkan fakwa yang membolehkan hukuman mati untuk perkara tertentu pada 28 Juli 2005. Fatwa itu jadi pendukung sekalipun penghapus keraguan jikalau pemerintah memutuskan memberikan hukuman mati pada tahanan untuk perkara tertentu. Gembong narkoba, terutama.
“Bahwa hukuman mati merupakan hukuman paling berat yang dikenakan terhadap pelaku tindak kejahatan berat. Dan menyangkut berbagai pihak yang berwenang dan berkepentingan serta berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.”
“Bahwa berdasarkan kondisi masyarakat dan negara yang memerlukan ketegasan hukum dan ketertiban masyarakat. MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Hukuman Mati dalam Tindak Pidana Tertentu untuk dijadikan pedoman,” ungkap isi pertimbangan MUI dalam fatwanya.