Jejak Kartini, Tan Malaka, dan Ki Hajar Dewantara Ingatkan Kita bahwa Pendidikan adalah Hak Segala Anak Bangsa
Bumiputra di masa penjajahan Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan merupakan barang mewah bagi anak-anak bumiputra. Tak sembarang orang dapat mengenyam pendidikan. Hanya mereka yang berstatus orang Eropa (Belanda), berdarah campur Indo-Belanda, anak raja, bangsawan, dan priayi yang mendapat akses belajar di sekolah. Bagi golongan selain itu, sekolah cuma mimpi.

Mimpi sekolah bagi anak jelata hampir semustahil mimpi anak-anak bumiputra untuk masuk ke dalam gerbang Societeit --klub perkumpulan orang kaya raya-- pada zamannya. Bagaimana tidak, di hadapan gerbang Societeit, pribumi adalah anjing.

“Verboden voor honden en inlander,” tertulis di gerbang, yang dalam bahasa Indonesia berarti: Anjing dan pribumi dilarang masuk.

Untuk bisa sekolah, setiap orang tua murid kala itu setidaknya harus memiliki penghasilan minimal 100 gulden per bulan. Biayanya begitu tinggi. Syaratnya begitu sulit. Bagi orang tua yang mampu, mereka dapat menyekolahkan anak sejak usia enam tahun di sekolah kaum kulit putih, Hollandsche Inlandsche School (HIS).

Tak cuma harta. Syarat lain adalah status sosial. Hanya keluarga bumiputra dari kalangan terpandang yang boleh bersekolah. Anak-anak dari keluarga terpandang itu bisa bersekolah di Europesche Lager School (ELS) meski tak memiliki darah Eropa ataupun Belanda.

Dalam situasi itu, solidaritas terbangun di antara para bumiputra. Beberapa bahkan membuang status kebangsawanan, mempertaruhkan hidup dan reputasi demi menghadirkan pendidikan bagi mereka yang tak tersentuh. Raden Ajeng Kartini, Tan Malaka, hingga Ki Hajar Dewantara mengamalkan itu.

Sekolah untuk semua

Nama pertama, Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai sosok yang mengangkat kaum wanita lewat pendidikan. Walau terlahir dari keluarga bangsawan, Kartini dengan pikiran majunya acap kali mendobrak sekat-sekat pembatas.

Ketika menamatkan pendidikan ke ELS di Jepara, wanita kelahiran 21 April 1879 itu sempat tak diizinkan melanjutkan pendidikan ke sekolah setingkat SMP, Hoogere Burgerschool (HBS) di Semarang. Pada waktu itu, Kartini yang sudah berumur 17 tahun telah dianggap sebagai remaja putri, tahap usia yang menurut adat setempat harus mulai dipingit.

Di masa pingitan itu, Kartini memperkuat diri dengan buku. Ia juga memperluas pikirannya dengan berkirim surat pada Estella Zeehandelar, seorang wanita keturunan Belanda yang terpelajar. Bertahun kemudian, jejak korespondensi Kartini dan Estella itu diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (1911).

Kartini juga mengungkap sikapnya menentang adat kuno setempat yang menghambat kemajuan wanita. Bahkan, Kartini banyak menjabarkan terkait lingkungannnya, keadaan rakyat, dan status pingitan yang ada pada seorang gadis. Pingitan, baginya merendahkan derajat wanita. Dan Kartini bergerak mewujudkan sekolahnya untuk kaum wanita.

“la juga mengecam pejabat Belanda yang tidak menaruh perhatian kepada rakyat banyak, hanya menaruh hormat kepada para bupati serta menunda-nunda perluasan pendidikan bagi orang bumiputra karena dianggap membahayakan kedudukan pemerintahan Hindia Belanda,” tulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah (1978).

Nama kedua, Tan Malaka. Dalam perjalanan hidupnya, Tan Malaka pernah menjadi guru di sekolah-sekolah anak kuli kontrak di perusahaan perkebunan Sanembah di sisi selatan Medan. Namun, dirinya tak kerasan bekerja sebagai pendidik karena sering berurusan dengan masyarakat kolonial berkulit putih.

Kelak, hasrat menjadi pendidik bergelora kembali. Baginya, tujuan mendidik tak cuma membuat anak-anak menjadi intelek, melainkan bagaimana seorang anak dapat mengasah kemauan dan rasa yang diyakininya sebagai hal penting dalam menanamkan hasrat serta kebiasaan kerja tangan.

Tan berharap mereka yang didik akan mengetahui bahwa karya tangan tak kalah penting dengan kerja otak. Dikutip dari P. Swantoro dalam Dari Buku Ke Buku: Sambung Menyambung Jadi Satu (2002), pada 21 Juni 1921, Tan membuka sekolahnya sendiri di Semarang. Sekolah-sekolah di tempat lain didirikan pula, termasuk di Salatiga dan Bandung.

“Sedemikian suksesnya sekolah yang didirikan oleh Tan Malaka, sehingga sekalipun Tan Malaka dipaksa meninggalkan Indonesia, Sekolah itu terus berkembang. Dalam rapat-rapat sekolah Tan Malaka, yang nama resminya Sekolah Ra’jat, di Semarang 22-24 April 1924, hadir 40 orang utusan dari 16 sekolah. Jumlah murid mencapai 2.500 orang,” ujar P. Swantoro.

Satu bulan kemudian, dana pendidikan rakyat sudah dibentuk. Ia menyerukan kepada masyarakat agar bersedia memberikan dukungan keuangan kepada sekolah-sekolah itu. Pun, masalah seperti kekurangan guru akan mereka atasi dengan mendirikan sekolah guru. Upaya itu cukup berhasil karena dukungan kemudian berdatangan satu demi satu.

Sekolah lainnya lebih hebat lagi. Nampaknya muncul hampir bersamaan dengan lahirnya sekolah-sekolah Tan Malaka. Sekolah yang berdiri pada 3 Juli 1922 itu bernama Perguruan Taman Siswa. Sekolah tersebut dipimpin langsung oleh seorang Pangeran Jawa Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian bersalin nama menjadi Ki Hajar Dewantara (guru perantara dewa) sebagai bentuk melepas kebangsawanannya pada 1927.

Taman Siswa kala itu muncul sebagai bentuk pendidikan pembeda dengan format pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda. Itulah mengapa Taman Siswa menjelma menjadi lembaga pendidikan yang berani memberikan kesempatan bagi rakyat jelata agar bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi dan orang-orang Belanda.

Ki Hajar Dewantara (Sumber: Wikimedia Commons)

Perihal itu telah dituangkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam tujuh butir tujuannya mendirikan taman Siswa. Oleh Kenji Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (1987), dikatakan bahwa pendidikan untuk semua orang hadir dalam butir terakhir.

“Pendidikan harus untuk semua orang, bukan hanya untuk segelintir orang saja. Jika yang mendapat pendidikan hanya kelas atas, bangsa tidak akan tumbuh kuat. Pendidikan harus dimulai dari bawah, penyebarannya di kalangan itu adalah yang paling diperlukan supaya bangsa menjadi lebih tertib dan kuat,” tutup Kenji Tsuchiya.