JAKARTA - Sebanyak 30 orang yang dikerangkeng di sel mirip penjara di rumah Bupati Langkat, Sumut, nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin dibawa keluarganya ke rumah. Padahal, 30 orang ini sempat ingin dibawa petugas ke pusat rehabilitasi.
“30 orang sudah dikembalikan ke keluarga, 30 orang itu kalau perlu dibina kita sarankan ke pusat rehabilitasi. Tapi orang tua membawa ke rumahnya,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Selasa, 25 Januari.
Saat ini polisi masih menyelidiki dugaan perbudakan terhadap puluhan orang yang dikerangkeng oleh Terbit Rencana Perangin Angin.
“Dari tim masih menggali masih mempelajari belum melakukan pemeriksaan. Kita masuh mendalami, menggali informasi. Intinya masih penyelidikan,” sambung Ramadhan.
BACA JUGA:
Temuan Migrant Care
Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care mengungkap 40 pekerja sawit yang dikurung di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin mendapat perlakuan kejam.
Hal ini disampaikan oleh perwakilan Migrant Care, Anis Hidayah saat melaporkan kondisi ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dia mengatakan kerangkeng manusia hingga perlakuan kejam ini terbuka saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat Terbit Rencana dalam operasi tangkap tangan (OTT).
"Ada pekerja kelapa sawit yang bekerja di ladangnya yang ternyata kita menemukan tujuh perlakuan kejam yang diduga sebagai bentuk perbudakan modern dan perdagangan manusia," kata Anis di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Senin, 24 Januari.
Anis kemudian memerinci tujuh perlakuan kejam terhadap puluhan pekerja kebun sawit itu. Pertama, mereka dikurung di sebuah kerangkeng besi seperti penjara besi yang digembok di bagian luar.
Dia mengatakan kerangkeng besi itu menjadi tempat untuk menampung para pekerja di kebun kelapa sawit. "Ketiga, mereka tidak punya akses kemana-mana," ungkapnya.
"Keempat, mereka mengalami penyiksaan dipukul, lebam, dan luka. Kelima, mereka diberi makan tidak layak hanya dua kali sehari," imbuh Anis.
Selama bekerja, mereka tidak digaji. Terakhir, mereka tidak bisa berkomunikasi dengan pihak luar.
"Sehingga berdasarkan kasus tersebut kita melaporkan ke Komnas HAM. Karena pada prinsipnya itu sangat keji," tegasnya.