Zaman Penjajahan Belanda di Indonesia, Perbudakan Diyakini Mendatangkan Keuntungan Berlimpah
Sebuah keluarga Belanda dengan pekerja orang asli Indonesia. (foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Maskapai dagang Belanda VOC mendukung penuh perbudakan. Skema perbudakan diyakini dapat menjanjikan keuntungan melimpah. Budak-budak itu andal bekerja dalam segala bidang. Dari juru masak hingga tukang kayu. Karenanya, memiliki banyak budak dianggap tanda kemakmuran. Tapi nasib para budak sebaliknya. Mereka diperlakukan bak binatang. Salah sedikit, hukuman sadis menanti. Pun tak sedikit yang mati. Potret itu menunjukan perbudakan adalah periode kelam penjajahan Belanda.

Kehadiran VOC dikenal luas sebagai peletak awal kolonialisme Belanda di Nusantara. Kompeni berambisi membangun kota ala Belanda di tanah koloni pada 1619. Semuanya berkat penaklukkan Jayakarta. Di atas puing-puing Jayakarta kota menyerupai kota-kota di negeri Belanda berdiri.

Batavia, namanya. Namun, pembangunan Batavia bukan perkara mudah. Rencana membangun kota sudah tentu baru berjalan selaras jika buruh murah tersedia. Kompeni putar otak. Opsi mendatangkan budak-budak dari berbagai penjuru Asia jadi solusinya.

Pembangunan Batavia digenjot. Belanda terbantu sekali dengan adanya kehadiran para budak. Hampir pasti tanpa bantuan mereka, sederet bangunan, kanal, hingga kasteel Batavia takkan terbangun. Sebab, kemampuan seorang budak dalam bekerja begitu mengagumkan.

Mereka andal dalam segala bidang. Lagi pula mereka dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan di banding orang Belanda. Apalagi orang Belanda kala itu masih kesulitan beradaptasi dengan iklim tropis khas Nusantara. Semanjak saat itu, ketergantungan akan budak makin menjadi-jadi. Dan VOC melihat sendiri peluang perdagangan budak. Kesempatan menjadi juraga budak di Batavia tak disia-siakan oleh Kompeni.

“Para budak merupakan satu-satunya kelompok populasi terbesar di Batavia hingga paruh terakhir abad ke-18. Namun, karena berasal dari berbagai tempat, hanya status merekalah yang menjadi semacam penyatu. Hukum VOC melarang mengambil orang Jawa sebagai budak karena mereka takut orang Jawa akan bersatu melawan orang Eropa. Untuk pekerjaan kasar, VOC lebih menyukai mengimpor budak dalam jumlah besar dari luar.”

“Hal tersebut memberikan keuntungan terhadap keamanan karena para budak dari tempat yang jauh dan beragam memiliki kemungkinan kecil untuk bersatu. Pada mulanya, budak-budak ini kebanyakkan didatangkan dari Asia Selatan yang terdapat koneksi perdagangan VOC,” ungkap Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2012).

Ilustrasi aktivitas sehari-hari warga Batavia bersama para budak mereka (Wikimedia Commons)

Mayoritas budak-budak yang didatang oleh VOC berasal dari Benggala, Malabar, serta Koromandel. Perlahan-lahan, Kompeni justru menemukan fakta bahwa mendatangkan budak dari dalam negeri --selain orang Jawa-- jauh lebih menguntungkan.

Peperangan antar kerajaan Nusantara jadi muasalnya. Yang mana pihak yang menang akan mengusai seluruh penduduk dari kerajaan. Kebanyakan di antaranya lalu dijual sebagai budak. Kompeni lalu menawarkan diri untuk menebus tawanan perang tersebut. Di samping Kompeni juga menebus banyak budak yang dijual oleh para bangsawan bumiputra karena tak mampu membayar hutang.

Keuntungan VOC melimpah karena perdagangan budak lokal. Biaya mendatangkan budak ke Batavia relatif murah. Kompeni hanya butuh waktu mengelilingi Manggarai, Bali, Arakan, hingga Sulawesi untuk mendapatkan budak lokal.  

Kedatangan budak di Batavia pun paling lama hanya beberapa minggu. Tak seperti budak India yang dapat memakan waktu hingga berbulan-bulan lamanya. Budak lokal lalu dijual (juga dilelang) di Batavia untuk dipekerjakan di segala bidang, sesuai keinginan tuan barunya. Beberapa budak lazimnya dijadikan Juru masak, tukang jahit, pesuruh, penjaga istal kuda, hingga bermain musik.

