Busana Tanpa Kelas Sosial Itu Bernama Kebaya
Hartini Soekarno dalam balutan kebaya (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Di Indonesia, pakaian tak cuma berfungsi sebagai pembalut tubuh. Pakaian sering dijadikan sebagai lambang dan status sosial, bahkan politik. Perkembangan adat berbusana membawa besar berpengaruh pada status sosial.

Namun, hal itu tak berlaku dalam pakaian khas Jawa: kebaya. Dikenal luas dalam bentuk baju berkain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran, ternyata pada abad ke-19 --zaman sebelum Indonesia merdeka-- kebaya telah menjadi pakaian bagi semua kelas sosial, baik itu wanita Jawa maupun Indo (campuran Belanda-Indonesia).

Kepopuleran kebaya pun dilirik banyak wanita Eropa (Belanda). Tercatat, setelah berakhirnya Perang Jawa tahun 1830, gelombang migrasi wanita Eropa makin masif ke Hindia-Belanda (Indonesia). Mereka yang datang kemudian mencoba beradaptasi dengan kehidupan di tanah koloni, salah satunya dengan cara mengenakan kebaya.

“Foto-foto yang berasal dari perempat akhir abad ke-19 menunjukan imigran Eropa tengah bersantai. Para perempuan mengenakan kebaya dan kain. Sementara, para laki-laki mengenakan celana batik dan jaket tanpa kerah. Mereka berpose untuk sebuah pemotretan dengan para pelayan duduk bersila di lantai,” ungkap Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial Di Batavia (2008).

Kebaya sebagai pakaian rumahan

Selanjutnya, kebaya tak lagi hanya menjadi busana perempuan Jawa, tetapi juga menjadi pakaian perempuan kulit putih, sekalipun penggunaan kebaya masih terbatas. Dikutip dari Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya Volume 1 (1996), orang Belanda yang datang ke Nusantara turut pula membawa kebiasaan hidup khas tanah Eropa.

Kebiasaan seperti makan roti, minum bir dan anggur yang menjadi kemewahan bernilai tinggi tetap dipertahankan. Kecuali dalam berbusana. Bagi pria Eropa, berbusana sehari-hari tak begitu berpengaruh. Namun, bagi wanita Eropa perihal berbusana mulai menggunakan pakaian campuran, yakni sarung-kebaya.

Mereka yang menggunakan kebaya merasa nyaman dibanding harus memaksakan diri menggunakan pakaian Eropa yang tak sesuai dengan iklim daerah tropis. Maka, kebaya menjadi paripurna sebagai pakaian yang wajib digunakan oleh wanita Eropa saat beraktivitas di rumah.

Keluarga Eropa di Hindia Belanda (Sumber: Commons Wikimedia)

Sayangnya, kebaya saat itu belum menjadi sebuah pakaian untuk menghadiri sebuah pesta. “Dalam bidang busana, terutama busana wanita, tampak jelas terjadi evolusi. Wanita Eropa, setidaknya di depan umum, menolak sarung kebaya yang biasanya dipakai oleh para nyai.”

Tak cuma Denys Lombard. Rudolf Mrázek dalam buku Engineers of Happy Land (2006) mengutip pendapat Nyonya Belanda, Catenius van der Meijden terkait terbatasnya penggunaan kebaya di luar rumah. Baginya penggunaan kebaya saat itu hanya nyaman digunakan di dalam rumah dan ketika sakit.

“Hanya ketika sakit, dan sementara di dalam rumah mereka di siang hari, banyak orang Eropa mengenakan pakaian Hindia Belanda yang populer (sarung-kebaya). Bila seorang Eropa, selama siang hari --padahal setiap orang [Eropa] harus mengenakan pakaian Eropa-- terlihat tidak berbusana, maksud saya berpakaian dengan cara Hindia-Belanda, itu menandakan bagi semua orang bahwa orang ini sakit,” ujar Rudolf.

Asal usul kebaya

Peserta kongres KOWANI memakai kebaya (Sumber: Commons Wikimedia)

Terkait asal-usul kebaya, untuk lengkapnya kami menghubungi Antropolog Universitas Negeri Makassar Dimas Ario Sumilih. Darinya kami mendapatkan fakta bahwa dalam perkembangan kebaya terdapat interaksi budaya, yakni terdapat kontak, persinggungan, persilahan, dan pegumulan budaya-budaya pakaian orang Jawa dengan bangsa India, Arab, China, dan Portugis.

Seiring dengan pergaulan sosial yang terbentuk di Nusantara jauh sebelum masa penjajahan Kompeni, maka tradisi berbusana di antara kaum bumiputra mengalami perubahan yang siginifikan. Itulah mengapa terkait masalah berbusana orang-orang dapat melihat langsung pada relief di candi-candi maupun prasasti yang ada. Salah satunya bisa dipelajari dari relief Candi Prambanan (Jawa Tengah).

Lebih rincinya lagi, Dimas bercerita sekitar abad ke-8 atau 9, orang Indonesia sudah mengenal ‘kulambi’ yang berevolusi saat menjadi ‘klambi’ dalam bahasa Jawa berarti baju dan ‘sarwul’ atau ‘sruwal’ yang berarti celana. “Kemudian sekitar abad ke-15 atau 16, muncul ‘pantolan’ untuk pakaian laki-laki dan ‘kebaya’ untuk pakaian perempuan, yang mana tampilannya lebih baik dalam menutupi bagian tubuh, seiring dengan pengaruh budaya Islam.”

Bukti bahwa kebaya mengalam persinggungan dengan bangsa-bangsa lainnya terletak pada awal kata kebaya adalah ‘kabaya.’ Kata ini disinyalir berasal dari kosakata Arab ‘kaba’ yang berarti pakaian.

Walaupun demikian yang memiliki peran memperkenakan kebaya ke Jawa justru oleh orang Portugis. Meski begitu, Ada pula yang mengatakan bahwa kebaya merupakan pesinggungan antara orang Jawa dan pegadang kain dari India.

“Kebaya ini dapat pula dirunut dari ”cambaya” yaitu diperkenalkan melalui suatu pelabuhan penting di India bernama Pelabuhan Cambay. Pelabuhan itu yang mengimpor kain kapas bermotif bunga,” ucap Dimas kepada VOI, Jumat, 10 Juli.

Perlahan-lahan pun kebaya juga menyerap pengaruh baju longgar lengan panjang yang dipakai oleh orang China. Atas akumulasi itulah, pada akhirnya kebaya kemudian dipadu-padankan dengan penunjang penampilan khas tanah Jawa lainnya, yakni, gelung rambut, mahkota, konde, tusuk konde, mahkota, dan lain-lain.

“Alhasil, atribut-atribut itu tak dapat dipisahkan dengan kebaya. Hal ini dapat dipelajari dari seni fisik Wayang Purwo. Bahkan, semakin berkembangnya Islam di tanah Jawa juga turut berkontribusi memberikan pengaruh modifikasi kebaya dengan ragam jubah, serban, dan gamparan,” tutup Dimas.