Bagikan:

JAKARTA - Thomas Jefferson sebagai salah satu founding father negara Amerika Serikat (AS) berperan penting dalam penyusunan teks Deklarasi Kemerdekaan AS. Ia adalah presiden ketiga AS yang merupakan pejuang kemanusiaan bagi kaum minoritas. Jefferson adalah pejuang kebebasan beragama. Saking pluralisnya, Jefferson sempat disebut "kafir" oleh lawan politiknya. 

Thomas Jefferson lahir pada hari ini, 13 April abad 18 atau pada tahun 1743 di Albemarle County, Virginia. Jefferson lahir dari keluarga berkecekupan. Ayahnya adalah tuan tanah yang mewarisinya lahan sekitar lima ribu hektare. Sementara, ibunya berasal dari golongan terpandang. Jefferson mengenyam pendidikan hukum di Williamsburg, Virginia. 

Seperti dijelaskan laman resmi Gedung Putih, Jefferson memang bukan seorang pembicara publik. Melainkan dirinya lebih banyak berperan lewat tulisan. Kontribusinya lewat pena bahkan tetap bernilai sampai detik ini.

Sebagai anggota Kongres "pendiam" dari Virginia, di usia 33 tahun, Jefferson mencatatkan sejarah sebagai seorang penyunun teks Decalaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan). Deklarasi itulah yang dijadikan landasan berdirinya Negeri Kakak Sam.

Pada tahun-tahun berikutnya, Jefferson bekerja keras untuk mewujudkan gagasannya, terutama tentang kebebasan beragama. Akhirnya, di kota kelahirannya Virginia, gagasan tersebut berhasil terwujud lewat undang-undang yang diberlakukan pada tahun 1786. 

Karier Jefferson di dunia politik terus melesat. Ia sempat menggantikan Benjamin Franklin sebagai Menteri urusan Prancis pada 1785.

Lalu ketika perpolitikan mulai berkembang tajam dan terbentuk dua partai besar yakni Federalis dan Demokrat-Republik, Jefferson perlahan tapi pasti mulai mengemban kepemimpinan dalam Partai Republik. Lewat partai itu ia menyerang kebijakan Federalis dengan menentang pemerintahan terpusat yang kuat dan memperjuangkan hak-hak negara.

Disebut kafir

Moncernya jejak karier politik Jefferson menjadi karpet merah baginya untuk mengikuti pemilihan presiden selanjutnya. Pada saat pemilihan presiden ketiga Amerika Serikat tahun 1800, Jefferson bertanding melawan petahana, John Adams.

Profesor bidang sejarah timur tengah Amerika Serikat, Denise Spellberg, dalam buku Kontroversi Al-Quran Thomas Jefferson (2013) menyebut pemilihan umum itu sebagai "kampanye kotor" pertama dalam sejarah pemilu Amerika. Dan saat itulah pertama kalinya, seorang calon presiden dituduh menjadi seorang Muslim.

Keyakinan agama dari anggota Partai Republik, Jefferson menjadi sasaran serangan kelompok Federalis. Jefferson digambarkan secara keliru sebagai seorang ateis. Terkadang, Jefferson juga disebut sebagai seorang kafir, sebuah istilah yang tak hanya merujuk pada orang yang telah menolak agama Kristen, tetapi juga seorang penganut agama yang dianggap bertentangan dengan Kristen, yang dalam narasi kelompok Federalis spesifik disebut Muslim. 

Sementara itu, Jefferson memang cukup intensif mendalami Islam, meskipun hal itu dinilai menghina keimanannya, sebuah sentimen umum yang berlaku di kalangan Protestan di Inggris dan Amerika kala itu. Sebutan itu mungkin tak berlebihan. Pasalnya, pikiran yang dianggap "nyeleneh" itu sudah terbesit di kepala Jefferson sejak 1776.

Saat itu, Jefferson membayangkan keberadaan kaum Muslim sebagai warga negara yang sudah ada dan memiliki tempat sejak AS berdaulat. Bagi Jefferson, kaum Muslim sebagai minoritas seharusnya memiliki hak yang sama dengan penduduk mayoritas. 

Selain itu, perkataan Jefferson sendiri membuat 'kekristenannya' dicurigai. Ucapan pluralisnya yang terkenal dalam Notes on Virginia berkali-kali dikutip oleh lawannya. Kutipan itu berbunyi: Tidak merugikan bagi saya jika tetangga saya mengatakan ada dua puluh Tuhan atau tidak ada Tuhan. Itu tidak mencurangi saya atupun melukai saya. 

Istilah "kafir" sebagai sinonim untuk Muslim tetap menjadi salah satu penghinaan terburuk yang dapat dilontarkan seorang Amerika, entah terhadap tokoh tertentu atau sesama calon presiden sejak 1776 sampai 1800 dan seterusnya. 

Menurut Spellberg (2013) hak-hak sipil Muslim Amerika melambangkan universalitas pluralisme agama di Amerika Serikat. "Dengan demikian, tantangan-tantangan terhadap hak-hak sipil Muslim terus menjadi ancaman terhadap hak-hak semua warga Amerika," tulisnya.