JAKARTA – Memori hari ini, 28 tahun yang lalu, 7 Agustus 1995, pemerintah Orde Baru (Orba) menetapkan Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Pengangkatan itu karena dedikasi dan keberanian Syekh Yusuf melawan penjajah Belanda.
Sebelumnya, maskapai dagang Belanda. VOC menganggap Syekh Yusuf sebagai sosok yang berbahaya. Kompeni pun tak mau kecolongan. Empunya kuasa menghukum Syekh Yusuf hukuman pengasingan ke Sri Lanka, kemudian ke Afrika Selatan.
Tiada yang menolak gairah belajar ilmu agama Islam di Timur Tengah. Ulama asal Gowa, Syekh Yusuf, apalagi. Kesempatan melanggengkan kunjungan ke luar negeri pada abad ke-17 tak disia-siakannya. Syekh Yusuf lalu mendalami Islam ke Suriah, Turki, Yaman, dan Arab Saudi (Makkah hingga Madinah).
Ia pun menyadari bahwa ilmu agama bukan cuma sebatas nutrisi jiwa. Ilmu nyatanya bisa jadi alat perlawanan yang ampuh. Perlawanan terhadap penjajahan dan kebodohan, utamanya. Ia pun pulang ke Nusantara dengan membawa banyak misi. Utamanya, ikut bergabung melawan penjajah.
Keinginan melawan penjajah makin menjadi-jadi kala mengetahui tanah kelahirannya, Gowa berhasil diobrak-abrik Belanda. Syekh Yusuf tak patah semangat. ia memilih untuk segera membantu sahabatnya, penguasa Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda.
Alih-alih hanya mendukung, Syekh Yusuf juga membawa serta ribuan pengikutnya pejuang Bugis untuk membantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sekalipun ia dan Sultan Ageng Tirtayasa kalah oleh Belanda. Empunya kuasa kemudian memilih untuk mengasingkan Syekh Yusuf.
Kompeni takut pengaruh besar Syekh Yusuf dapat memunculkan gejolak lain di Nusantara. Ia kemudian diasingkan ke Sri Lanka, kemudian Afrika Selatan. Di tanah Afrika ia terus memerangi kolonialisme. Bahkan, nama Kampung Makassar di Afrika Selatan adalah berkat popularitas Syekh Yusuf. Perjuangan itu membuat Syekh Yusuf banyak jadi inspirasi pejuang setempat. Utamanya, Nelson Mandela.
“Syekh Yusuf, yang dengan 4 ribu orang tentara Bugis memihak Sultan Ageng dan turut bergerilya dengannya, juga ditangkap oleh Belanda. Pada September 1682 Syekh Yusuf bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke Ceylon, kini Sri Lanka. Di Sri Lanka dia menulis karya-karya keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis.”
“la aktif menyusun sebuah jaringan Islam yang luas di kalangan haji yang singgah di Sri Lanka, di kalangan para penguasa dan raja-raja di Nusantara. Haji-háji itu membawa karya-karya Syekh Yusuf ke Indonesia dan karena itu, bisa dibaca di negeri kita sampai sekarang. Mengingat aktivitas Syekh Yusuf tadi, VOC Belanda khawatir dampaknya di bidang agama dan politik di Nusantara. Keadaan bisa bergolak terus. VOC lalu mengambil keputusan memindahkan Syeikh Yusuf Kaapstad (Cape Town) di Afrika Selatan,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid dua (2008).
Boleh jadi kehadiran Syekh Yusuf hanya eksis pada 1626-1699. Ia meninggal dunia di tanah Afrika Selatan pada 23 Mei 1699. Kepergiannya membawa duka yang mendalam. Namun, jasa-jasanya tetap abadi bagi Indonesia dan juga Afrika Selatan.
Sebagai bentuk penghargaan, pemerintah Orba kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Syekh Yusuf pada 7 Agustus 1995. Gelar itu sebagai penegas bahwa keberanian Syekh Yusuf mampu mengilhami tokoh bangsa mengusir penjajah.
“Pada tahun 1995 pemerintah Republik Indonesia mengangkat Syekh Yusuf al-Makassari yang wafat di Zandvliet Afrika Selatan pada tanggal 23 Mei 1699 sebagai pahlawan nasional. Pada bulan Oktober 2005 Syekh Yusuf dianugerahi pula penghargaan Oliver Thambo, yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan,” terang Suryadi dalam artikelnya di Jurnal WACANA berjudul Sepucuk Surat dari Bangsawan Gowa (2008).