JAKARTA - Perang lawan narkoba sudah sejak dulu. Presiden Amerika Serikat (AS) Richard Nixon jadi pionirnya. Nixon jadi aktor utama yang melabeli narkoba sebagai musuh publik nomor satu. Ia juga mendeklarasikan kampanye ‘War on Drugs’ pada 1971, yang menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Jauh panggang dari api. Peredaran narkoba makin sulit dibendung. Nixoni sampai menggerutu, Perang lawan narkoba lebih memusingkan dari Perang Vietnam.
Penggunaan narkoba bukan barang baru di AS. Sejak Perang Saudara Amerika (1861-1865), budaya narkoba sudah meluas. Pun peredaran narkoba mencapai masa jayanya sejak era 1960-an. Peredaran narkoba jenis ganja jadi yang paling digandrungi oleh anak muda. Kondisi itu diperparah dengan kehadiran heroin sebagai primadona dikalangan anak-anak muda AS.
Keprihatinan kemudian muncul dari Presiden AS, Richard Nixon (1969-1974). Peredaran narkoba yang makin marak memecah banyak konsentrasinya. Termasuk konsentrasi kepada Perang Vietnam. Ia mencoba mengambil alih masalah tersebut. Orang nomor satu di AS itu langsung mendeklarasikan "War on Drugs” atau perang melawan narkoba dihadapan Kongres AS pada 1971. Narkoba musuh publik nomor satu, katanya.
Perang melawan narkoba ini menjelma jadi kampanye global perlarangan narkoba besar-besaran melalui intervensi militer dan penguatan dana untuk pihak militer. “Musuh publik nomor satu Amerika di AS adalah penyalahgunaan narkoba. Untuk melawan dan mengalahkan musuh ini, perlu untuk melancarkan serangan baru yang habis-habisan,” ucap Nixon dalam pidatonya di hadapan Kongres.
Dalam masa itu, upaya perang melawan narkoba yang digelorakan Nixon berpengangan pada meningkatkan hukuman, penegakan, dan penahanan bagi pelanggar narkoba (pengedar maupun korban). Alhasil, kampanyenya bukan berfokus pada inisiatif pencegahan dan perawatan yang komprehensif, tapi sebagai prioritas peradilan pidana.
Akibatnya, muncul kekhatiran atas efektivitas perang melawan narkoba. Beberapa kalangan menganggap kampanye itu cuma buang-buang uang, terlebih ada narasi yang menganggap perang melawan narkoba hanya untuk melemahkan pengaruh komunitas kulit hitam di AS. Terlihat jelas, ada sebuah upaya melabeli mereka yang berkulit hitam sebagai pecandu heroin yang di kambing hitam menjadi biang kerok krimininalitas di AS.
“Seraya toleransi pecandu terhadap narkoba meningkat, tuntutannya akan narkoba meningkat, dan biaya kebiasaannya meningkat. Hal ini dapat dengan mudah mencapai ratusan dolar per hari. Karena "pagar" dunia bawah hanya akan memberinya sebagian kecil nilai barang yang ia curi, seorang pecandu dapat dipaksa melakukan dua atau tiga pencurian sehari untuk mempertahankan kebiasaannya.”
“ Perampokan jalan, kemelaratan profesional, bahkan kemelaratan orang lain terhadap kecanduan narkoba —seorang pecandu akan melakukan pelanggaran apa pun, degradasi apa pun untuk memperoleh narkoba yang dia inginkan,”ucap Nixon seperti ditulis Sean J. Haley dkk dalam buku Opioids and Population Health (2020).
Dampaknya, dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun perang melawan narkoba ala Nixon dinilai merugikan. Tidak adanya upaya preventif untuk pengguna narkoba jadi persoalan utama. Selain itu, perlawanan terhadap narkoba memicu kemunculan peredaran narkoba ilegal dengan cara-cara tak lazim. Bisnis narkoba pun menjamur di AS. Sebagai bukti, beberapa negara, termasuk Indonesia, menganggap konsumsi narkoba adalah budaya yang di impor dari AS.
