Jenderal Hoegeng Si Polisi Jujur Diguna-guna Koruptor
Jenderal Polisi Hoegeng (Sumber: Perpusnas.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Jenderal Hoegeng Imam Santoso adalah sosok polisi antikorupsi. Sejak awal menjadi polisi, Hoegeng tak bisa diajak kompromi, apalagi disuap. Baginya hukum tak pandang bulu. Sikap lurus Hoegeng pun memantik kebencian, khususnya bagi para polisi korup. Hoegeng bahkan pernah diguna-guna karena sulit dirayu.

Itu terjadi kala Hoegeng jadi Kepala Reskrim di Medan. Di penghujung tahun 1955, Hoegeng ditunjuk jadi Kepala Reskrim Kepolisian Provinsi Sumatra Utara. Penunjukan Hoegeng dilakukan langsung oleh Kapolri pertama, Jenderal R.S. Soekanto. Penugasan itu diberikan atas rekomendasi dari jaksa Agung Soeprapto yang merupakan kerabat dekat Hoegeng.

Soeprapto dalam hal itu mengetahui tindak-tanduk Hoegeng sebagai polisi yang berintegritas. Maka, Hoegeng diberikan tugas untuk memberantas korupsi, smokel (penyelundupan), dan perjudian di Medan. Tugas itu tak membuat nyali Hoegeng ciut meski sempat muncul keinginan untuk menolak penugasan dengan sederet alasan.

Yang paling utama, pemindahan itu menjadikan mimpi Hoegeng untuk bersekolah di kepolisian Amerika Serikat (AS) bisa jadi batal. Apalagi, Hoegeng ditugaskan di Medan yang ketika itu notabene tak selalu baik buat karier seseorang di dunia kepolisian. Lagi pula, latar belakang pendidikan dan jabatannya di kepolisian adalah bidang intelijen, bukan kriminal.

“Sebenarnya Hoegeng enggan dipindahkan ke Medan, dengan lingkup tugas bidang kriminal. Menurut Hoegeng, seorang polisi bertugas mengatasi masalah kriminal merupakan hal biasa dan itu relatif mudah. Sementara bertugas di bidang intelijen (DPKN) lebih berprestise karena menggunakan otak."

"Hoegeng lebih berminat ditugaskan di bidang intelijen, sesuai dengan penugasan sebelumnya di Polda Jatim dan Kursus singkat di Amerika,” tulis Aris Santoso dkk dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009).

Setelahnya, Hoegeng mengambil tantangan sebagai polisi yang bekerja di bidang kriminal. Namun, sebelum berangkat Hoegeng mulai mencari banyak referensi terkait tempat penugasan baru. Agar hapal medan kerja, pikirnya. Pucuk dicinta ulam tiba. Paman Hoegeng, Abdulkadir Widjojoatmodjo telah mendengar penugasan Hoegeng yang baru.

Jenderal Hoegeng semasa jadi Kapolri (Sumber: perpusnas.go.id)

Lantaran itu Hoegeng segera diminta berkunjung ke rumahnya. Di tengah kunjungan itu, paman Hoegeng segera mengenalkan Hoegeng kepada seorang keturunan bangsawan Melayu-Langkat yang juga perwira Polri, Teuku Aziz. Darinya Hoegeng banyak menggali Informasi. Beberapa di antaranya informasi mengenai situasi kriminal terkini di Sumut.

Begitu pula soal kelompok penguasa peta hitam perjudian dan penyelundupan di Medan, yang dalam bahasa Hoegengdisebut China Medan. Aziz meminta Hoegeng berhati-hati dengan China Medan karena biasanya pejabat kepolisian yang baru sering dikerumuni China Medan. Mereka sering memberi hadiah-hadiah menggiurkan supaya bisnis haram langgeng tanpa gangguan.

“Karier Hoegeng berkembang. Dikirim belajar ke Amerika Serikat, ditugaskan di Jawa Timur, tahun 1956 diangkat menjadi Kepala Reserse Kriminal Sumatra Utara di Medan yang kesohor sebagai tempat pedagang Tionghoa punya hobi menyuap pejabat-pejabat. Namun, Hoegeng tidak bisa disuap. Di tengah dunia judi, smokel, korupsi, dan rayuan wanita cantik, dia kokoh sebagai polisi yang jujur dan lurus, an honest and straight cop,” kenang Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 6 (2012).

Hoegeng "diguna-guna"

Jenderal Hoegeng (Sumber: Perpusnas.go.id)

Tak lama setelah resmi menginjakkan kaki di Medan pada 1956, Hoegeng langsung beraksi. Ia menolak kompromi dan tak mau disuap oleh kelompok China Medan. Semakin hari Hoegeng makin paham pola kriminal di Medan. Dalam kegiatan perjudian dan smokel, misalnya. Rata-rata kegiatan itu dimodali dan diselenggarakan oleh China Medan.

Mereka juga banyak dilindungi (backing) oleh oknum-oknum ABRI juga polisi. Hoegeng tak peduli. Selama mereka melakukan kejahatan, maka Hoegeng berkewajiban memberantas China Medan dan “kacung-kacung” berseragam aparat penegak hukum.

Hoegeng lalu berkoordinasi dengan banyak pihak, seperti Kepala Bagian Mobile Brigade, AKP Mauluhi Sitepu dan Kepala Bagian Umum AKP Partoyo. Mereka kemudian bersama-sama dengan Hoegeng turun langsung ke lapangan untuk mengungkap ragam kasus kriminal.

“Karena tak mau berkompromi, Hoegeng juga tak jarang menghadapi ancaman pembunuhan. Salah satunya, saat Hoegeng dijadikan sasaran penembak jitu (sniper) ketika bertugas di kawasan pinggiran hutan di Kota Medan."

"Namun, Hoegeng tak menceritakan dalam kasus apa dia dijadikan sasaran tembak. Hoegeng juga tak menceritakan siapa pelaku penembakan tersebut,” ujar Suhartono dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (2013).

Berkat Hoegeng jadi polisi lurus, keberhasilan demi keberhasilan diraih oleh Kepolisian Sumut. Tak terhitung sudah berapa banyak kasus yang dibongkar Hoegeng. Hoegeng juga tak segan-segan menghukum aparat yang jadi pelindung usaha China Medan.

Hoegeng semasa jadi Kapolri (Sumber: Perpusnas.go.id)

Dalam masa itu Hoegeng dan AKP Mauluhi Sitepu pernah hampir berhasil menangkap oknum polisi berpangkat Komisaris Polisi Kelas II yang bekerja sama dalam penyendupan dengan China Medan. Tak bisa terang-terangan melawan Hoegeng, polisi korup itu kemudian ingin balas dendam dengan cara tak biasa: ilmu hitam.

Imbasnya, Hoegeng sempat jatuh sakit, konon karena guna-guna. Semenjak sakit itu Hoegeng berpasrah diri pada Yang Maha Kuasa. Meski begitu dukun yang menjampi Hoegeng muncul dan minta maaf. Hoegeng disembuhkan dan si dukun justru mendapat maaf dari Hoegeng, bukan dihukum. Sementara sang polisi korup langsung meminta pensiun supaya tak dihukum berat.

“Saya pasrah saja pada Tuhan. Saya tidak tahu apa yang terjadi atas diri saya. Tapi suatu hari datanglah seorang dukun atas permintaan anak buah saya. Ia turunan Ja-Del (Jawa-Deli) dari perbaungan. Sang dukun mengaku, bahwa ia diminta oknum KP-II supaya menjampi mati diri saya! Ia begitu menyesal dan minta ampun pada saya! Dukun mengobat saya. Ternyata saya sembuh,” tutup Hoegeng seperti dituliskan Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

*Baca Informasi lain soal KORUPSI atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya