Bagikan:

JAKARTA - Kontestasi politik tingkat pilkada kerap menarik animo masyarakat. Khalayak umum di daerah jadi dapat menunaikan hak pilihnya dalam menentukan calon kepala daerah sesuai nurani. Pasangan calon kepala daerah pun tak perlu pusing-pusing kala mereka jadi calon tunggal.

Konstitusi menjamin mereka melawan kotak kosong. Kemenangan calon tunggal pun akan diakui jika suara mencapai 50 persen lebih. Kotak kosong memang sering tak diunggulkan dan dianggap remeh. Namun, tidak di Pilkada Makassar 2018.

Upaya mencari pemimpin daerah lewat Pilkada kerap jadi momentum perubahan yang ditunggu-tunggu. Khalayak umum telah memiliki jagoannya masing-masing. Semua itu sesuai dengan asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil).

Masalah muncul. Pilkada mulanya tak mengenal calon tunggal. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun kebagian tugas mencari penantang. Namun, dalam waktu tertentu jika penantang tak ada, maka pilkada bisa batal.

Penyelenggaraan pilkada ditunda hingga dilakukan serentak pada tahun berikutnya. Kondisi itu berpotensi terjadi pada pilkada serentak 2015. Beberapa wilayah macam Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berpotensi hanya diikuti calon tunggal.

Potret kertas suara yang memperlihatkan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) melawan kotak kosong. (ANTARA)

Alhasil, pilkada di ketiga wilayah itu berpotensi ditunda hingga 2017. Aturan itu dikritik banyak pihak. Mereka takut nantinya akan banyak kekosongan jabatan kepala daerah. Penundaan membuat posisi itu hanya diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) yang notabene tak bisa mengambil keputusan strategis.

Pembangunan jadi terganggu. Pun hajat hidup warga daerah bisa jadi nomor dua. Kebimbangan itu segera direspons oleh pakar komunikasi politik Indonesia, Effendi Gazali. Ia mengajukan permohonan judicial review atau uji materi pasal calon tunggal ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia menilai ketentuan minimal dua pasangan calon yang diatur dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, tidak memiliki kepastian hukum. Efendi ingin rakyat Indonesia bisa menunaikan hak pilihnya. Mereka nantinya bisa memilih calon tunggal, atau kotak kosong.

Keinginan itu dianggap masuk akal. Sekalipun jika kotak kosong menang. Maka posisi kepala daerah tetap diisi Plt. Namun, paling tidak rakyat sudah menggunakan hak pilihnya. MK pun menyetujuinya pada 29 September 2015. Mereka yang berlaga sebagai calon tunggal, nantinya akan melawan kotak kosong. Itupun mereka harus menang telah 50 persen lebih. Kondisi itu ramai berlangsung pada pilkada tahun 2018.

"Hak memilih warga yang tinggal di daerah dengan pasangan calon tunggal jelas dirugikan. Ini tidak memberi kepastian hukum dan bersifat diskriminatif. Kerugian konstitusional ini potensial terjadi di seluruh Indonesia.”

"Siapa yang jamin kalau fenomena calon tunggal ini tidak akan terjadi pada pilkada serentak 2017 dan seterusnya. Ketika rakyat tidak dipimpin kepala daerah terbaik yang mereka pilih. Aturan itu berpotensi mengakibatkan keberlanjutan pembangunan daerah terganggu," kata Effendi dikutip laman liputan6.com, 19 Agustus 2015.

Sejarah Kotak Kosong Menang

Kontestasi politik pilkada kian meriah dengan hadirnya kotak kosong. Mereka pasangan calon kepala daerah tak perlu pusing-pusing lagi kala menjadi calon tunggal. Secara konstitusi mereka akan otomatis melawan kotak kosong -- atau dalam terminologi MK ditentukan dengan kolom setuju (calon tunggal) dan tidak setuju (kotak kosong).

Namun, melawan kotak kosong bukan perkara mudah. Pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) pernah merasakannya. Appi-Cicu pernah menjadi pasangan tunggal Pilkada Makassar 2018.

Kondisi itu terjadi karena Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari (DiAmi). Pencoretan itu dilakukan karena Danny Pomanto selaku petahan telah melakukan pelanggaran. Ia memakai program pemerintah untuk kampanye terselubung.

Appi-Cicu lalu jadi pasangan tunggal. Mereka otomatis dianggap memiliki peluang menang besar lawan kotak kosong. Pemungutan suara saja berlangsung pada 27 Juni 2018.

Harapan tinggal harapan. Appi-Cicu justru menelan kekalahan pahit melawan kotak kosong. Kala itu kotak kosong mendapatkan 300.795 atau 53,23 persen. Sedang Appi-Cicu hanya memperoleh 264.245 atau 46,77 persen.

Banyak yang beranggapan menangnya kotak kosong jadi bentuk perlawanan rakyat terhadap elite politik yang maruk kekuasaan. Padahal, dibeberapa tempat kotak kosong justru dipecundangi calon kepala daerah. Kejadian menangnya kotak kosong dalam Pilkada Makassar 2018 lantas jadi sejarah baru di Nusantara.

Sesuatu yang menegaskan bahwa kotak kosong pun dapat menang Pilkada. Kemenangan kotak kosong pun juga dirayakan sebagian warga Makassar. Mereka meneriakkan kata-kata: hidup kotak kosong, hidup kotak kosong.

Sengketa pemilu sempat dibawa ke MK. Namun, MK tak mengabulkannya. Selisih suara terlalu jauh. Artinya kotak kosong tetap menang. Kondisi itu buat Makassar akan dipimpin Plt Wali Kota hingga pilkada mendatang.

"Dengan demikian, jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan suara yang 'tidak setuju' (kolom kosong) untuk dapat diajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Tahun 2018 adalah paling banyak 0,5 persen x 565.040 suara (total suara sah) = 2.825 suara," ujar MK sebagaimana dikutip laman detik.com, 27 Desember 2018.