JAKARTA - Sering kali seorang anak Indonesia diajarkan menggunakan kata sapaan sesuai dengan situasi maupun hubungan antarsesama. Bentuk-bentuk kata sapaan kemudian jadi banyak dan beragam. Padahal, pada awal-awal kemerdekaan Indonesia, kata sapaan yang berkembang dan populer hanya beberapa saja, salah satunya adalah kata "Bung".
Saking populernya kata "Bung", sapaan itu dapat digunakan kepada siapa saja. Tak peduli seseorang itu berprofesi sebagai badut penghibur orang Istana ataupun seorang presiden. Orang-orang pada masa itu percaya dalam frasa ‘bung’ terdapat makna kesetaraan dan persaudaraan Lambat-laun, sapaan "Bung" begitu populer.
“Sapaan ‘bung’ yang populer pada awal kemerdekaan menunjukkan sapaan yang setara. Dan sapaan tersebut digunakan kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan untuk siapa saja. Dengan begitu, pilihan para pendiri negeri ini terhadap bahasa Indonesia, pada hakikatnya merupakan pilihan untuk beroleh bahasa yang mantap bagi sebuah bangsa yang merdeka, yakni sebuah bahasa yang demokratis,” Agus R. Sardjono dalam buku Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001).
Sebagai bukti, Putra Sang Fajar, Soekarno ikut dikenal luas dengan sapaan "Bung" yang bersanding dengan namanya. Maka, rakyat pun mengenal proklamator kemerdekaan tersebut dengan nama Bung Karno, yang mana diyakini sebagai penanda antara dirinya dan rakyat Indonesia tak memiliki sekat yang memisahkan. Pun hal yang sama disematkan kepada tokoh bangsa lain, seperti Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Tomo.
Lantas, kata "Bung" sering kali disejajarkan dengan sebutan "Citizen" dalam Revolusi Prancis atau "Kamerad" dalam Revolusi Rusia. Fakta itulah yang membuat sapaan "Bung" terdengar revolusioner dengan hadirnya tambahan makna seperti saudara serevolusi, saudara nasionalis Indonesia, ataupun saudara serepublik.
Diceritakan oleh Seno Joko Suyono dan Andi Dewanto dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Pipa Cangklong, Rubiyem, dan Kolonel Sanders (2007), sapaan "Bung" ikut-ikutan andil dalam mengobarkan samangat rakyat Indonesia berjuang guna mempertahankan kemerdekaan.
Alkisah, Bung Karno pada tahun 1945 meminta pelukis Affandi membesut suatu poster perjuangan. Bung Karno menegaskan pesanannya harus memuat gambar orang yang dirantai dan rantai yang telah putus. Kebetulan yang menjadi model pada saat itu pelukis Dullah.
Setelah selesai menggambar, Affandi nampaknya butuh sebuah kata-kata yang bernas, yang sekiranya mampu membangkitkan gelora semangat perjuangan. Beruntung, penyair kesohor Chairil Anwar lewat. Tanpa basa-basi pelukis Soedjojono --kakek dari Arian Arifin Wardiman vokalis band Seringai-- menanyakan kata-kata apa yang cocok untuk lukisan Affandi. “Dengan enteng, Chairil menjawab, 'Bung, Ayo Bung!'”
Efeknya, sungguh dahsyat. Seketika, irama “Bung, Ayo Bung” menggelegar sebagai ungkapan heroik yang seolah-oleh mampu membangkitkan narasi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari para penjajah. Siapa sangka, saat itu Chairil terinspirasi dari kata-kata pelacur Senen dalam menawarkan jasanya kepada laki-laki hidung belang: Bung, Ayo Bung!.
Pada akhir tahun 1949, sapaan "Bung" mulai berkurang, diganti dengan sapaan "Bapak" atau "Saudara". Ajip Rosidi, dalam Badak Sunda dan Harimau Sunda: Kegagalan Pelajaran Bahasa (2011), menerangkan, sapaan baru itulah yang membuat timbulnya jarak antara rakyat dengan para pejabat.
“Para pejabat menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai bapak yang kedudukannya dapat dibandingkan dengan ayah dalam keluarga, punya wibawa yang segala perkataannya harus dipatuhi oleh seluruh rakyat,” tulis Ajip Rosidi.
Meski begitu, istilah "Bung" tetap masih sering digunakan hingga tahun 1970-an. Bedanya, panggilan tersebut sudah dikhususkan antarasesama mereka yang sepantaran. Sebagai contoh, panggilan bung digunakan sebagai penyambung keakraban, dapat dilihat pada film layar lebar rekaan Syamsul Fuad berjudul Benyamin Jatuh Cinta (1976).
Dalam salah satu adegan, kakak-beradik Grace (Grace Simon) dan Yuni (Juni Arcan) mengajak Sabeni yang diperankan oleh legenda seni peran Betawi, Benyamin Sueb untuk ikut bersama mereka. Lalu percakapan pun dibuka oleh kedua kakak-beradik tersebut.
Grace berucap, “Bapak ini masih muda, kenapa harus dipanggil Bapak? Kita panggil Bung, boleh enggak?”
Sabeni pun menjawab, “Boleh aja. Bang, bung. Ya, samalah.”
Grace yang nampak menyukai panggilan Bung kemudian berkata, “Lebih enak dipanggil Bung. Lebih akrab, ya.”
Terakhir, Sabeni pun berseloroh, “Asalkan jangan dipanggil opah!”
Asal-usul "Bung"
Jika ditelusuri, asal-usul kata "Bung" tak cuma mengarah kepada satu daerah saja. Ada yang mengklaim sapaan tersebut berasal dari Bengkulu yang sama artinya dengan sapaan kakak. Ada pula yang berujar bahwa istilah "Bung" berasal dari orang Melayu-Ambon, yang berarti "Yang tinggi" atau mengandung makna dihormati.
Bahkan, orang Betawi pun ikut-ikutan mengklaim kata "Bung". Dalam versi masyarakat Betawi, sapaan "Bung" digunakan untuk sapaan orang sepantaran namun tak memiliki hubungan kerabat. Sementara, panggilan "Bang" bagi orang Betawi yang merupakan singkatan dari kata "Abang", ditujukan untuk mereka yang memiliki kekerabatan.
Kami menghubungi Sosiolog Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih. Dia mengatakan, sapaan "Bung" yang paling mendekati makna saudara serevolusi tak lain berasal dari bahasa Jawa. Dalam sudut pandang Jawa, kata "Bung" secara filosofis berarti menekankan pada aspek “berjiwa muda.”
BACA JUGA:
“Istilah ‘Bung’ dipahami berasal dari ‘rebung,’ yakni batang pohon bambu yang masih muda. Filosofis ini dapat ditarik pada ranah perjuangan. Batang pohon bambu dalam konteks perjuangan biasa digunakan sebagai senjata untuk berperang melawan penjajah. Sehingga, bilah bambu yang berasal dari batang pohon bambu itu memiliki jasa perjuangan,” kata Dimas saat dihubungi VOI, Selasa, 30 Juni.
“Dari sinilah (pohon bambu muda) kata ‘Bung’ dalam filosofis Jawa yang saya pahami disematkan untuk menyebut orang-orang (laki-laki) spesial yang penuh dengan nilai-nilai perjuangan dan berjiwa muda ... Dengan demikian sapaan 'Bung' menjadi tidak sama makna dengan ‘Mas’ dalam bahasa Jawa. Ada harapan lebih bagi orang Jawa ketika dia menyapa orang dengan sebutan ‘Bung’, sebagaimana umumnya menyebut Bung Karno dan Bung Hatta. Bukan Mas Karno dan Mas Hatta,” tutupnya.