JAKARTA - Jenderal Hoegeng Imam Santoso gemar melakukan aksi penyamaran. Mulai dari menyamar sebagai pelayan sampai jadi hippie pernah ia jajaki. Tugas-tugas intelijen itu ia lakukan untuk mengetahui persoalan akar rumput. Aksi ini bahkan masih ia lakukan hingga ia menjabat Kapolri.
Hoegeng mengaku bertugas di bidang intelijen merasa lebih prestise. Hal ini juga didukung oleh latar belakang pendidikannya yang banyak bersinggungan dengan tugas-tugas dunia shadow.
Kegembiraan Hoegeng menjadi lulusan angkatan pertama Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) tiada dua. Sebagai mahasiswa PTIK, Hoegeng belajar banyak hal, terutama belajar terkait tugas-tugas intelijen. Masa-masa itu tak saja menjadi pemantik Hoegeng menjadi polisi professional, tapi ‘Si Polisi Jujur’ ikut memberikan sumbangsih kepada PTIK. Ada andil Hoegeng dalam pembuatan lambang Polri, lambang Mobrig (kini: Brimob), dan lambang PTIK.
Ruang itu diberikan oleh Kapolri Pertama Jenderal R.S. Soekanto yang visioner. Pun atas rekomendasinya, beberapa mahasiswa PTIK, termasuk Hoegeng diberikan kesempatan menjadi bagian dari polisi Indonesia yang diundang study tour ke Amerika Serikat (AS). Hoegeng sendiri belajar banyak terkait tugas-tugas Intelejen di AS.
Di mata Hoegeng pengalamannya di AS jadi bekal berharga saat menjabat Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) di Jawa Timur. Sebuah posisi yang banyak membawa Hoegeng menjalankan tugas-tugas intelijen.
“Pada 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, George, AS. Setelah itu, ia berhasil menyelesaikan pendidikan kepolisiannya di PTIK Jakarta. Tugas pertamanya setelah selesai pendidikan adalah sebagai Kepala DPKN di Kepolisian Jawa Timur,” ujar Yudi Latief dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014).
Hoegeng tampak nyaman menjalankan tugas-tugas intelijen di Jawa Timur. Namun, di penghujung tahun 1955, Hoegeng ditunjuk jadi Kepala Reskrim Kepolisian Provinsi Sumatra Utara. Penunjukan Hoegeng dilakukan langsung oleh Kapolri pertama, Jenderal R.S. Soekanto. Penugasan itu diberikan atas rekomendasi dari jaksa Agung Soeprapto yang merupakan kerabat dekat Hoegeng.
Soeprapto dalam hal itu mengetahui tindak-tanduk Hoegeng sebagai polisi yang berintegritas. Maka, Hoegeng diberikan tugas untuk memberantas korupsi, smokel (penyelundupan), dan perjudian di Medan. Tugas itu tak membuat nyali Hoegeng ciut meski sempat muncul keinginan untuk menolak penugasan dengan sederet alasan.
Yang paling utama, pemindahan itu menjadikan mimpi Hoegeng untuk bersekolah di kepolisian Amerika Serikat (AS) bisa jadi batal. Apalagi, Hoegeng ditugaskan di Medan yang ketika itu notabene tak selalu baik buat karier seseorang di dunia kepolisian. Lagi pula, latar belakang pendidikan dan jabatannya di kepolisian adalah bidang intelijen, bukan kriminal.
"Meskipun tak diucapkan, maka bagi seorang polisi ada persamaannya dengan wartawan. Mengurus soal kriminal itu biasa, gampang. Tapi urusan DPKN lebih berprestise karena lebih banyak menggunakan otak” terang Hoegeng menjelaskan ketertarikannya di bidang Intelijen seperti ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
Rekam jejak "bayangan" Hoegeng
Kiprah Hoegeng dalam tugas-tugas Intelijen sebenarnya telah ditekuni jauh sebelum menjadi mahasiswa PTIK. Aksi penyamaran Hoegeng pertama kali dicatat justru sejak zaman revolusi atau tepatnya saat agresi militer II Belanda dilancarkan.
Hoegeng terpilih sebagai salah satu perwira yang tugaskan sebagai agen intelijen di Yogyakarta. Kala itu, Hoegeng di bawah komando Soekarno Djojonegoro, yang pada masa mendatang menjadi Kapolri kedua.
Hoegeng disiapkan untuk menjaring ragam informasi yang diperlukan bagi perjuangan Indonesia—dari potensi serangan hingga senjata. Bersamaan dnegan itu, Hoegeng dibebani tugas lain seperti mencoba menarik simpati atau melakukan propaganda supaya sebagian besar serdadu Netherland Indies Civil Administration (NICA) berpihak kepada Indonesia.
“Ketika terjadi agresi Militer II pada Desember 1948, kepala kepolisian menugasi Hoegeng menjadi agen intelijen. Tugasnya mencari informasi serta menarik simpati serdadu dan pegawai NICA untuk mendukung pemerintah Indonesia. menjalankan tugasnya, Hoegeng menyamar sebagai pelayan di Restoran Pinokio, Jalan Jetis 39, Yogyakarta. Aditya Sutanto (anak Hoegeng) menyebutkan restoran itu milik keluarga ibunya. (sedang) ibunya Meriyati, berjualan sate di restoran yang didatangi tentara Belanda itu,” ungkap Hussein Abri Dongoran dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Panjang Kuping Pinokio (2021).
Setelahnya, aksi penyamaran hampir menjadi kebiasaan Hoegeng. Sebab, sampai Hoegeng menjadi Kapolri sekalipun, tugas penyamaran tetap dilanggeng. Demi memonitori situasi, kata dia.
Salah satunya ketika penggunaan narkoba mulai digandrungi oleh anak-anak muda hingga publik figur Indonesia pada tahun 1970-an. Merebaknya budaya narkoba ini tak lepas dari masuknya pengaruh budaya barat yang merangsang semangat kebebasan dan perlawanan di kalangan generasi muda.
Sosok yang berjuluk The Singin General itu penasaran. Dalam catatannya, kala itu jenis narkoba yang banyak dikonsumsi adalah heroin, LSD, morfin, dan tanaman ganja. Untuk itu, Hoegeng segera bertindak melakukan aksi penyamaran untuk mengetahui alasan merebaknya semangat sex drug, music, and rock n roll di kalangan anak muda, utamanya mereka yang tengah mengkonsumsi ganja.
Tak main-main. Hoegeng yang seorang Kapolri sampai rela didandani seperti kaum hippie era 1970-an oleh anak buahnya. Penampilan Hoegeng pun menjadi sulit dikenali berkat tambahan aksesori. Hoegeng diminta menggunakan wig, kemeja bunga-bunga, dan syal di leher. Ia mengenang tampilannya laksana orang gila. Kendati demikian, operasi Hoegeng sukses. Bahkan dari operasi itu Hoegeng dapat menjaring seorang anak menteri yang kedapatan mengkonsumsi narkoba.
"Anak buah saya menyuruh saya menyamar dan berdandan seperti anak muda 1970-an. Maka, saya pakai wig gondrong, kemeja bunga-bunga, syal di leher, pokoknya seperti orang gila. Saya berjalan ke mana-mana selama berhari-hari dan tak seorang pun yang mengenali saya sebagai Hoegeng.”
“Saya mendatangi beberapa tempat perkumpulan anak-anak muda di Jakarta. Yang menggelikan, selama penyamaran saya tak berani mencoba mariyuana. Saya selalu merokok dan bertanya macam-macam kepada anak-anak muda itu," kenang Hoegeng sebagaimana ditulis Aris Santoso dkk dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya
BACA JUGA: