Melihat Kiprah Menteri Sosial Pertama Republik Indonesia Iwa Kusumasumantri
Iwa Kusumasumantri (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Bagi Indonesia, Iwa Kusumasumantri adalah sosok berjasa sekaligus kontroversial. Kiprahnya sebagai salah satu tokoh pergerakan nasional kesohor di seantero negeri. Di kalangan revolusioner, ia bahkan dapat menjelma jadi apa saja. Jadi amtenar, mahasiswa kritis, hingga perintis kemerdekaan. Atas jasanya, Iwa diberi jabatan menteri sosial pertama oleh Bung karno.

Seperti banyaknya tokoh pergerakan, Iwa berasal dari keluarga priayi rendahan. Orang tua Iwa adalah elite politik setingkat desa. Sejarawan Ong Hok Ham menyebut Iwa muda sempat bersekolah di Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bandung. Orang tuanya berharap Iwa dapat menjadi menjadi pangreh praja (pejabat lokal).

Namun Iwa tak kerasan di OSVIA. Alasannya, OSVIA bukan pilihannya sendiri. Iwa lebih menyukai belajar ilmu hukum. Setelah perdebatan panjang, atas izin orang tuanya, Iwa merantau ke Batavia (Jakarta) pada 1916. Iwa memilih bersekolah di Recht School, sebuah sekolah hukum di pusat kuasa kolonial.

“Bukan main besar hati saya ketika saya memasuki Recht School atau sekolah menengah hukum di Jakarta ini,” cerita Iwa dalam memoarnya Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah (2002).

Alhasil, lewat sekolah itu Iwa banyak belajar ilmu hukum dan sejarah. Lewat sekolah tersebut pula Iwa mulai masuk ke dalam dunia pergerakan nasional. Jong Java jadi corong perjuangannya. Lantaran itu Iwa dikenal aktif sebagai salah satu pengurus Jong Java sejak tahun 1918. Meski kelihatan sibuk, Iwa telaten menjalani kewajibannya bersekolah dan berorganisasi. Berkat semangatnya, Iwa lulus tepat waktu pada tahun 1921.

Dari amtenar hingga belajar ke Belanda

Iwa kemudian bekerja di Pengadilan Negeri Bandung serta Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Semasa bekerja, Iwa dikenal rajin membaca majalah matahari pimpinan Dr. Abdul Rivai, dan kerap berhubungan dengan aktivis pergerakan. Kesadaran politik Iwa pun semakin tumbuh. Apalagi, ketika Iwa yang sering kali menagih janji-janji Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johan Paul van Limburg Stirum (1916-1961).

Van Limburg Stirum, kata Iwa telah berjanji akan memberikan otonomi dan demokrasi atau partisipasi rakyat luas pada koloni. Janji ini tak pernah dilaksanakan. Dan Iwa menagihnya dalam berbagai tulisan. Sampai akhirnya, Iwa kecewa dan memutuskan berhenti jadi amtenar.

Selepas itu, orang tua Iwa lagi-lagi dengan susah payah membiayai studi anaknya ke Belanda. Di Belanda, ia bersekolah di Leiden. Petualangan politiknya kemudian menemukan wadah yang tepat, yakni perkumpulan mahasiswa Indonesia. Sumbangan terbesar Iwa bersama mahasiswa Indonesia lain seperti Bung Hatta adalah melahirkan konsep politik "Indonesia."

Sepulangnya ke Indonesia, Iwa dengan gaya radikalnya tetap mengkritik penguasa kolonial dengan keras. Kritikan-kritikan itu membuatnya diberangus Belanda dan dibuang ke Banda Neira. Di pengasingan, Iwa diberi tunjangan sebesar 200 gulden dan turun menjadi 175 gulden ketika terjadi malaise.

Singkat cerita, Iwa menginggalkan Banda pada Maret 1942. Sebelum Jepang menyerah, Iwa ditarik menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejarah lalu mencatat Iwa sebagai salah satu perintis kemerdekaan Indonesia.

Jabat menteri sosial

Setelah Indonesia merdeka, Iwa menjadi Mensos pertama RI pada pembentukan kabinet tanggal 31 Agustus 1945. Iwa kemudian bersanding dengan nama besar tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Alexander Andries (AA) Maramis yang jadi Menteri Negera.

Samsi Sastrawidagda yang diketahui sebagai taman Sekolah Ekonomi Tinggi Rotterdam sebagai menteri keuangan. Namun, karena Samsir sering sakit-sakitan, maka tanggal 25 September kiprah Samsir diganti oleh Maramis.

Selanjutnya Maramis jadi Menteri keuangan de facto pertama. Bersanding dengan Menteri Luar Negeri Subarjo, dan Iwa sebagai Menteri Sosial. Ketiganya merupakan kelompok Kaigun (Angkatan Laut Nippon), juga biasa disebut kelompok Bukanfu yang berada di Kantor penghubung Angkatan Laut Jakarta, kala itu kantor penghubung Angkatan Laut dikepalai oleh Laksamana Maeda.

“Segera setelah proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno menganjurkan pembentukan satu partai politik saja atau Staatspartij bernama Partai Nasional Indonesia (PN). Di situ Presiden Sukarno adalah Pemimpin Besar Pertama, Wapres Hatta Pemimpin Besar Kedua. Dalam pimpinan umum duduk Mr. Gatot Tarunomihadjo sebagai ketua, selanjutnya Mr. Iwa Kusumasumantri, Sayuti Melik, Mr Soedjono, Mr. Maramis. Berarti kelompok Kaigun duduk dalam pimpinan PNI, kecuali Mr Soebardjo,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 3 (2009).

Hubungannya dengan Soekarno dan Hatta pun berjalan harmonis. Akan tetapi, kuasanya menjadi Mensos tak berlangsung lama, walau kinerja cukup baik. Tercatat, Iwa hanya berada di kabinet hingga 14 November 1945. Selepas itu, Iwa bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka, bersama Sudirman sebelum menjadi panglima besar. Karena itu, Iwa sempat ditangkap dan dibui sebab terlibat daripada upaya percobaan kudeta terhadap Soekarno.

“Sejarah mencatat, Iwa ditangkap dan dihukum karena peristiwa ini. Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi. Sedangkan Sudirman menjadi panglima besar. Iwa kemudian muncul lagi dalam dunia politik sebagai anggota DPR dan kemudian menjadi Menteri Pertahanan Sipil, yang sempat menghadapi krisis 17 Oktober 1952,” tulis Ong Hok Ham dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Patah Tumbuh Seorang Perintis (2002).

Dalam dekade akhir kepemimpinan Soekarno, Iwa pernah menjabat Rektor Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, Menteri Ilmu Pengetahuan dan Perguruan Tinggi, serta Menteri Negara. itulah mengapa sumbangsih Iwa begitu besar bagi Bangsa Indonesia. Bahkan Iwa telah melahirkan sembilan buku. Lewat buku-buku itu, “Muruah” Iwa sebagai seorang perintis kemerdekaan dan seorang nasionalis-revolusioner terlihat dengan jelas.