Kesederhanaan dan Kejururan adalah Teladan Kapolri Pertama, Jenderal Soekanto untuk Polisi Indonesia
Presiden Soekarno bersama Jenderal R.S. Soekanto (jas putih) dan Komisaris Besar Umar Said mengunjungi Pameran Pekan Kepolisian di Gedung Pertemuan Umum Jakarta pada 1951. (ANRI)

Bagikan:

JAKARTA - Perjuangan Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmojo membangun kepolisian Indonesia tiada dua. Fungsi dan teknis kepolisian adalah murni idenya. Semuanya digagas Soekanto kala diangkat Presiden Soekarno sebagai Kapolri pertama.

Kepemimpinannya pun dipuja-puji. Soekanto tumbuh sebagai polisi cerdas, jujur, dan antikorupsi. Ia tak mau mengambil hal yang bukan haknya. Ia rela hidup miskin. Sikap itu dibuktikan hingga ia pensiun. Ia sampai tak bisa membeli rumah dan hidup berpindah-pindah.

Pengalaman dan dedikasi Soekanto dalam dunia kepolisian tak perlu diragukan. Ia bahkan aktif menjabat sebagai penegak hukum semenjak masa penjajahan Belanda. Segala posisi pernah dicobanya. Dari polisi lalu-lintas hingga intelejen.

Pengalaman itu membuatnya melanggang-langgeng ke beberapa wilayah Hindia-Belanda (kini: Indonesia). Jasanya pun sebagai penegak hukum dibutuhkan pada masa penjajahan Jepang. Ia diminta menjadi salah satu pendidik di Sekolah Polisi Sukabumi.

Ia pun mendidik banyak polisi muda. Hoegeng Imam Santoso salah satunya. Kariernya tak lantas berakhir ketika Indonesia merdeka. Presiden Soekarno justru memberinya amanah besar. Soekanto diangkat sebagai Kepala Djawatan Kepolisian Negara (kini: Kapolri) pada 29 September 1945.

Kepala Djawatan Kepolisian Nasional (kini: Kapolri), R.S. Soekanto. (Wikimedia Commons)

Kepercayaan itu dibalas dengan gebrakan demi gebrakan. Soekanto menjadi sosok utama yang mengatur penuh terkait fungsi dan teknis kepolisian. Dari intelejen hingga Kepolisian Air dan Udara (Polairut).

Jabatan sebagai Kapolri pertama dilakukan dengan baik. Ia mampu menjadi panutan bagi anak buah. Utamanya, perihal kejujuran dan kesederhanaan. Tiada cerita dalam hidup Soekanto ia menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri. Apalagi mengambil hal yang bukan haknya.

Namun, satu-satu yang dapat membunuh kariernya adalah politik. Ia dianggap tak mendukung langkah Bung Karno yang akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia pun copot oleh Bung Karno dari kursi Kapolri pada 1959.

“Rumor lain sekitar pergantian Soekanto karena Presiden Soekarno sendiri ada kecenderungan memberi angin segar kepada PKI dengan dengan mendengung-dengungkan pentingnya Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom) bersatu. Soekanto menentang hadirnya PKI dalam kancah politik Indonesia karena masih teringat kebiadaban PKI dalam pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.

“Masalah lain adalah ketika Presiden Soekarno menikahi Hartini mendapatkan tetangan dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Hadidjah Lena Mokoginta Soekanto (istri Soekanto) sebagai tokoh Bhayangkari ikut aktif dalam demonstrasi menentang perkawinan itu,” ungkap Achmad Turan Dkk dalam buku Jenderal Polisi R.S Soekanto: Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia (2000).

Tak Punya Rumah

Kehidupan Soekanto setelah pensiun tak jauh berbeda ketika ia menjabat sebagai Kapolri. Hidupnya tetap sederhana – jika tak boleh dikatakan miskin. Ia bahkan tak punya rumah. Ia dan keluarganya kala harus meninggalkan rumah dinas Kapolri di Jalan Diponegoro No.3, Menteng, Jakarta Pusat. Soekanto memilih untuk kontrak rumah.

Kala itu, rumah yang dikontrak Soekanto berada di Jalan Pengangsaan Timur No.43. Itu pun bukan rumah yang tergolong mewah. Rumah itu adalah rumah tua dengan segala macam kerusakannya. Soekanto menerima nasibnya dan tak banyak mengeluh.

Keprihatinan justru muncul dari mantan anak buahnya. Awaloedin Djamin kala menjabat sebagai Kapolri 1978-1982, misalnya. Ia meminjamkan rumah dinas Polri di Vila Dorp, Kemang, Jakarta Selatan untuk didiami Soekanto dan keluarga sementara waktu.

Namun, Soekanto harus pindah kembali kala Jenderal Mochammad Sanoesi menggantikan Awaloedin Djamin sebagai Kapolri. Jenderal Sanoesi memberikan Soekanto opsi untuk pindah ke kompleks pejabat Polri di Ragunan. Opsi itu diterima dengan senang hati oleh Soekanto.

Perdana Menteri Mohammad Hatta memperkenalkan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru kepada Kepala Djawatan Kepolisian Nasional, R.S. Soekanto pada 1950. (ANRI)

Di sanalah kemudian Soekanto dan keluarganya menghabiskan sisa hidup hingga meninggal dunia pada 1993. Kepergian Soekanto membuat rumah yang ditempatinya dikembalikan ke Polri. Kepergian Soekanto pun tak meninggalkan banyak warisan. Kalau pun ada, satu-satunya warisan yang mampu diberikan Soekanto untuk bangsa dan negara adalah hadirnya Polri.

“Setelah pensiun, Soekanto menghadapi hari-hari yang berat karena sebagai orang yang jujur dan memegang teguh prinsip, ia miskin dan tidak mempunyai apa-apa, termasuk rumah sekalipun. Uang pensiunnya tidak besar, padahal beliau senang merawat sanak saudaranya, anak angkatnya dan lain-lain. Keluarganya di Bogor menginginkan Soekanto kembali ke Bogor, tetapi ia tidak ingin memberatkan keluarga.”

“Dengan ketegaran sebagai seorang mantan pemimpin, Soekanto bersiap mengarungi hidup sebagai purnawirawan, meninggalkan dunia kepolisian yang digelutinya selama 26 tahun. Soekanto menapak masa depan dengan ketegaran dan keteguhan hatinya dan yang tidak pernah punah adalah cintanya pada bangsa, negara, dan tanah air. Hal ini tercermin dari pengabdiannya sepenuh hati meski telah purna tugas dari kepolisian,” terang Awaloedin Djamin dan G. Ambar Wulan dalam buku Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2016).