JAKARTA – Memori hari ini, 42 tahun yang lalu, 20 Agustus 1981, Kiai Haji (K.H) Muhammad Syukri Ghozali menjabatkan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia kemudian tercatat sebagai Ketua MUI ke-2 sepanjang sejarah perjalanan MUI.
Sebelumnya, kepemimpinan pertama kali MUI dipegang oleh Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Kepemimpinan Hamka penuh dengan dinamika. Ia tak mau MUI disetir oleh pemerintah Orde Baru (Orba). Urusan fatwa, apalagi. Keengganan itu membuat Hamka memilih mundur dari MUI.
Pemerintah Orde Baru (Orba) kerap memandang Buya Hamka sebagai ulama kesohor. Kekaguman itu membuat Hamka didaulat sebagai Ketua MUI pertama dalam sejarah pada 1975. Orba melihat Hamka memiliki kapasitas itu.
Alih-alih Orba menganggap Hamka hanya mampu menyatukan warga Muhamadiyah, ia justru dipandang mampu menyatukan seluruh umat Islam di Indonesia. Orba pun mulai meminta Hamka untuk membantu mengaturkan umat Islam. Buya Hamka setuju.
Nyatanya, jauh panggang dari api. Upaya mengatur yang dimaksud Orba adalah supaya MUI bertindak sebagai corong pemerintah. Hamka menolak keras keinginan itu. Buya Hamka tak mau diatur pemerintah. Apalagi, urusan agama Islam.
Sikap Buya Hamka itu tertuang kala Orba ingin merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Natal secara bersamaan di kantor-kantor pada 1981. Buya Hamka secara tegas menolak usulan itu. Sebab, Buya Hamka berpegang pada umat Muslim dilarang menghadiri dan mengikuti ritual natal bersama.
Bukan larangan mengucap selamat natal dan kegiatan non ritual lainnya. Ia menganggap urusan agama bukan urusan main-main. Pun Hamka mengeluarkan fatwa yang berisi larangan umat Islam ikut ibadah natal bersama. Kehadiran fatwa tersebut membuat kegemparan.
Orba pun terus mendesak Hamka mencabut fatwa. Hamka tak mau. Ia tetap pada pendidiriannya. Hamka pun memilih mundur dari MUI dibanding harus mencabut fatwa tersebut. Sikap itu membuatnya resmi keluar dari MUI pada 19 Mei 1981.
“Sewaktu MUI mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama, pemerintah keberatan atas fatwa tersebut. Karena bertentangan dengan pemerintah, ayah kemudian mengambil sikat tegas, menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI Pusat.”
“Setelah tersiar berita ayah mengambil keputusan mundur dari Ketua Umum MUI, banyak tokoh-tokoh Islam mengucapkan selamat kepada ayah atas sikap yang tegas itu. Termasuk tokoh mubaligh yang selalu menghujat ayah. Sambil merangkul ayah, ia meminta maaf atas sikapnya selama ini,” ungkap anak Buya Hamka, Irfan Hamka dalam buku Ayah: Kisah Buya Hamka (2013).
Pengunduran diri Buya Hamka membuat posisi pimpinan MUI jadi kosong dalam beberapa bulan. Kursi itu kemudian baru diisi kembali pada 20 Agustus 1981. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Syukri Ghozali lalu didaulat secara aklamasi sebagai pimpinan MUI yang baru dalam Sidang Paripurna MUI di lantai bawah Masjid Istiqlal.
Pemilihan Syukri Ghozali dianggap sosok yang tepat. Apalagi, sebelumnya Syukri Ghozali juga dipuji oleh almarhum Buya Hamka yang meninggal 24 Juli 1981. Hamka menyebut kepemimpinnan Syukri Ghozali dapat diterima semua pihak. Ulama itu dianggap dapat menyatukan ormas besar Islam Muhammadiyah dan NU.
Kepemimpinannya membuat MUI aktif mengeluarkan fatwa-fatwa terkait kepentingan umat Islam. Utamanya, urusan aliran yang dianggap menyimpang dari umat Islam.
BACA JUGA:
“Sebelum Syukri terpilih, nama-nama yang disebut-sebut sebagai calon ketua umum: bekas Menteri Agama, Mukti Ali, Wakil Ketua DPR RI, Masykur, Hasan Basri, E.Z. Muttagin, selain Kiai Syukri sendiri. Namun akhirnya jalan keluar pun didapat. Sebab, terutama setelah Hamka wafat di bulan Ramadhan lalu, tokoh-tokoh yang lain mulai nampak.”
“Seperti peribahasa yang diucapkan Muttaqin: Sementara bulan masih bersinar, bintang-bintang tidak nampak cemerlang. Tapi setelah bulan tertutup awan, bintang-bintang pun nampak bersinar. Dan Kiai Syukri memang merupakan bintang yang cukup menyolok di antara bintang-bintang yang lain,” tertulis dalam laporan di Majalah Tempo berjudul Sebuah Bintang di Balik Awan (1981).