Bagikan:

JAKARTA - Kejujuran Hoegeng Imam Santoso telah teruji. Tindak-tanduknya sebagai polisi anti suap jadi bukti. Bahkan, kejujuran itu acap kali hadir saat memangku jabatan di luar korps dan kesatuannya. Kala menjabat Kepala Djawatan Imigrasi, misalnya. Ia enggan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kepemimpinannya disegani karena berani. Hoegeng pernah mengusir pengusaha dari kantornya. Sikap lurusnya sebagai bukti Hoegeng tak dapat diintervensi oleh pengusaha. Sekalipun orang dekat presiden.

Integritas Hoegeng sebagai polisi telah terlihat sejak zaman Jepang. Hoegeng menjalankan jabatannya dengan penuh komitmen. Karenanya, Hoegeng dikenal sebagai pribadi yang jujur dan berani. Keberanian itu makin terlihat saat Hoegeng mau menerima tantangan Kapolri Jendral Raden Said Soekanto (1945–1959).

Tantangan itu berupa keinginan supaya Hoegeng memberantas korupsi, smokel (penyelundupan), dan perjudian di Medan pada 1955. Ia diminta mengisi jabatan sebagai kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim).  Hoegeng tak gentar sama sekali. Padahal Hoegeng sendiri memiliki latar belakang pendidikan dan jabatannya di kepolisian adalah bidang intelijen, bukan kriminal.

Hoegeng pun melakukan penelitian kecil-kecilan. Informasi tentang situasi kriminal di Medan dikumpulkan Hoegeng. Supaya mendapatkan gambaran jelas, pikirnya. Kelompok China Medan –dalam bahasa Hoegeng—jadi yang paling patut diwaspadai. Mereka sering kali memberikan hadiah-hadiah menggiurkan kepada pejabat kepolisian sebagai ajian. Sebab, mereka ingin bisnis haramnya tetap langgeng tanpa adanya gangguan.

Hoegeng berbeda. Ia mendobrak tradisi pejabat polisi yang sebelumnya mudah disuap. Hoegeng tetap pada tugasnya sebagai penegak hukum. Karena itu, Hoegeng tak pandang bulu. Tak terhitung sudah berapa banyak kasus kriminal yang telah dipecahkan olehnya di Medan.

“Setelah lulus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) tahun 1952, Hoegeng ditempatkan di Jawa Timur. Penugasannya yang kedua sebagai Kepala Reskrim di Sumut yang menjadi batu ujian bagi seorang polisi karena daerah ini terkenal dengan penyelundupan. Hoegeng disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan oleh beberapa cukong perjudian. la menolak dan lebih memilih tinggal di hotel sebelum mendapatkan rumah dinas,” ungkap Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010).

“Masih ngotot, rumah dinas itu kemudian juga dipenuhi perabot oleh tukang suap itu. Kesal, ia mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi dan karena tidak dipenuhi, akhirnya perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Maka gemparlah kota Medan karena ada seorang kepala polisi yang tidak mempan disogok.”

Jenderal Hoegeng Imam Santoso (Foto: Perpusnas)

Kepala Djawatan Imigrasi

Masa bakti Hoegeng di Medan berakhir pada 1960. Ia pulang ke Jakarta. Tapi kala itu, Hoegeng belum mendapatkan panggilan tugas. Praktis untuk beberapa saat Hoegeng menganggur. Keadaan itu sama sekali tak dirisaukan olehnya.

Hoegeng tetap menjalani hari-harinya dengan santai. Waktunya banyak diisi dengan kegiatan berkesenian. Dari melukis hingga bermain musik. Apalagi, Hoegeng berpikiran jabatan tak perlu dikejar. Mereka yang berintegritas pasti akan ditempatkan pada jabatan yang pas pula. Semuanya hanya masalah waktu.

Pucuk dicinta ulam tiba. Hoegeng secara tak sengaja berjumpa dengan Menteri Koordinator Keamanan Negara/ Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal A.H. Nasution. Perjumpaan itu buat Jenderal Nasution prihatin dengan kondisi Hoegeng yang tengah menganggur. Ia langsung melaporkan keadaan Hoegeng yang nganggur kepada Presiden RI, Soekarno.