“Dalam sejarah perang melawan narkotika, Amerika menghasilkan generasi muda pecandu yang dikenal dengan generasi hippie atau generasi bunga: Pada titik ini ada kesamaan model penegakan hukum di Indonesia sekarang dengan model penegakan hukum ketika zaman Nixon,” ujar Anang Iskandar dalam buku Politik Hukum Narkotika (2020).
Menjalar ke Indonesia
Adalah Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang mulai menyadari merebaknya peredaran narkoba di kalangan anak muda Indonesia pada tahun 1970. Kapolri yang berjuluk The Singing General menyebutkan merebaknya budaya narkoba ini tak lepas dari masuknya pengaruh budaya AS yang merangsang semangat kebebasan dan perlawanan di kalangan generasi muda. Indonesia lalu menyikuti jejak AS menggelorakan perlawanan terhadap narkoba.
Hoegeng yang sehabis mengikuti sidang Interpol di Belgia telah mendapatkan informasi terkait bahaya dari narkoba. Bekal itu yang kemudian digunakan Hoegeng untuk menggali lebih dalam penyebaran narkoba di Nusantara. Dalam catatannya, kala itu jenis narkoba yang banyak dikonsumsi adalah heroin, LSD, morfin, dan tanaman ganja. Hoegeng sampai melakukan penyamaran untuk mendapatkan gambaran jelas dampak dari narkotika.
“Ancaman narkotika bagi anak-anak muda Indonesia sebenarnya bersumber dari situasi global dunia remaja di satu pihak, dan kenyataan-kenyataan lokal di Indonesia di lain pihak. Suasana kehidupan anak-anak muda Indonesia di kota-kota besar dikenal berkiblat pada kebiasaan kaum hippie dan para penyanyi pop idola kaum remaja, lalu dikaitkan pula dengan gejala rumah tangga ‘tante girang’ dan ‘cross mama’ di kota-kota besar seperti Jakarta.”
“Banyak anak-anak orang kaya yang mengalami broken home mencoba melarikan diri dari kepahitan hidup dengan jalan menjadi pecandu ganja, heroin, dan narkotika,” cerita Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
Berdasarkan penyelidikan Hoegeng, Polri sempat menangkap anak muda pecandu ganja. Anak muda tenyata adalah anak dari salah satu menteri yang berkuasa pada era Orde Baru (Orba). Namun, sebelum penyelidikan dilanjutkan kembali, Hoegeng keburu “didubeskan” (kata ganti: diasingkan dari tugasnya) dari jabatannya oleh Presiden Soeharto pada 1971. Setelahnya, peredaran narkoba makin marak di Indonesia.
Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) juga merasakan hal sama. Peredaran narkoba yang makin marak makin merusak generasi muda di Ibu Kota. Bahkan, narkoba sudah muncul di kalangan anak sekolah. Ali Sadikin pun segera menggalakkan kampanye antinarkoba di sekolah-sekolah. Ia sering kali berucap: Marijuana lebih bahaya daripada pornografi.
Ali Sadikin telah sedari awal menyadari orang yang bermain dalam bisnis narkoba jelas bukan sosok sembarangan. Polisi tak dapat mengungkap. Pemerintah DKI Jakarta apalagi. Bukan pula bidang tugasnya. Jadi, upaya yang ditanamkan Ali adalah melakukan upaya preventif yang menjadi tanggung jawab banyak pihak. Tak melulu polisi. Melainkan, seluruh elemen pemerintahan, guru-guru, hingga tokoh masyarakat.
Tiap anak muda diberikan pemahaman yang tepat hingga dapat menghindari pengaruh buruk narkoba. Selebihnya, Ali sadikin juga memprakarsai sarana perawatan dan rehabilitasi narkoba bagi mereka yang telanjur kecanduan terhadap narkoba.
“Saya adakan klinik khusus di Rumah Sakit Fatmawati untuk para korban narkotika. Pada tahun 1973 saya memprakarsai pendirian ‘Wisma Pamardhi Siwi’ sebagai sarana perawatan/rehabilitasi korban narkotika atau anak-anak nakal dari hasil razia maupun yang dititipkan orang tuanya. Di sana diusahakan rehabilitasi atas si korban. Sebelum kemudian kembali ke masyarakat para korban terlebih dahulu diberi bimbingan,” tutup Ali Sadikin ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.