Bagikan:

JAKARTA - Tan Malaka tak menyia-nyiakan kesempatan menimba ilmu ke Belanda. Ia pun mencoba mematangkan perjuangannya lewat jalur pendidikan. Ia pulang dengan banyak ilmu. Ia mencoba mendirikan sekolah di Pulau Jawa. Sekolah Rakyat, namanya,

Ia juga mencoba aktif dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Keaktifannya membuat Tan Malaka semakin peka terhadap penderitaan rakyat. Tan Malaka pun bermimpi tentang Indonesia jadi sebuah republik. Namun, mimpinya bukan mimpi biasa. ia membayangkan Indonesia tanpa adanya parlemen (DPR/MPR). 

Tan Malaka terharu bukan main kala mendapatkan kesempatan untuk menimbah ilmu ke Belanda. Bukannya apa-apa. Tan Malaka tak berangkat dengan uang sendiri. Uang itu hasil urunan gurunya Horensma dan orang-orang sekampung desa kecil Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat.

Tan Malaka pun berangkat ke Belanda pada 1913. Kesempatan itu dimanfaatkan benar Tan Malaka. Namun, perjalanannya tak mulus. Ia sakit-sakitan karena perbedaan cuaca. Tan Malaka pun berjuang untuk menamatkan pendidikannya dan belajar banyak hal terkait komunisme di Belanda.

Ia memang hanya manusia biasa. Tan Malaka gagal dapat diploma guru kepala, alias tak bisa jadi kepala sekolah. Tan Malaka tak ambil pusing karena paling tidak statusnya telah sama dengan guru Eropa.

Tan Malaka pada tahun 1922. (Wikimedia Commons)

Mulanya Tan Malaka pulang dan mengajar di Deli, Sumatra pada 1920. Ia mengajar anak-anak kaum buruh -- kuli kontrak. Namun, ia tak kerasan. Ia kerap berseteru dengan orang Eropa yang memandang rendah bangsanya.

Opsi ke Semarang pun diambilnya pada 1921. Ia bergabung dengan PKI dan akrab dengan tokoh perjuangan lainnya Semaun. Kondisi itu membuatnya dapat membangun sekolahnya sendiri: Sekolah Rakyat. Orang-orang juga mengenal sekolah itu dengan nama Sekolah Tan Malaka.

Sekolah itu menyasar anak-anak daripada anggota Sarekat Islam (SI). Tan Malaka pun mengubah gedung rapat SI di Semarang jadi ruang sekolah. Ia memulai sekolah itu dengan 50 murid yang perlahan-lahan bertambah. Anak-anak buruh dan kaum bumiputra lainnya bisa masuk. 

Istimewanya Tan Malaka mendapatkan dukungan dari sana sini. Kaum terpelajar banyak yang menawarkan diri menjadi guru. Pun permintaan Sekolah Rakyat untuk buka di luar daerah muncul dari mana-mana.

Kesuksesan itu membawa angin baru bagi perjuangan Tan Malaka. Namun, tujuan Tan Malaka menghadirkan pendidikan bukan hanya berharap muridnya bisa bekerja layaknya orang Belanda, tapi muridnya juga bisa ikut berjuang meningkat hajat hidup kaum bumiputra lain yang tak beruntung.

Tan Malaka pada 1945. (Wikimedia Commons)

“Dalam brosur kecil SI Semarang dan Onderwijs saya uraikan dasar dan tujuan perguruan kami dan caranya mencapai tujuan itu. Tujuan kami bukan mendidik murid menjadi juru tulis seperti sekolah gouvernement. Melainkan, selain untuk mencari nafkah diri sendiri dan keluarga, juga untuk membantu rakyat dalam pergerakannya.”

“Jelaslah, bahwa dasar yang dipakai ialah kerakyatan dalam masa penjajahan, hidup bersama rakyat untuk mengangkat derajat rakyat jelata. Bukanlah untuk menjadi satu kelas yang terpisiah dari rakyat dan dipakai oleh pemerintah penindas bangsa sendiri. sesuai dengan dasar dan tujuan yang demikian, maka metodenya memajukan kecerdasan, peraaan, dan kemauan murid, disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata, pekerjaan rakyat sehari-hari, idaman rakyat, dan pergerakan serta organisasi rakyat,” ungkap Tan Malaka dalam buku Dari Penjara Ke Penjara (2017).

Tanpa Parlemen

Tan Malaka boleh jadi sibuk dengan urusan mencerdaskan anak bangsa dan aktif ke PKI Semarang. Namun, Tan Malaka adalah orang yang rutin dalam menuangkan pikirannya. Ia mulai goreskan mimpi terkait Indonesia menjelma jadi republik walau sibuk.

Ia menuangkan pemikirannya itu lewat sebuah buku berjudul Parlemen atau Soviet yang dikeluarkan pada tahun 1921. Tan Malaka mematang pemerintahan yang diimpikannya untuk Indonesia itu tak menganut sistem trias politica: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Segala macam hal berbau parlemen – DPR dan MPR tak diinginkan ada. Tan Malaka beranggapan kehadiran eksekutif sudah cukup. Kehadiran anggota dewan justru akan menghambat kinerja pemerintah dalam menunaikan peningkatan hajat hidup rakyat Indonesia.

Angota DPR pun dianggap hanya jadi benalu saja. Sistem politik jadi tak efisien karena mereka banyak berdebat dan berdebat. Itupun yang didebatkan tak jauh dari koridor kekuasaan, bukan rakyat. Belakangan mereka lalu direpotkan dengan cara bagaimana supaya terpilih kembali.

Mulanya niatnya memang mulia, membela rakyat, tapi setelah memimpin kembali, niatan dan isu yang dibawa sudah ketinggalan zaman. Alhasil, kehadiran anggota dewan –MPR dan DPR hanya jadi perpanjang tangan pemerintah dan pemodal, bukan rakyat.

“Pertama, wakil-wakil dalam Parlemen itu dipilih sekali empat atau enam tahun. Dalam waktu mereka itu duduk dalam Parlemen tentulah pikiran rakyat yang memilihnya sudah berubah-ubah. Juga lantaran wakil-wakil itu tidak campur lagi sama Rakyat, maka tiadalah mereka boleh dikatakan wakil rakyat lagi, karena seorang wakil itu mestinya semata-mata orang suruhan saja.”

“Kedua, pemerintahan diceraikan atas yang membikin undang-undang (Parlemen) dan yang menjalankan undang-undang (menteri). Oleh sebab, seperti diterangkan di atas, menteri itu penuh dengan biro-biro, maka ‘pembikin undang-undang’ dan ‘menjalankan undang-undang’ sebenarnya jatuh pada menteri,” ujar Tan Malaka dalam brosur politiknya yang jadi buku berjudul Parlemen dan Soviet (1921).