Bagikan:

JAKARTA - Solo menjadi kota yang diyakini bakal memunculkan kotak kosong di Pilkada serentak 2020. Tapi fenomena ini diprediksi bakal muncul di banyak daerah.

Fenomena kemenangan kotak kosong untuk pertama kalinya menjadi bagian sejarah dari pilkada serentak tahun 2018. Kotak kosong mencundangi Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu), calon tunggal di Pilkada Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Appi-Cicu pada Juni 2018 harus mengakui kemenangan kotak kosong yang unggul di tempat pemungutan suara pada 13 kecamatan di Makassar. Dari rekapitulasi KPU Makassar, pasangan Appi-Cicu mendapatkan 264.245 suara, sedangkan kotak kosong 300.795 suara.

Lalu bagaimana dengan pilkada serentak 2020? Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memprediksi 21 daerah berpotensi calon tunggal alias melawan kotak kosong. 

Awal mulanya dari UU Nomor 8 Tahun 2015 yang mensyaratkan pemilihan kepala daerah harus diikuti dua calon. UU ini diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena aturan soal penundaan pilkada bila tidak ada minimal dua calon yang bertarung. MK lantas menyatakan penundaan pilkada bila hanya terdapat satu calon, bertentangan dengan semangat UUD 1945.

“Putusan MK yang membuka keran kehadiran calon tunggal sejak pilkada serentak gelombang pertama di tahun 2015. Selanjutnya untuk pilkada serentak pada tahun 2017, pembuat UU menindaklanjuti putusan MK soal calon tunggal dengan menetapkan UU Nomor 10/2016,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada VOI, Senin, 10 Agustus malam.

Dalam UU ini disebutkan, pemilihan yang diikuti calon tunggal dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom. Satu kolom memuat foto pasangan calon, satu kolom lainnya kosong, tidak bergambar. Cara pemilihannya tetap sama, dengan mencoblos.

“Calon tunggal ditetapkan sebagai calon terpilih apabila mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. Jika perolehan suara calon tunggal kurang dari 50 persen plus satu, maka pilkada diulang kembali,” papar Titi.

Baginya, Pilkada dengan calon tunggal sebagai fenomena anomali. Anomali karena terjadi di daerah besar dengan jumlah pemilih yang banyak dan multi-partai, di mana parpol harusnya menunjukkan eksistensinya. 

“Dengan bergabung mengusung paslon tunggal, parpol mengambil risiko kehilangan momentum untuk mengevaluasi kemampuan struktur organik partai dalam merebut suara pemilih. Parpol secara sadar memilih menenggelamkan diri dan mengubur eksistensinya dalam hegemoni petahana yang notabene ketika ditelusuri satu per satu juga merupakan kader elite atau pimpinan struktur partai tertentu,” sambung dia.

Munculnya calon tunggal yang berdampak kepada kotak kosong, menurut dia terjadi karena pragmatisme parpol, kompromi politik dan kuatnya kepentingan oportunistik. Karenanya, calon tunggal di Pilkada menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia

“Pilkada bercalon tunggal bukan berarti pemilih sama sekali tidak punya pilihan. Pilkada calon tunggal tidak boleh disikapi dengan apatis, pragmatis, apalagi skeptis. Justeru dalam pilkada bercalon tunggal pemilih bisa membuktikan apakah artikulasi kepentingan parpol yang diwujudkan dengan mengusung calon tunggal adalah sama dan sejalan dengan kehendak dan aspirasi politik warga. Ataukah sebaliknya,” papar Titi.

Perludem memprediksi potensi kotak kosong bakal terjadi di Pilkada:

1. Kota Semarang

2. Kota Surakarta/Solo

3. Kebumen

4. Grobogan

5. Sragen

6. Wonosobo

7. Ngawi

8. Wonogori

9. Kediri

10. Kab Semarang 

11. Kab. Blitar

12. Banyuwangi

13. Boyolali

14. Klaten

15. Gowa 

16. Sopeng

17. Pematang Siantar

18. Buru Selatan

19. Balikpapan

20. Gunung Sitoli

21. OKU Selatan

22. Banjar Baru

23. Pegunungan Arfak

24. Yahukimo

25. Buru Selatan

26. Sumbawa Barat

27. Pandeglang

28. Kab. Malang

29. Pesawaran

30. Bengkulu Utara

31. Ogan Komering Ulu