Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 12 tahun yang lalu, 1 Juli 2012, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membolehkan negara menyita aset pelaku tindak pidana korupsi. Harta yang boleh disita terbatas kepada harta hasil korupsi. MUI kemudian meminta pemerintah menggunakan aset hasil sitaan untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Sebelumnya, korupsi kian meningkat di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).  Kondisi itu diperparah dengan isu kader Partai Demokrat ikut korupsi megaproyek wisma atlet di Bukit Hambalang.

Kasus korupsi kian kembali menggerogoti Indonesia. Mulanya kasus korupsi banyak terlihat di masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintah yang represif, ketiadaan aturan, dan lemahnya penegak hukum menindak koruptor jadi ramuan menjamurnya korupsi.

Masalah muncul. Masalah korupsi jadi tak mudah dihilangkan, bahkan di era reformasi. Di era pemerintahan SBY saja kasus korupsi bejibun. Indonesia Coruption Watch (ICW) mencatat ada sekitar 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka mencapai 1053 pada 2011.

Kerugian yang dialami negara tak sedikit, Rp2.169 triliun. Masing-masing korupsi paling tinggi hadir dari ceruk pendidikan, infrakstruktur, hingga keuangan daerah. Aparat pun diminta untuk melakukan tugasnya menangkap koruptor.

Seorang warga melihat kondisi salah satu rumah milik mantan Kakorlantas Mabes Polri Irjen (Pol) Djoko Susilo di Jalan Cikajang No.18, Jakarta Selatan, Rabu (20/2). Rumah tersebut disita petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pengadaan simulator ujian SIM. FOTO (ANTARA/Dhoni Setiawan/ss/ama/13)

Banyak pula yang meminta supaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikuatkan. Belum juga selesai satu masalah korupsi sudah muncul kasus lainnya. Masalah yang paling mencoreng wajah pemerintah muncul dalam Proyek Hambalang.

Proyek yang bertajuk Pusat pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) dianggap jadi harapan Indonesia membina atlet. Proyek yang dikenal sebagai Proyek Hambalang itu mulai berjalan dari 2009.

Alih-alih proyek dengan dana dari Rp125 miliar jadi Rp2,5 triliun dapat berjalan lancar, pembangunan Hambalang justru banyak kejanggalan. Perputaran uang banyak itu membuat banyak politisi ikut mencari keuntungan.

Uniknya, kader partai Demokrat yang berkuasa dianggap terlibat. Kondisi itu kian terang kala Mantan Bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin ditangkap di Kolombia. Nazaruddin lalu banyak berkicau terkait rekannya sesama kader Demokrat yang terlibat, termasuk Ketua Umum Demokrat, Anas Urbaningrum.

"Penangkapan ini hasil dari kerja sama interpol, Polri, KPK, Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Luar Negeri. Secara fisik, didasarkan pengamatan dengan foto, dia identik dengan apa yang disebut Nazaruddin," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto dikutip laman Kompas.com, 8 Agustus 2011.

Korupsi di Indonesia mengkhawatirkan. Kehadiran korupsi dianggap bawa pengaruh buruk bagi imej negara dan masa depan generasi penerus bangsa. Bisa-bisa korupsi dianggap bagian yang benar karena dibiarkan terus-menerus.

Banyak kalangan pun prihatin. MUI, salah satunya. MUI berpikiran bahwa korupsi dapat merusak negara. Mereka menganggap harus ada hukuman tegas supaya korupsi tak merajalela. Hukuman penjara dianggap mereka tak cukup.

MUI pun lalu membolehkan negara untuk menyita aset korutor pada 1 Juli 2012. Penyitaan itu dianggap opsi lebih baik. Segala macam uang dan aset yang didapat dari hasil korupsi nantinya dapat digunakan negara untuk membangun negeri.

Harta yang disita terbatas kepada harta hasil korupsi. Bukan bentuk warisan atau lainnya. Pun koruptor lebih takut kehilangan harta, ketimbang hilang urat malu.

Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI). (ANTARA)

"Perampasan aset ini tidak menghilangkan hukuman. Misalnya saja warisan atau pendapatan lainnya yang sah tetap menjadi milik orang tersebut. Yang ini juga diambil oleh negara. Ini kita ingatkan disini. Perampasan aset koruptor tidak menghilangkan hukuman pelaku tindak pidana tersebut. Para koruptor ini harus tetap mendapatkan hukuman.”

“Aset para koruptor ini kemudian bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat. Penerima uang dari hasil pencucian uang namun dia tidak tahu uang itu dari hasil kejahatan tersebut dan dia mengembalikannya tidak dikenakan hukuman," tutur Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni'am di acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-IV di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagaimana dikutip laman Detik.com, 1 Juli 2012.