JAKARTA - Jejak penjajahan Belanda berpengaruh besar pada sektor lingkungan hidup. Nafsu maskapai dagang Belanda, VOC cari untung jadi muaranya. VOC banyak membuka lahan di luar Batavia. Untuk sawah hingga pabrik. Penggundulan hutan tak terhindarkan. Karma alam segera tiba. Pembukaan lahan harus dibayar mahal dengan malapetaka. Kompeni pontang-panting diterpa bencana yang mengundang maut: banjir, polusi, dan wabah penyakit.
Maluku (Ambon) sempat jadi pusat pemerintahan VOC pertama di Nusantara. Belanda mengambil alih kota itu dari pemerintahan Portugis. Bagi VOC, Maluku sempat dianggap jantung utama monopoli rempah-rempah. Pandangan itu langgeng selama tiga gubernur jenderal berkuasa, dari 1610-1619.
Namun di tengah jalan VOC mulai ragu mengultuskan Maluku sebagai markas besar. Keuntungan perdagangan yang tak seberapa jadi alasannya. Belanda pun mulai mencoba melirik kota-kota lain yang lebih strategis.
Indonesia bagian barat segera dilirik Belanda. Banten sempat jadi incaran. Tapi urung. Kekuatan Banten dianggap terlalu kuat. VOC mengalihkan pandangannya ke Jakarta atau Jayakarta, wilayah kekuasaan Banten. Dalam pandangannya, Jayakarta relatif lebih mudah ditaklukkan.
Belanda bersiasat. Mereka mengajak penguasa Jayakarta bekerja sama dalam perdagangan. Belanda pun diizinkan membentuk benteng di Pulau Onrust. Nyatanya di situ awal mula Gubernur Jenderal VOC dua kali --1619-1623 dan 1627-1629— Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta. Ia sempat kalah namun kembali lagi menyerang hingga menang.
“Pada bulan Mei 1619, Coen berlayar kembali ke pelabuhan tersebut dengan tujuh belas buah kapal. Pada tanggal 30 Mei, dia menyerang kota, meratakannya dengan tanah, dan memukul mundur tentara Banten. Pusat perdagangan VOC di Batavia, yang berdiri tegak di antara puing-puing Jayakarta, kini menjadi markas besar kerajaan niaga VOC yang luas.”
“Usaha merebut Batavia ini merupakan langkah paling penting yang ditempuh orang-orang Belanda sejak kapal pertama mereka berlayar ke Timur. VOC kini dapat membangun pusat militer dan administrasi di tempat yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang, yang terletak di Nusantara bagian barat serta mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia Timur, Timur Jauh, dan Eropa,” ungkap M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008).
Di atas puing-puing, Coen mendirikan Kota Batavia. Coen membangun sederet kantor, gudang, hingga fasilitas lain untuk serdadu VOC. Coen dan gubernur jenderal setelahnya bahkan menjadikan Batavia pusat segala kekuatan VOC. Perlahan VOC mulai memainkan siasatnya untuk memonopoli perdagangan rempah di tanah Jawa.
VOC lalu melakoni perang dengan Kerajaan Mataram. Kemudian Banten. Salah satu kunci kemenangan VOC adalah dengan melanggengkan strategi divide et impera (politik pecah belah). Kemenangan itu memaksa kedua kerajaan menandatangani perjanjian damai, Banten, pada 1659 dan Mataram 1677. Sesudahnya VOC terus melebarkan sayap memonopoli hasil bumi di Nusantara.
“Dengan senjata ampuhnya yang terkenal di dalam sejarah Indonesia dengan nama ‘devide et impera’ atau pecah-belah dan jajahlah, akhirnya kaum penjajah Belanda dapat menguasai baik Kerajaan Banten maupun kerajaan Mataram.”
“Kerajaan Mataram pun yang pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) mencapai puncak kejayaannya, karena senjata ‘devide et impera’ Belanda, akhirnya terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Belanda,” tulis Sagimun M.D. dalam buku Jakarta dari Tepian Air Ke Kota Proklamasi (1988).
Penggundulan hutan
Perjanjian damai antardua kerajaan jadi pintu Belanda menguasai sumber daya alam di Nusantara. Keran investasi VOC mulai ditingkatkan secara maksimal. Kompeni mulai mengusai tanah-tanah di luar tembok Batavia: Ommelanden. Pembukaan lahan itu dijadikan Belanda sebagai keran duit yang nantinya dapat disulap menjadi sawah, ladang, perkebunan, hingga pabrik.
Belanda tak mau rugi. Mereka menganggap penggarapan lahan akan memakan biaya yang sangat besar. Apalagi harus mengelolanya. Sebagai solusi, tanah-tanah di kawasan Ommelanden lalu diberikan dan dijual kepada pihak swasta. Lahan itu sepenuhnya dikuasai oleh mayoritas pengusaha Belanda dan China. Dalam membuka lahan, para pengusaha mulai membuka hutan dengan melakukan penebangan hutan. Pun ada pula yang membakar hutan.
Aksi penebangan hutan semakin masif –jika tak mau dikatakan aksi penggundulan hutan. Apalagi penebangan dilakukan tiap hari. Para pengusaha berperan besar terhadap rusaknya lingkungan hidup dengan menyewa sekelompok kaum bumiputra untuk melakukan penebangan. Mereka melakukan tugas penebangan dengan hanya menggunakan peralatan sederhana di tengah panas terik seperti kapak, parang, sekop, gergaji dan kompas.
“Eksploitasi hutan nusantara semakin intensif terjadi di zaman kolonial sejak 1696. Kerusakan hutan selama penjajahan Belanda semakin parah setelah VOC memanfaatkan kerja sama antara pengusaha etnis Tionghoa dengan kerajaan yang yang sudah terjalin sebelum masuknya Belanda ke Nusantara. Pemerintah Belanda memberikan VOC izin penebangan hutan di Jawa dan Batavia untuk memproduksi kayu sebagai bahan baku pembuatan kapal pada tahun 1611,” terang Syukur Umar dalam buku Perspektif Ekonomi Kesatuan Pengelolaan Hutan (2020).
Pada dasarnya, VOC tak melarang penebangan pohon, asalkan tidak mengakibatkan penggundulan hutan. Larangan itu secara masif diumumkan oleh VOC. Tapi realita menjawab sebaliknya. Para pengusaha justru bisa melakukan penebangan pohon, bahkan menggundulkan hutan selama mereka minta izin.
Bagi VOC meminta izin adalah jalan lain untuk mencari keuntungan. Dalam artian, setiap pohon yang ditebang, pengusaha harus membayar “uang keadilan” kepada kompeni. Lagi pula, kayu ataupun arang hasil penebangan harus dijual kepada VOC. Lantaran itu, urusan penebangan pohon kemudian menjadi ladang korupsi baru pejabat tinggi VOC.
Munculnya petaka
Keuntungan yang melimpah semakin membuat VOC abai terhadap lingkungan hidup. Imbasnya, malapetaka mulai mengintai pusat pemerintahan Kompeni di Batavia. Banjir jadi salah satu yang bencana yang paling sering menyapa. Kondisi hutan yang gundul membuat Batavia selalu menjadi langganan banjir saat hujan besar.
Penggundulan hutan juga berpengaruh pada munculnya banyak pabrik -- dari pabrik gula hingga penyulingan arak. Limbah daripada pabrik langsung dibuang ke sungai-sungai terdekat. Iklim Batavia jadi kurang sehat. Alhasil, sungai-sungai tercemar. Sungai yang tercemar mendatangkan petaka. Yang mana, turut mendatangkan wabah penyakit seperti malaria dan kolera.
Angka kematian orang Eropa di Batavia meningkat akibat wabah. Rumah sakit penuh. VOC pun kewalahan melakukan upaya pencegahan. Sebab, kematian orang Eropa di Batavia kala itu mencapai jumlah tertinggi. Orang-orang di Batavia mengenang keserakahan pemerintah dengan memplesetkan julukan Batavia, Koningen van het Oosten (Ratu dari Timur) dengan menggantinya menjadi Kerkhoven van het Oosten (Kuburan di Timur).
“Penebangan pohon demi perusahaan gula dan terlebih lagi penanaman padi yang memerlukan irigasi, berdampak cukup besar terhadap sungai. Setiap tahun didatangkan sekelompok ‘orang Jawa lumpur’ dari Cirebon untuk mengeruk parit kanal, tetapi mereka tidak mampu menahan pendangkalan; garis pantai cepat bergeser.”
“Pada 1733, bagaikan halilintar di siang bolong, Batavia dilibas oleh wabah Malaria yang disebabkan nyamuk anopheles sundaicus yang marak berkembang biak di genangan air payau dan banyak terdapat di sepanjang pantai. Wabah malaria itu ditenggarai sebagai akibat langsung dari pembuatan tambak ikan di muara sungai di tepi laut. Setiap tahun ribuan orang meninggal,” tutup sejarawan, Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
*Baca Informasi lain soal MASA PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.