Amburadulnya Pengelolaan Hutan Zaman Orba
Soeharto dan Bu Tien (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Pengelolaan hutan era Orde Baru (Orba) penuh dengan problema. Paradigma pembangunan ekonomi ala Orba jadi sebab. Orba selalu menyiapkan hutan hanya untuk investasi. Hak penguasaan hutan (HPH) pun ditebar. Begitu pula sumber daya alamnya.

Artinya kekayaan bumi Indonesia dikuasai pihak terbatas. Sementara kehidupan masyarakat kian sulit. Karenanya, Indonesia seakaan-akan dipersiapkan dalam fase memanen bencana dan kemiskinan.

Tantangan Soeharto di awal pemerintahannya sebagai orang nomor satu Indonesia tidak mudah. Indonesia kala itu harus menghadapi tiga tantangan sekaligus, yakni penegakan kekuasaan, pemulihan stabilitas ekonomi, dan pembangunan legitimasi pemerintahan.

Pemerintah Orba pun bersiasat. Orba menggunakan jasa teknokrat pembangunan yang terkenal dengan sebutan Mafia Berkeley. Kehadiran mereka membawa warna baru bagi pemerintahan Indonesia. Dari yang semula terkenal dengan politik mercusuar beralih ke pembangunan ekonomi.

Kerangka itu membuat pembangunan ekonomi jadi fokus utama pemerintah Orba. Mafia Barkeley pun memainkan peran vital. Mereka mengambil langkah langsung untuk memperbaiki ekonomi yang morat-marit pasca Orde Lama.

Kebijakan-kebijakan baru digalakkan. Tujuannya untuk membuka keran investasi seluas-luasnya demi stabiltas ekonomi. Kepentingan umum dikesampingkan. Sementara kepentingan kelompok atau perusahaan diutamakan. Semua demi menarik minat donor dan penyandang bantuan dunia.

“Untuk mengatasi masalah ekonomi ini, maka langkah segera yang diambil oleh rezim Soeharto adalah memperkuat Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi: Keuangan dan Pembangunan. Selain itu, Soeharto juga membentuk kabinet baru pada 25 Juli 1966 dengan tujuan menyelamatkan ekonomi, menciptakan kestabilan dan pemulihan ekonomi serta pembangunan ekonomi, yang diberi nama Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Kabinet Ampera).”

Soeharto (Sumber: Wikimedia Commons)

“Kabinet ini dibantu oleh Dewan Stabilisasi Ekonomi yang dianggotai profesor dan pakar ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) yang mayoritasnya adalah lulusan University of California, Berkeley yang terkenal sebagai mafia Berkeley seperti Prof. Dr. Widjojo Nitisastro (kerua Dewan Stabilisasi Ekonomi), Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Mohammad Sadli, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof. Dr. Subroto dan lainnya,” ungkap Hamka Hendra Noer dalam buku Ketidaknetralan Birokrasi Indonesia (2014).

Kehadiran Mafia Berkeley untuk sementara waktu berhasil. Stabilitas ekonomi terjaga. Namun hanya segelintir saja yang diuntungkan dari paradigma pembangunan ekonomi. Mayoritas yang diuntungkan adalah pengusaha dan pejabat pemerintah.

Tapi rakyat kecil, terutama petani justru taraf kehidupannya tak naik, tak juga turun. Alias bertahan di level yang sama sampai akhirnya mereka dipaksa bersaing dengan produk-produk pertanian dari pasar dunia.

“Ketergantungan kepada pemodal asing dimulai dengan perjanjian kerja sama dengan International Monetary Fund (IMF), yakni organisasi internasional yang bertanggung jawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara-negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara.”

“Masuknya modal asing secara masif sangat didukung oleh pemerintah Orde Baru yang ditopang oleh para Mafia Berkeley. Kemakmuran ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki akses terhadap pemerintah. Keberhasilan swasembada beras yang merupakan keunggulan dari program pemerintah tidak berlangsung lama karena penerapan kebijakan yang tidak konsisten,” ungkap Muhammad Ilham Arisaputra dalam buku Reforma Agraria di Indonesia (2021).

