Andai Indonesia Tanpa Parlemen: Sebuah Impian Pendiri Bangsa, Tan Malaka
Tan Malaka (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Tan Malaka lebih dari seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia adalah filsuf. Orang yang ketika pemimpin-pemimpin kemerdekaan lain masih sibuk memikirkan persatuan, ia beberapa langkah lebih maju menggagas bentuk republik bagi negara Indonesia. Ada impian besar Tan untuk Indonesia berdiri sebagai negara tanpa parlemen. Seperti apa gagasan itu?

Karena menjadi penggagas pertama bentuk republik bagi negara ini, Tan, pria yang lahir hari ini, 2 Juni, lebih dari satu abad lalu atau pada 1897, dijuluki Bapak Republik Indonesia. Tulisan panjang Tan tentang gagasan republik sudah ia tulis pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Tulisan itu berjudul Naar de Republik

Buku kecil tersebut menjadi bacaan wajib para pemimpin kemerdekaan pada saat itu. Bahkan, Bung Karno selalu membawanya, apalagi saat hendak menghadiri forum-forum debat. Hal itu dikisahkan Sayuti Melik yang dikutip Hadidjojo Nitimihardjo dalam pengantar edisi terjemahan Naar de Republiek

Bukan hanya Sukarno yang selalu membawa karya Tan kemana-mana. Muhammad Yamin juga merupakan tokoh yang memuja Tan. Bagi Yamin, Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson yang merancang Republik sebelum kemerdekaannya tercapai. 

Negara tanpa parlemen

Tan memang tak sempat menjelaskan secara tuntas bagaimana bentuk negara republik yang dimaksud. Selain dalam Naar de Republiek (1926), gagasannya tersebar dalam bukunya yang lain, seperti Soviet dan Parlemen (1922), Aksi Massa (1926) dan Madilog (1942). 

Seperti disarikan Hanas Nasbi A --penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka-- dalam tulisannya di majalah Tempo (2008), menjelaskan bagaimana Tan menganalogikan hubungan bentuk negara republik dengan Indonesia sebagai burung gelatik. Burung gelatik tampak seperti makhluk lemah dan banyak yang mengancamnya.

Di dahan yang rendah, burung ini harus waspada dari cengkeraman kucing. Sementara, di dahan yang lebih tinggi, ada elang yang siap menyambar sang gelatik. Ia hidup tak merdeka, penuh ketakutan dan diselubungi perasaan terancam. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti itu. 

Namun, sebaliknya, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi di sawah. Burung gelatik yang terlihat lemah, bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus.

Sehingga, menurut Tan, merdeka itu memang harus terbebas dari penjajahan, namun bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Baginya, merdeka itu dua arah, bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain.

Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Dengan tegas, Tan bilang, bekas Hindia Belanda ini harus menjadi Republik Indonesia. Namun, republik dalam gagasannya tak menganut trias politika ala Motesquieu. Republik versinya merupakan sebuah negara efisien yang dikelola oleh sebuah organisasi.

Parlemen di mata Tan

Tan Malaka adalah sosok yang tidak memercayai parlemen. Bagi Tan, pembagian kekuasaan seperti trias politika hanya menimbulkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas.   

Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh, seperti parlemen.

Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam empat atau lima tahun sekali. Dalam kurun waktu lama, mereka menjelma menjadi kelompok sendiri yang jauh dari masyarakat. Karena para anggota parlemen tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.

Akibatnya, parlemen cenderung menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan pemilik modal. Jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan dan perbankan.

Akhirnya, di mata Tan, parlemen tak lebih dari sekadar warung tempat adu obrol. Mereka isinya orang-orang yang jago berbicara dan berbual. Tan menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi. 

Singkatnya, Tan menentang keberadaan parlemen dalam republik yang ia impikan. Itulah alasannya kenapa Tan menolak keras Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai. Musababnya, partai-partai pasti bermuara di parlemen.

Republik Ideal di Mata Tan

Lalu, bagaimana wujud negara tanpa parlemen yang diimpikan Tan Malaka? Sederhananya, negara republik yang dimaksud Tan dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, pemeriksa, pengawas dan sebagai badan peradilan.

Bagaimana mengontrol organisasi seperti itu agar tidak menjadi tirani kekuasaan? Di sinilah desain organisasi berperan. Misalnya saja, menurut Tan, pemilihan pejabat organisasi tak boleh terlalu lama agar kepercayaan itu tak berubah menjadi kekuasaan.

Lalu, kongres organisasi juga harus dilakukan tidak dalam jangka waktu yang lama. Idealnya, mungkin sekitar dua tahun untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak memuaskan, kongres akan menjatuhkan mereka.

Seperti itulah kira-kira gagasan bentuk republik yang diimpikan Tan Malaka. Banyak yang menganggap konsep Tan terlalu lurus, teramat utopis, hingga tak mungkin diikuti. Namun, jika melihat tingkah penguasa hari ini, rasanya ketakutan Tan terjadi.

Lagipula, impian adalah impian. Dan penting untuk mengingat kembali semangat dalam gagasan kenegaraan salah satu founding father yang tewas dihukum mati pada 21 Februari 1949 di Kediri ini.