“Hidup para warga bebas (orang Eropa) berbeda. Banyak dari mereka hidup sebagai perlente dan kegiatan serupa yang memberikan mereka banyak waktu luang. Hampir semua warga bebas adalah mantan pegawai Kompeni.”

“Dan masyarakat Batavia terdiri atas orang kaya baru yang suka pamer kekayaan berselera rendahan. Dianggap tanda kemakmuran bila punya banyak budak dan melepaskan semua kerja dan urusan, bahkan pendidikan anak-anak, kepada pelayan,” tulis Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (1961).

Penyiksaan Budak

Budak-budak yang didatangkan oleh VOC acap kali menjadi buruan kaum Eropa, Cina, keturunan Portugis, dan Arab  kaya-raya. Para budak itu juga kemudian menjadi simbol kekayaan yang menentukan status sosial seseorang di tengah masyarakat. Dengan kata lain, siapa yang memiliki jumlah budak paling banyak, maka ia lah yang paling terhormat. Seorang tuan tanah kaya-raya saja dapat memiliki 100 budak atau lebih.

Aktivitas pekerja lokal di masa penjajahan Hindia Belanda di Indonesia (Wikimedia Commons)

Boleh jadi bagi orang Eropa memiliki budak sangat membantu untuk kaya-raya. Tapi tidak bagi budak. Alih-alih kecipratan kekayaan dan kemakmuran. Perlakuan pemilik budak, terutama orang Eropa cenderung tak manusiawi. Salah sedikit karena masala sepele, mereka dapat dikenakan hukuman keras bin sadis.

Hukuman diikat, dicambuk, dipotong telinga, atau  dicap dengan besi panas adalah yang paling sering. Perilaku sadis itu didukung pula dengan aturan yang diberlakukan oleh VOC. Dalam aturan itu menyebutkan, pemilik budak boleh menggunakan kekerasan untuk mendisiplinkan budak.

“Pihak penjajah waktu itu memberikan hak istimewa bagi para pemilik budak untuk menggunakan kekerasan. Kalau seorang pemilik budak tidak sanggup menggunakan kekerasan, ia dapat mengupah seorang balyaw (penegak hukum) untuk menganiaya budak yang dianggap membangkang.”

“Kalau itu belum cukup pemilik budak dapat mengajukan permohonan pada pengadilan untuk menghukum budaknya dengan hukuman pasung atau dirantai selama bertahun-tahun,” terang Alwi Shahab dalam buku Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).

Perlakuan kasar kepada budak bukan cuma monopoli orang Eropa. Pemilik budak dari etnis Cina juga ikut melanggengkannya. Mereka juga kerap memukuli budak karena masalah sepele. Di mata mereka, masalah kecil seperti sengaja memecahkan piring atau tak mendengar saat majikan teriak bisa menjadi masalah besar.

Konsekuensi yang dihadapi budak dalam mengabaikan perintah majikannya menyakitkan. Makian "anak pelacur, pelacur jelata, hingga anak anjing" dapat keluar terus menerus dari mulut majikan. Tak cuma verbal. Penganiayaan pun akan dialami para budak. Dalam keadaan itu budak biasanya dihadapkan pada tiga pilihan. Pertama, bunuh diri. Kedua, kabur. Ketiga, membunuh majikannya (menusuk atau meracuni).

“Namun dapat disebutkan bahwa semua warga Batavia sedikit banyak turut berperan dalam dunia perbudakan. Warga Cina juga memukuli budak-budak mereka karena hal sepele. Budak perempuan asal Bali milik Jan Haynio dari Batavia, istri seorang China Kung Looko, hanya memecahkan piring dan mencuri uang recehan.”

“Akan tetapi, perbuatan itu memberi cukup alasan bagi majikannya untuk mengikat kedua tangannya pada sebuah tiang dan mencambuki badannya dengan pecut Jawa, sambil mengancam akan dicambuk lagi kalau uang recehan itu tidak dikembalikan. Sebenarnya kesalahan yang dilakukan dan hukumannya yang kemudian dijatuhkan belum melewati batas, tetapi budak itu memutuskan untuk bunuh diri,” tutup Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).  

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.