Pengelolaan hutan Orba

Soeharto dan Bu Tien (Sumber: Wikimedia Commons)

Kebijakan yang melulu menekan paradigma pertumbuhan ekonomi membuahkan pengelolaan hutan Indonesia yang amburadul. Melestarikan lingkungan bukan fokus utama pemerintah Orba. Demi kestabilan ekonomi, pemerintah turut menerbitkan ragam produk Undang-Undang.

Pada Undang-Undang No. 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan,misalnya. Kebijakan itu langsung dimanfaatkan oleh ragam transnasional. Mereka berlomba-lomba untuk mendapat HPH.

Tak main-main. Dalam kurun waktu 13 tahun saja (1967-1980) pemerintah Orba sudah menerbitkan 519 HPH. Total luas lahan konsesi yang berikat pemerintah mencapai 53 juta hektar. Sumatra dan Kalimantan jadi sasaran eksploitasi hutan.

Kawasan itu diminati karena mempunyai stok kayu komersial terbesar di Nusantara. Lebih lagi, kawasan itu dekat dengan pusat pasar Asia – Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.

“Untuk maksud ini, pemerintahan Soeharto dengan persetujuan parlemen, mengeluarkan Undang-Undang No.1/1967 mengenai investasi modal asing, Undang-Undang No.6/1967 mengenai modal dalam negeri, Undang-Undang No.5/1967 mengenai Undang-Undang Pokok Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 21/1970 mengenai mekanisme perizinan HPH, yang akhirnya memberi kontribusi terhadap kerusakan hutan di masa Orde Baru.”

“Di dalam Pasal 1 (ayat 1) dari Undang-Undang Prinsip Kehutanan, ditegaskan bahwa 'pemerintah mempunyai kewenangan untuk menentukan dan mengatur perencanaan dan pemakaian atas lahan kehutanan di dalam area hutan produksi'. Di dalam Pasal 13 juga tertulis bahwa pembangunan sektor kehutanan mengizinkan untuk menebang kayu log dari hutan produksi untuk tujuan-tujuan ekonomi, untuk meningkatkan kesejahtaraan sosial masyarakat Indonesia,” kata Herman Hidayat dalam buku Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi (2008).

Ilustrasi foto hutan di Indonesia (Sumber: Wikimedia Commons)

Realita berkata lain. Narasi Undang-Undang kebijakan yang dibuat sebesar-besarnya untuk rakyat, justru condong mengarah ke menguntungkan segelitir kelompok saja. Pengamat Lingkungan Hidup, Yani Sagaroa membenar hal itu.

Dalam pandangannya, strategi pemerintah yang memilih paradigma peningkatan pembangunan ekonomi hanya menguatkan konglomerasi perusahaan transnasional. Perusahaan itu kemudian mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, termasuk sektor kehutanan secara besar-besaran.

Yani Sagaroa juga menyoroti paradigma pembangunan yang dilanggengkan Orba. Ia mengatakan narasi meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat gerbang eksploitasi sektor hutan hanya sebatas jargon belaka.

Rakyat malah merugi karena hutan dieksploitasi besar-besar tanpa diimbangi oleh kebijakan yang menjaga lingkungan hidup. Karena itu, masalah lingkungan hidup makin beragam. Antara lain terjadi perusakan hutan masif hingga pembakaran hutan yang mengundang petaka.

“Dampak dari pola pengelolaan sumber daya alam kita yang menitik beratkan pada eksploitasi secara besar-besaran bermuara pada terjadinya degradasi dan deforestasi yang masif bagi sumber daya alam dan hutan. Tidak kurang dari dua juta hektar sumber daya alam kita hancur setiap tahunnya, dan hampir di setiap titik investasi terjadi konflik yang berkepanjangan antara masyarakat, capital, dan pemerintah.”

“Konflik penguasaan SDA terjadi manakala struktur dan tatanan hukum tidak lagi berpihak pada keadilan untuk memenuhi hak-hak masyarakat lokal, yang hidupnya tergantung dari daya dukung lingkungan dan hutan,” cerita Pengamat Lingkungan yang juga mantan Dewan Nasional Walhi (2008-2012), Yani Sagaroa ketika dihubungi VOI, Kamis, 9 Desember.

*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya