Pengamat: Lawan Kotak Kosong Bukan Tanda Demokrasi Baik Tapi Tanda Demokrasi Semu
Kampanye Gibran di Solo (Instagram @gibranrakabuming)

Bagikan:

JAKARTA - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dini Suryani menilai, melawan kotak kosong harusnya tidak menjadi opsi di dalam sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di suatu wilayah, meski hal ini kerap terjadi. Sebab, melawan kotak kosong bukanlah suatu proses demokrasi yang baik.

Hal ini disampaikan Dini untuk menanggapi pernyataan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang menyebut tak ada masalah jika calon wali kota dan wakil wali kota Solo, Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa tidak memiliki lawan di Pilwalkot Solo 2020.

"Menurut saya (melawan kotak kosong, red) bukan proses demokrasi yang baik. Ini demokrasi yang semu atau pseudo-democracy," kata Dini kepada VOI, Senin, 27 Juli.

Dia menegaskan, proses demokrasi yang baik dalam sebuah pemilihan kepala daerah harusnya tetap menyediakan lawan untuk berkompetisi. "Kalau lawannya kotak kosong, maka tidak ada kompetisi," ujarnya.

Dini mengatakan, perlu ada partai lain di Kota Solo yang mendeklarasikan diri sebagai oposisi dan menyodorkan rival bagi Gibran-Teguh agar mereka tak melawan kotak kosong. Meski harus siap kalah, hal ini perlu ada untuk menjaga kualitas demokrasi yang ada.

"Selain kompetisi, demokrasi juga butuh oposisi sebagai mekanisme kontrol," tegasnya.

Menambah pernyataan Dini, pengamat politik Aisah Putri Budiarti mengatakan pilkada melawan kotak kosong sebenarnya bukan pilihan terbaik untuk membangun demokrasi di Indonesia. Sebab, hal ini memberikan pendidikan politik yang tidak sehat bagi masyarakat karena mereka tidak punya pilihan lain untuk perbandingan.

"Pemilih tidak bisa membandingkan tawaran program antara satu kandidat dengan yang lain. Padahal ini proses pembelajaran demokrasi yang penting bagi masyarakat," ujar Putri.

Lebih lanjut, pilkada melawan kotak kosong juga bisa diartikan gagalnya partai politik dalam membentuk kader mereka. Padahal, sebelum pilkada berlangsung tiap partai punya waktu lima tahun untuk menyiapkan calon kepala daerah terutama dari internal partai.

"Namun ketika semua partai berkoalisi mengusung hanya satu calon maka itu menunjukkan partai gagal menjalankan fungsi rekrutmen politik dan kecenderungan pragmatis mengusung calon partai lain yang sudah pasti menang saja," jelasnya.

Lagipula, proses pilkada lawan kotak kosong ini sebenarnya punya risiko teknis dan biaya. "Bila ternyata nantinya pilkada kotak kosong dimenangkan oleh kotak kosong bukan kandidat tunggal maka pilkada harus diulang dan tentunya memakan biaya pelaksanaan yang tidak murah," tegasnya.

Calon wali kota dan wakil wali kota Solo, Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa diprediksi tak akan memiliki lawan alias bakal melawan kotak kosong. 

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, pilkada melawan kotak kosong tak menjadi masalah karena merupakan proses demokrasi yang sehat. 

"Mahkamah konstitusi telah mengatur ketika ada kecenderungan orang menjadi calon tunggal karena basis legitimasinya cukup kuat maka tetap masyarakat diberikan opsi kotak kosong. Jadi itu sebuah proses demokrasi yang sehat," kata Hasto dalam konferensi pers secara daring, Jumat, 24 Juli yang lalu.

Selain itu dia menilai, bergabungnya partai lain untuk mendukung Gibran-Teguh di Pilwalkot Solo menandakan legitimasi yang kuat dan menandakan kepemimpinan mereka diterima. Dukungan tersebut, sambung Hasto, akan menjadi tantangan baru demi menampilkan kepemimpinan yang sesuai dengan harapan masyarakat Kota Solo.

"Dengan banyaknya dukungan itu justru sebagai tantangan untuk menampilkan suatu model kepemimpinan yang benar-benar mewakili seluruh harapan masyarakat di mana mereka berdua akan mewakili," tutupnya.