JAKARTA - Kurang lebih 115 tahun lalu, di tanggal yang sama pada hari ini, seorang novelis asal Prancis bernama Jean-Paul Sartre lahir di dunia ini. Tak hanya sebagai novelis, Sartre juga dikenal sebagai eksponen Eksistensialisme sebuah filosofi yang menyatakan kebebasan manusia secara individu.
Penghargaan Nobel Sastra pun diberikan kepada Sartre atas karya-karyanya yang dinilai inspiratif, kaya ide, dan selalu mengekspresikan semangat kemerdekaan dan upaya untuk pencarian kebenaran. Namun secara mengejutkan, ia justru menolak penghargaan bergengsi tersebut, pada 1964.
Dirinya beralasan, penolakan tersebut didasari pertimbangan pribadi dan obyektivitasnya dalam menulis sastra. Di mana ia menganggap, bentuk penghargaan Nobel hanya akan membebani pembaca karya-karyanya.
"Jika aku disebut 'Jean-Paul Sastre' saja," katanya, "itu akan berbeda dengan ketika aku disebut 'Jean-Paul Sastre Peraih Nobel Sastra.'" ungkap Sartre, sebagaimana dirangkum dari laman Britanica, Minggu, 21 Juni.
Alasan lain, Sartre saat itu juga tak ingin terjebak dalam dua blok yang kala itu bersengketa beberapa tahun setelah Perang Dunia II, yakni Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga menurutnya, jika ia menerima Nobel, maka akan mencerminkan keberpihakan atau setidaknya simpati baik ke Blok Barat maupun pemberontakan Blok Timur.
BACA JUGA:
Dalam pemahamannya terkait Eksistensialisme, Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence precede l'essence). Karenanya, menurut Sartre, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamne a etre libre).
"Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan, selama hidupnya, ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu," ungkapnya.
Perjalanan Hidup Sarte
Jean-Paul Sartre merupakan anak yatim. Ia dibesarkan oleh kakek dari ibunya bernama Carl Schweitzer, yang juga merupakan paman dari misionaris yang juga filsuf, Albert Schweitzer.
Dalam autobiografi Sartre yang berjudul Les Mots, menceritakan masa kecil Sartre bersama ibunya untuk membangun dunia yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Penggambaran Sartre dalam autobiografinya itu memperlihatkan bagaimana perjuangan hidupnya yang harus ditolak dari berbagai kelompok masyarakat.
Sartre lalu bersekolah di Henri IV di Paris. Setelah ibunya menikah lagi, ia pindah sekolah ke La Rochelle. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikannya di École Normale Supérieure, sebuah sekolah yang dikenal sangat bergengsi. Satre lulus dari sekolah tersebut pada 1929.
Semenjak remaja, Sartre begitu menolak apa yang disebutnya "perkawinan borjuis". Hingga ia bertemu dengan Simone de Beauvoir, satu-satunya wanita yang mendampingi hidupnya.
Memoar Simone de Beauvoir, Mémoires d'une jeune fille rangée (1958; Memoirs of a Dutiful Daughter) dan La Force de l'âge (1960; The Prime of Life), adalah karya Satre yang memberikan kisah intim Sartre saat tahun-tahun ia menjadi mahasiswa bersama Simone de Beauvoir.
Karier menulis Satre sempat terhambat dua kali. Hal tersebu dikarenakan ia satu tahun belajar di Berlin dan kedua kalinya ketika Sartre direkrut pada 1939 untuk bertugas dalam Perang Dunia II. Satre lalu dipenjara pada 1940 dan dibebaskan setahun kemudian.
Sartre juga diketahui mengajar di Le Havre. Selama bertahun-tahun mengajar di Le Havre, Sartre menerbitkan La Nausée (1938), klaim pertamanya untuk sebuah ketenaran. Novel ini, yang ditulis dalam bentuk buku harian, menceritakan perasaan jijik yang dialami seorang karakter bernama Roquentin ketika berhadapan dengan dunia materi. Bukan hanya dunia orang lain, tetapi juga terhadap tubuhnya sendiri.
Menurut beberapa kritik, La Nausée harus dipandang sebagai kasus patologis, suatu bentuk pelarian neurotik. Kemungkinan besar itu harus dihargai juga sebagai karya antisosial yang paling orisinal, sangat individualistis, mengandung banyak tema filosofis yang kemudian dikembangkan oleh Sartre.
Cara hidup berprinsip Sartre menyebabkan memiliki dan mengeluarkan sedikit harta. Dia tetap berkomitmen secara aktif untuk tujuan kemanusiaan dan politik sampai akhir hidupnya, termasuk partisipasi dalam demonstrasi Paris 1968.
Kondisi fisik Sartre memburuk pada 1970-an dan benar-benar buta pada 1973. Ia meninggal di Paris pada 15 April 1980, karena penyakit paru-paru. Jean-Paul Sartre dimakamkan di Pemakaman Montparnasse dan berbagi kuburan dengan pasangan seumur hidupnya Simone de Beauvoir.