Kapolri Pertama yang Mengilhami Jenderal Hoegeng: R.S. Soekanto
Kapolri pertama RS Soekanto (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kita mengenal nama Jenderal Hoegeng sebagai polisi jujur. Namun sejatinya ada nama lain yang bahkan turut menginspirasi sosok Hoegeng. Ia adalah Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Polisi Pertama Republik Indonesia. Soekanto adalah sosok revolusioner yang memiliki warisan begitu besar bagi institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) hingga hari ini.

Soekanto adalah sosok yang berada di balik pembentukan polisi air, udara, brimob, dan polisi lalu lintas. Soekanto juga dikenal sebagai penggagas berdirinya sekolah-sekolah kepolisian. Jenderal Hoegeng mengagumi sosok Soekanto yang jujur nan sederhana. Hoegeng sampai berkata, "Tanpa Pak Kanto polisi sudah berantakan."

Akademi Kepolisian Semarang (Sumber: Wikimedia Commons)

Soekanto lahir dari pasangan R. Martomihardjo dan Kasmirah. Kelahiran Bogor, 7 Juni 1908, Soekanto adalah anak sulung dari enam bersaudara. Ayahnya yang berprofesi sebagai pangreh praja (pejabat Belanda) membuat Soekanto kecil hidup berkecukupan.

Sekalipun kehidupan Soekanto berpindah-pindah mengikuti penempatan ayahnya, nilai disiplin ditanamkan oleh ayahnya. Perihal pendidikan, G. Ambar Wulan menjelaskan dalam buku Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949 (2009), bahwa Soekanto termasuk sebagian kecil kaum bumiputra yang dapat mengenyam pendidikan Barat.

Status keluarganya yang termasuk priyayi membawa Soekanto melenggang langgeng menempuh pendidikan di Froben School (Taman Kanak-kanak), Europese Lagere School (ELS) di Bogor, dan Hoogere Burger School (HBS) di Bandung.

Setelah lulus dari HBS, Soekanto sempat kuliah di sekolah tinggi hukum, Recht Hooge School (RHS) Batavia (Jakarta). Di sanalah Soekanto mulai memasuki dunia pergerakan. Salah satunya, Soekanto aktif dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (Jong Java).

Di situ Soekanto berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Mereka kemudian berteman akrab. Mereka juga ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lebih lengkap terkait pergerakan teman Soekanto, Iwa Kusamasumantri pernah kami ulas dalam tulisan “Melihat Kiprah Menteri Sosial Pertama Republik Indonesia Iwa Kusumasumantri".

Soekanto tak menamatkan pendidikan di RHS. Ia terpaksa meninggalkan RHS karena kondisi keuangan sang ayah yang mulai sulit. Soekanto pun mencoba mengikuti jejak ayahnya yang merupakan mantri polisi di Tangerang. Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi jadi pelabuhan belajar Soekanto pada 1930.

Soekanto lulus pada tahun 1933, setelah menempuh tiga tahun pendidikan. Semenjak itu Soekanto secara paripurna berkarier sebagai polisi dengan pangkat Politie 3 e Klass (Komisaris Polisi Kelas III) di Semarang.

Karier Soekanto sebagai polisi

Melansir Kompas.id, sebagai polisi Soekanto merasakan berbagai jabatan. Ia pernah menjadi polisi lalu lintas, reserse, hingga berlanjut di Dinas intelejen Politieke Inlichtingen Dienst (PID).

Di antara semua jabatan itu, reserse adalah posisi paling sesuai dengan minat Soekanto. Dalam perjalanannya kariernya, selain di Semarang, Soekanto pernah juga bertugas di bagian pengawasan di Purwokerto dengan pangkat Komisaris Kelas II. Ia kemudian menjabat sebagai Kepala Polisi Seksi III di Semarang.

Memasuki tahun 1940, karier polisi Soekanto berlanjut ke luar pulau Jawa. Ia ditugaskan menjadi pimpinan teknis di Kalimantan bagian selatan. Soekanto kala itu merangkap jabatan sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas I, yang mana jabatan itu adalah pangkat tertinggi yang dapat diperoleh oleh kaum bumiputra.

Kendati demikian, jabatan itu tak lama diembannya. Pada saat penjajahan Jepang, Soekanto dipindah tugas menjadi Kepala Polisi Keresidenan Jakarta. Ia juga sempat dipindahkan ke sekolah polisi di Sukabumi sebagai instruktur.

RS Soekanto (Sumber: Wikimedia Commons)

Barulah selepas Indonesia merdeka, oleh kedua sahabatnya –-Iwa dan Sartono-- Soekanto diajak ke sidang kabinet pada 29 September 1945. Secara mengejutkan, dalam sidang itu Presiden RI Soekarno menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan Kepala Dajawatan Kepolisian Negara (DKN).

Soekanto pun mendapat perintah pertama untuk meletakkan batu pertama fondasi kepolisian nasional. Soekanto pun menerimanya.

“Kenyataan ini pasti tak pernah dibayangkan oleh Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo ketika komisaris polisi tingkat pertama asal Sukabumi itu ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Kepala DKN pada 29 September 1945,” tulis laporan Majalah Tempo berjudul Kembalinya Hamba Wet? (1998).

Kala itu, DKN berkedudukan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Alhasil, kepolisian mendapat otonomi cukup luas dalam rangka mengatur tugasnya. Apalagi, kepolisian makin leluasa, ketika 1 Juli 1946, DKN ditempatkan langsung di bawah Perdana Menteri dengan pembagian tugas polisi dan TNI yang jelas.

Polisi mengurus tertib hukum. Sementara TNI mengurus pertahanan negara. Sekalipun hal itu berubah setelah Demokrasi Terpimpin di era Bung Karno dilaksanakan. Hukum mulai dijadikan alat kekuasaan, alat Revolusi yang menyebabkan polisi jadi "angkatan” di belakang TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).

Gelar polisi jujur

Jenderal Hoegeng (Sumber: Wikimedia Commons)

"Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng."

Begitulah ucapan Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam anekdotnya. Boleh jadi hanya Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang masuk dalam radar Gus Dur sebagai polisi jujur.

Meski begitu, Jenderal Hoegeng sendiri mengakui gurunya, Soekanto yang juga layak dikenal sebagai polisi jujur. Soal Soekanto, Hoegeng banyak mengenang sosok anti-politik praktis tersebut dalam tiap momentum.

“Pada suatu kali, masih di Hotel Merdeka, Hoegeng bertemu dengan KKN (Kepala Kepolisian Negara, Kapolri sekarang) R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo. Ini adalah pertemuan kembali Hoegeng dengan Soekanto, setelah pertemuan sebelumnya di Sekolah Polisi Sukabumi, di mana Soekanto menjadi salah seorang instrukturnya. Dengan sikap kebapakan, Soekanto mengajak Hoegeng kembali ke jajaran kepolisian,” tulis Aris Santoso dan kawan-kawan dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).

Soekanto, kata Aris Santoso berusaha membujuk Hoegeng yang sudah menjadi Mayor AL untuk masuk ke kepolisian kembali. Soekanto dengan segala sikap-sikapnya perlahan membuat luluh hati Hoegeng.

Setelahnya, Hoegeng kembali masuk ke kepolisian saat mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Soekanto: Sementara kepolisian Indonesia sendiri masih berantakan dan perlu dikembangkan.

Wejangan Soekanto membekas di hati Hoegeng. Ia terbayang kembali cita-cita masa kecil Hoegeng ingin menjadi Komisaris Polisi. Maka Hoegeng berketetapan hati kembali lagi ke kepolisian.

Lantaran pertemuan itu Hoegeng selalu menyanjung Soekanto sebagai guru terbaik. Sikap-sikap Soekanto yang jujur dan sederhana itulah yang diadopsi Hoegeng saat menjadi Kapolri Ke-5 dari tahun 1968 – 1971.

Kesederhanaan Soekanto juga terlihat saat dirinya pensiun. Seperti dilaporkan Harian Kompas pada 25 Oktober 1981, Soekanto benar-benar hidup dalam kesederhanaan - kalau tidak dikatakan miskin.

Ia benar-benar menjalani hidupnya dengan memegang teguh falsafah “sugih tanpo bondo” atau kaya tanpa kebendaan. Bahkan, Soekanto mengatakan dirinya hidup hanya dari pensiun. “Saya hidup dari pensiun,” katanya.

Dibandingkan dengan kondisi sekarang, jumlahnya memang memprihatinkan. “Meskipun demikian saya tidak ragu. Karena saya selalu menikmatinya senantiasa. Itu sudah cukup. Kalau kita berpegang pada hal ini sebenarnya sudah cukup. Karena apa lagi yang lebih tinggi dari hidupnya?” tutup Soekanto.