Lagi pula, A.H. Nasution telah mengetahui seluk-beluk prestasi Hoegeng saat bertugas di kepolisian. Hoegeng kemudian ditawari jabatan baru. Ia diangkat oleh Soekarno sebagai Kepala Djawatan Imigrasi Indonesia (kini: Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesia). Alias sebuah pekerjaan di luar korps dan kesatuannya. Pekerjaan itu diterima oleh Hoegeng.

“Secara resmi, Hoegeng kemudian diangkat sebagai Kepala Djawatan Imigrasi Indonesia pada tanggal 19 Januari 1961. Saat memimpin rapat pertama di Djawatan Imigrasi, Nasution ikut hadir. Dalam rapat tersebut, Nasution berharap Hoegeng membawa perubahan dalam organisasi dan manajemen,” tulis Suhartono dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan (2013).

“Tugas utama pelayanan kepada masyarakat diutamakan. Dalam periode kepemimpinan Hoegeng, Djawatan Imigrasi tak lagi banyak diintervensi oleh pihak-pihak lain. bahkan, campur tangan dari lembaga lain berhasil diminimalisasi oleh Hoegeng.”

Hoegeng bersama Presiden Soeharto (Foto: Wikimedia Commons) 

Tak mau diintervensi

Semasa Hoegeng menjabat, jawatan Imigrasi tengah memiliki ragam masalah. Jawatan itu tampak tak dikuasai sepenuhnya oleh orang imigrasi sendiri. Hoegeng menyadari lingkup kerja itu justru jadi “tempat makan” orang-orang non-imigrasi. Intel TNI angkatan darat, korps polisi militer, hingga kejaksaan agung. Sedang orang imigrasi sendiri laksana tukang stempel belaka. Hoegeng pun langsung menentukan sikap. Ia memahami imigrasi membutuhkan kepemimpinan yang tegas. Itu yang ia jalankan.

Hoegeng mulai bekerja keras. Sebagai Kepala Imigrasi, Hoegeng terus memperbaiki prosedur dan mekanisme kerja dari Jawatan Imigrasi. Layanan imigrasi ditingkatkan. Mulai dari proses pengurusan exit permit hingga paspor. Kepemimpinannya disambut pujian. Imigrasi tak lagi diintervensi oleh pihak-pihak luar. Lantaran itu Hoegeng berhasil mengembalikan kewibawaan imigrasi.

Imigrasi pun menjadi institusi yang disegani dan tak dapat dianggap remeh. Berbagai pihak ingin menyuap Hoegeng berkali-kali. Demi mulusnya urusan. Tapi semuanya ditolak mentah-mentah oleh Hoegeng. Baginya, menjaga marwah imigrasi sebagai institusi yang bersih adalah tanggung jawabnya.

Sikap itu turut diperlihatkan Hoegeng ketika ada pengusaha kaya raya asal Aceh yang ingin mendapatkan paspor diplomatik. Pengusaha itu beranggapan dengan menjadi orang dekat presiden Soekarno segala urusan bisa beres. Namun, tidak pada masa Hoegeng menjadi pemimpin Jawatan Imigrasi.  Hoegeng menolak memberikan paspor diplomatik yang memiliki kekebalan hukum tertentu.

Ia beranggapan aturannya jelas, selain untuk diplomat, paspor diplomatik tak dapat keluar. Lagi pula, paspor diplomatik harus mendapatkan rekomendasi dari dari Depertemen Luar Negeri, dan tidak melulu langsung ke kantor imigrasi.

Penolakan itu lantas membuat si pengusaha membujuk Hoegeng. Pun Hoegeng ditawari uang yang tak sedikit. Merasa diremehkan, Hoegeng kemudian bangkit dari bangkunya dan menunjuk pintu. Upaya itu semakin menegaskan integritas Hoegeng sebagai pejabat yang jujur.

“Saudara lihat itu pintu. Jadi saudara tinggal pilih: keluar baik-baik atau saya tendang ke luar pintu itu! Persetan dengan uang kamu itu!,” ucap Hoegeng dengan air muka tidak senang sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya