Sinyo: Darah Campuran Nan Rasis
Ilustrasi foto (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Dalam fase awal penjajahan Belanda, orang Eropa yang datang ke Indonesia kebanyakan laki-laki. Alhasil, ketiadaan wanita Eropa menjadi masalah. Mereka kesulitan melanggengkan superioritas sebagai orang Eropa. Maka, kebanyakan orang Belanda memilih meminang seorang nyai yang berperan mengatur rumah tangga sekaligus teman tidur (gundik).

Melalui praktik pergundikan, muncul kemudian anak-anak mereka yang dikenal sebagai keturunan Indo, atau yang lazim disebut sebagai "sinyo" dan "noni". Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sinyo diartikan sebagai anak laki-laki yang belum kawin dari bangsa Eropa atau peranakan Eropa. Sementara, noni merupakan gadis kecil keturunan Eropa.

Kelahiran anak hasil asmara itu lahir dengan tipikal yang mengadopsi watak Eropa pada umumnya. Mereka bekerja seperti Belanda, sekolah seperti Belanda, hingga berbahasa seperti Belanda. Namun, hal yang sama tak berlaku kepada cara mereka melihat kaum bumiputra yang menjadi identitas ibunya.

Kebanyakan sinyo-sinyo Belanda memandang rendah kaum bumiputra dengan stereotip pemalas dan bodoh. Padahal, mereka sendiri memiliki sisi yang cukup gamang di Hindia-Belanda (Indonesia). Satu sisi, mereka dianggap rendah oleh orang Eropa karena bukan Belanda tulen. Sisi lainnya, mereka tak diterima oleh kaum bumiputra yang menganggap anak praktik pergundikan derajatnya rendah.

Gambaran rasisnya sinyo-sinyo Belanda sebenarnya telah diperlihatkan oleh Pramoedya Ananta Toer lewat cerita tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia (1980). Dalam buku tersebut, terdapat dua orang karakter Indo-Belanda (sinyo) yang memiliki sifat rasis kepada kaum bumiputra. Mereka adalah Robert Mellema dan Robert Suurhorf.

Keduanya digambarkan oleh Pram sebagai sosok yang lupa daratan. Yang mana, hal-hal yang berbau bumiputra selalu dibenci oleh mereka, sehingga menganggap posisi kawula Belanda lebih agung.

Setali dengan itu, dari keduanya Pram mencoba menyelipkan pesan kepada pembaca terkait sikap rasis seorang indo-belanda yang tak mau mengakui sisi ke-Indonesianya, membuat kaum bumiputra makin paripurna sebagai warga negara kelas tiga di Hindia-Belanda.

Alasan sinyo-sinyo yang ada pada zaman itu merasa agung tak lain karena warna kulit mereka yang menyerupai orang Eropa. Atas warna kulit itulah, sebagaimana yang diungkap oleh L. Ayu Saraswati dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2013), mereka menganggap diri mereka superior di Hindia-Belanda.

“Yang tak berubah drastis di Hindia adalah bagaimana warna kulit terus menjadi pembeda kategori-kategori sosial. Selama akhir abad ke-9 dan awal abad ke-10 di Jawa prakolonial, ideal-ideal kecantikan sangat mengagungkan warna kulit terang. Sepanjang abad ke-17 dan ke-18, catatan-catatan kesaksian orang Eropa-orang Eropa menstereotipkan pribumi Hindia berkulit gelap sebagai pemalas, bodoh, dan lacur,” tulisnya.

Ilustrasi foto para sinyo (Sumber: Wikimedia Commons)

Sering bentrok dengan bumiputra

Seiring perlakuan rasis para sinyo-sinyo Belanda kepada kaum bumiputra, tak sedikit pula beberapa di antaranya berujung dengan perkelahian. Dikutip dari Irna H.M Hadi Soewito dalam buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan (1985), mengungkap Ki Hajar Dewantara yang berstatus Pangeran Jawa, sewaktu kecil sering kali terbakar amarahnya ketika melihat teman-temannya dihina oleh sinyo-sinyo maupun anak Belanda.

“Bersama teman-temannya, dia sering berkelahi melawan anak-anak Belanda di Yogyakarta. Suatu ketika, saat pulang sekolah, Soetartinaj diganggu oleh Karel, anak Belanda yang sering memancing pertengkaran,” tulisnya.

"Melihat hal tersebut, Soewardi (Ki Hajar Dewantara) dan kawan-kawan tak tinggal diam. Mereka mengadang para sinyo di tikungan jalan. Ketika sudah berhadapan, gerombolan Karel dan Soewardi saling mengumpat dan mencaci maki. Dengang bahasa Belanda yang fasih, Soewardi memaki. Perkelahian pun tak terhindarkan lagi,” tambahnya.

Tak hanya Ki Hajar Dewantara, Sri Sultan Hamengkubuwana IX atau Gusti Raden Mas Dorodjatun pun sering kali berkelahi dengan sinyo-sinyo Belanda karena sifat mereka yang sering meremehkan kaum bumiputra. Hal itu telah dilakukannya semenjak kelas tiga sekolah dasar.

“Pada 1921, saat Dorodiatun duduk di kelas tiga sekolah dasar, ayahnya diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono VI. Meski sang ayah telah menjadi raja, Dorodjatun tetap kos di keluarga Cock dan tiap hari bersepeda ke sekolah. Bahkan, dia sering dihukum gurunya karena suka berkelahi atau antem-anteman. Lawan dia umumnya sinyo-sinyo Belanda dan Tionghoa,” imbuh penggalan tulisan di Majalah Tempo berjudul Dari Bintaran Kidul ke Leiden (2015).

Nahas, tak semua kaum bumiputra bisa melawan sinyo-sinyo Belanda dan menang. Beberapa di antaranya pernah merasakan terkeroyok oleh sinyo-sinyo Belanda. salah satunya seperti cerita dari pencipta lagu Indonesia Raya yang juga pahlawan nasional, Wage Rudolf Soepratman.

“W.R. Soepratman masih ingat betul betapa sakit dirasakannya, ketika ia dihina dan dikeluarkan dari sekolah Belanda ELS dulu. Masih terbayang saat ia dikeroyok oleh sinyo-sinyo Belanda, dipukuli, diejek ‘uuile Inlander” (pribumi busuk) dan banyak lagi. Semua ini memberi inspirasi baginya untuk mengkritik lebih hebat di surat kabar,” tulis Anthony C. Hutabarat dalam Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman (2001).

Dalam perjalanannya, perlakukan rasis nan congkak sinyo-sinyo di masa kolonial membuat sebagian besar kaum bumiputra menaruh dendam kesumat kepada mereka. Berawal dari dendam itulah, kaum bumiputra yang merasa marah kemudian berbalik membenci perkaluan rasis sinyo Belanda terdahulu.

Momentum masuknya Jepang hingga masa-masa setelah proklamasi kemerdekaan jadi jalan mereka balas dendam. Sebab, di masa penjajahan Jepang sinyo-sinyo yang dulunya bangga terlahir sebagai ras Eurasia, yang cenderung menutupi asal-usul keindonesiaannya, justru buru-buru menyelamatkan diri dengan meninggalkan keterikatan mereka dengan lelulur Eropanya.

Peneliti yang kesohor mengulas Asia Tenggara Benedict Anderson dalam buku Hidup di Luar Tempurung (2016), pun mencermati hal itu. Dirinya mengungkap zaman penjajahan Jepang di Indonesia memang relatif singkat 1942-1945, tetapi sangat menentukan.

“Jepang bukan cuma meruntuhkan semua rezim kolonial di kawasan itu (Indonesia), mempermalukan, dan memenjarakan kolonialis-kolonialis ‘kulit putih’, dan mendorong identifikasi bersama sebagai bangsa Asia. Jepang juga, atas alasan mereka sendiri, memobilisasi penduduk lokal bagi upaya perang mereka, melatih dan mempersenjatai tentara-tentara perbantuan pribumi, dan secara luas merusak perekonomian pra-Jepang,” tutupnya.