JAKARTA – Sejarah hari ini, 126 tahun yang lalu, 23 November 1896, Penasihat Urusan Bumiputra Hindia-Belanda, Snouck Hurgronje menulis surat untuk Gubernur Jenderal Carel Herman Aart van der Wijck. Snouck meminta Belanda untuk mewaspadai masifnya penyebaran kitab-kitab Islam.
Ia berpendapat bacaan dari kitab-kitab itu dapat memicu pemberontakan. Apalagi dalam bagian pembahasan perang jihad. Belanda harus bergerak cepat mengantisipasi penyebarannya. Sebab, Islam adalah agama mayoritas yang dianut kaum bumiputra.
Masuknya Islam ke Nusantara disambut dengan penuh antusias. Banyak kaum bumiputra tertarik dan beralih dari agama nenek moyang ke Islam. Ajaran Islam yang luwes jadi muaranya. Islam dianggap dapat menyatu dalam sendi kehidupan kaum bumiputra.
Keadaan itu membuat Islam mudah diterima oleh semua kalangan. Dari kalangan elite hingga jelata. Segala macam ajaran Islam kemudian dijalankan. Naik haji ke Mekkah apalagi. Kaum Muslim Nusantara pun berlomba-lomba untuk dapat menunaikan Rukun Islam kelima: naik haji.
Naik haji dianggap serana yang pas untuk menggali ilmu agama Islam. Kebanyakan yang pulang pun membawa ilmu agama yang cukup. Mereka yang telah berhaji banyak yang memilih menjadi ulama. Mereka banyak mendirikan sekolah-sekolah agama.
Tujuannya supaya ilmu agama Islam terus diteladani dan diwarisi dari generasi ke generasi. Pun tak jarang pula disela-sela pelajaran agama, kebanyakan ulama juga ikut melanggengkan narasi Pan-Islamisme. Suatu paham yang mengajak kaum Muslim untuk memerangi penjajahan Belanda.
“Dalam masyarakat Jawa, kelompok minoritas yang berusaha benar-benar menaati kewajiban-kewajiban Islam dalam kehidupan sehari-hari disebut, secara silih berganti, wong muslimin (kaum muslim), putihan (golongan putih), atau santri (murid sekolah agama). Ada dua kelompok yang dapat dibedakan dalam golongan masyarakat ini: kaum muslim pedesaan yang mengelompok di sekeliling para guru agama Islam (kyai) dan sekolah-sekolah agama mereka (pesantren, tempat para santri).”
“Dan, yang lainnya, kelompok-kelompok muslim perkotaan yang sering kali berkecimpung di bidang perdagangan. Kelompok-kelompok muslim perkotaan tinggal di daerah tersendiri di kota-kota Jawa yang disebut kauman (tempat orang-orang yang saleh), biasanya di dekat masjid raya. Pada awal abad ke-20, kaum muslim perkotaan ini bersentuhan dengan gagasan-gagasan pembaharuan dan kemajuan,” ungkap Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008).
Perkembangan Islam tumbuh pesat dan kuat di Nusantara. Fakta itu membuat segala sesuatu terkait Islam jadi buruan. Kitab-kitab karangan ulama lokal maupun luar negeri selalu laris manis. Apalagi kitab-kitab Islam dijual bebas di Hindia-Belanda.
Kaum bumiputra menyukainya. Namun, tidak bagi Snouck Hurgronje. Penasihat Urusan Bumiputra itu melihat dijual bebasnya kitab-kitab Islam laksana ancaman bagi Belanda. Isi dari kitab yang acap kali memuat bagian perang jihad dianggapnya dapat memantik perlawanan terhadap Belanda.
Ia pun menyampaikan pengamatan dan pandangannya kepada penguasa Hindia-Belanda, Carel Herman Aart van der Wijck lewat sebuah surat pada 23 November 1896. Ia meminta Belanda segera ambil tindakan untuk membatasi penyebaran kitab-kitab Islam supaya pemberontakan tak banyak terjadi.
“Pertama-tama perlu disebut kitab-kitab pedoman pelajaran agama yang agak tua, dan sedikit banyak klasik, tentang hukum menurut mazhab Syafi'i, berikut tafsir dan penjelasan atas karya-karya ini. Selanjutnya kitab-kitab pelajaran tentang usul atau dogmatik serta mistik semacamnya, tafsir Quran, himpunan hadis, sejarah para sufi, legenda orang-orang keramat, dan kitab-kitab untuk membangun suasana kekhusyukan pada umumnya, serta risalah-risalah yang setiap kali selalu dicetak ulang.”
“Sementara itu biasanya selalu ada ulama-ulama terkemuka di Mekah, Kairo, dan Hindia Belanda yang menyusun karangan atau membuat ikhtisar tentang berbagai bidang tersebut.Di negeri ini tulisan-tulisan demikian itu, berkat nama-nama pengarangnya yang terkenal, umumnya dapat terjual dengan cukup baik, walaupun dari sudut bahan yang disajikan tidak banyak hal baru,” ungkap Snouck Hurgronje dalam buku Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936 Jilid 10 (1994).