JAKARTA - Keinginan Tan Malaka jadi guru tak dapat dibendung. Ia belajar jauh-jauh ke Negeri Belanda hanya dengan satu misi: Mencerdaskan anak bangsa. Ia menganggap penjajahan Belanda sengaja membiarkan kaum bumiputra tak memiliki akses terhadap pendidikan.
Kaum Bumiputra bak dibiarkan bodoh. Tan Malaka pun tergerak. Ia ingin membangun sekolah kerakyatan – siapa saja boleh bergabung. Sekolah Rakyat pun hadir di Semarang. Sekolah itu jadi ajian anak-anak bumiputra sadar akan kemerdekaan.
Pendidikan adalah barang langka di era penjajahan Belanda. Mereka yang dapat mengakses pendidikan hanya kalangan terbatas saja, kalangan anak priayi dan bangsawan. Itupun mereka hanya sebatas masuk sekolah Belanda di kawasan Hindia Belanda (kini: Indonesia) saja.
Mimpi untuk sekolah jauh-jauh ke Negeri Belanda dianggap tak mungkin. Namun, Tan Malaka jadi pengecualian. Andil orang tuanya yang memiliki pengaruh besar sebagai pegawai bumiputra Hindia Belanda mengubah segalanya.
Ia mampu mengakses pendidikan di kampung halamannya. Ia pula juga berkesempatan untuk menjajal pendidikan sebagai calon guru di Negeri Belanda pada 1913. Sekalipun kuliahnya tak mulus-mulus saja. Ia tak cocok dengan cuaca Eropa. Ia jadi sering sakit-sakitan.
Hasilnya tak buruk-buruk amat. Tan Malaka hanya gagal di diploma guru untuk jadi selevel kepala sekolah. Namun, Tan Malaka mampu menyamai status sebagai guru Eropa kala pulang ke Hindia Belanda (kini: Indonesia).
Tan Malaka pun kesohor dengan statusnya yang sama dengan guru Eropa. Ia langsung mendapat tawaran sebagai guru pengawas untuk anak-anak kuli kontrak di Deli, Sumatra Timur. Mulanya Tan Malaka senang-senang saja. Ia mampu mewujudkan mimpinya jadi guru.
Belakangan hatinya teriris. Belanda memperlakukan kaum bumiputra – kuli kontrak dengan semena-mena. Ia melihat sendiri orang Belanda sebenarnya tak punya niatan mengubah nasib kaum bumiputra. Narasi itu membuat Tan Malaka kerap berseteru dengan orang Belanda. Tan Malaka pun memilih pindah ke Pulau Jawa untuk mewujudkan keinginannya membangun sekolah kerakyatan.
“Pada akhir Februari 1921 Tan Malaka datang di Batavia (kini: Jakarta) setelah ia bekerja sebagai guru di sekolah yang diadakan oleh Deli & Senembah Maatschappij (1920-1921). Cita-cita untuk mendirikan sekolah sendiri telah ada padanya, tetapi ia masih memerlukan kebebasan untuk dapat bekerja, mendapatkan murid sendiri, ruangan kelas, dan alat-alat.”
“Kecuali itu, ia menganggap perlu mendapatkan lingkungan masyarakat yang akan membantu usahanya. Di Batavia ia membicarakan maksudnya itu dengan bekas guru-gurunya di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah guru untuk guru-guru bumiputra) di Fort de Kock, yaitu kota Bukittinggi sekarang ini. Bekas gurunya itu menyatakan persetujuannya dan memberikan dorongan,” ujar Marwati Djoened Poesponegoro dalam buku Sejarah Nasional Indonesia V (2019).
Sekolah Rakyat
Keinginan Tan Malaka membangun sekolah kerakyataan akhirnya memperoleh titik temu. Semua itu karena Tan Malaka telah berjumpa dengan pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti HOS Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono.
Sarekat Islam cabang Semarang yang notabene condong ke Partai Komunis Indonesia (PKI) mendukung rencana Tan Malaka. Sekolah SI – Sekolah Rakyat (belakangan: dikenal sebagai Sekolah Tan Malaka) pun mulai hadir pada Juni 1921. Ia membuka sekolah pertamanya dengan kebanggaan.
Tan Malaka menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah. Tan Malaka sadar betul bahasa Belanda menjadi pegangan penting anak-anak kaum bumiputra untuk menggapai masa depan lebih baik di era Hindia Belanda. Mata pelajaran yang diterapkan tiada berbeda dengan yang ada di sekolah Belanda -- disesuaikan dengan rasa ketimuran.
Kehadiran Sekolah Rakyat menggemparkan seisi Hindia Belanda. Tan Malaka dianggap telah berani mengajarkan anak-anak yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja menggunakan bahasa Belanda. sebab, kala itu bahasa Belanda hanya diajarkan kepada mereka anak priayi dan bangsawan.
Ia merancang pula tujuannya menghadirkan sekolah. Keinginan itu supaya muridnya mendapatkan modal penting untuk mencari pekerjaan di masa depan. Tan Malaka juga memberikan ruang bermain yang luas untuk mengimbangkan proses anak-anak belajar dan membantu keluarganya.
Kerja-kerja sosialis pun dimainkan. Pengaruh PKI kemudian kian membesar bersama Sekolah Rakyat. Anak didiknya kerap diajak Tan Malaka ikut rapat SI Semarang. Upaya pelibatan itu dilakukan supaya mereka peka terhadap kesulitan yang dihadapi bangsanya.
Cita-cita kemerdekaan pun terbangun. Mereka dan kaum bumiputra lainnya kian dekat secara kejiwaan, mereka pun bersatu untuk membantu sesama. Dana dukungan terhadap sekolah pun mengalir secara gotong royong.
Sekolah Rakyat mendapatkan dukungan dari mana-mana. Tan Malaka dianggap berhasil menanam fondasi yang kuat terkait sekolah. Alhasil, ada atau tiada Tan Malaka, Sekolah Rakyat mampu sukses dan melebarkan sayap ke mana-mana. Fondasi telah dibangunnya lebih dulu daripada Ki Hajar Dewantara membentuk Taman Siswa.
BACA JUGA:
“Sedemikian suksesnya sekolah yang didirikan oleh Tan Malaka sehingga sekalipun Tan Malaka dipaksa meninggalkan Indonesia, sekolah itu terus berkembang. Dalam rapat sekolah-sekolah Tan Malaka, yang nama resminya Sekolah Ra'jat (Rakyat), di Semarang, 22-24 April 1924, hadir 40 orang utusan dari 16 sekolah.”
“Jumlah murid mencapai 2.500 orang. Pada bulan Mei, ‘Fonds Onderwijs Ra'jat’, dana pendidikan rakyat, yang sudah dibentuk, menyerukan kepada masyarakat agar bersedia memberikan dukungan keuangan kepada sekolah-sekolah itu. Masalah kekurangan tenaga guru akan diatasi dengan mendirikan sekolah guru,” ujar P. Swatoro dalam buku Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2016).