Rumah Pejuang Kemerdekaan M.H. Thamrin Digeledah Polisi Rahasia Hindia Belanda dalam Sejarah Hari Ini, 6 Januari 1941
Patung M.H. Thamrin di Museum M.H. Thamrin yang berada di Jalan Kenari II No. 15, Jakarta Pusat. (VOI/Detha Arya Tifada)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 82 tahun yang lalu, 6 Januari 1941, rumah pejuang kemerdekaan Indonesia, Mohammad Husni Thamrin digeledah Polisi Rahasia Hindia Belanda, PID. Penggeledahan itu dilakukan karena Thamrin dianggap mendukung kaum radikal dan bekerja sama dengan Jepang.

Sebelumnya, Thamrin jadi salah satu bumiputra yang berjuang lewat ‘tubuh’ pemerintahan Hindia-Belanda. Ia menjadi bagian dari Dewan Rakyat Batavia (Volksraad). Kuasa itu buat Thamrin banyak mendukung pergerakan pejuang kemerdekaan lainnya.

Tindak-tanduk Thamrin sebagai pejuang kemerdekaan dianggap unik. Ia berani memilih sisi berbeda dari kaum pejuang lainnya yang memilih medan perjuangan non kooperatif. Alias perjuangan kemerdekaan radikal yang sama sekali tak mau berkerja sama dengan Belanda.

Thamrin dengan tegas memilih jalannya sebagai pejuang kooperatif. Ia mau membawa agenda perjuangan kaumnya dengan masuk menjadi bagian dari penjajah Belanda sebagai pejabat. Baginya, berjuang dari dalam pemerintahan justru memiliki peluang besar untuk sukses.

Potret Mohammad Husni Thamrin. (Wikimedia Commons)

Pun sebagai pelengkap dari perjuangan non koorportatif. Apalagi keduanya hanya alat untuk meraih mimpi yang sama: Indonesia merdeka.

Keseriusan Thamrin memperbaiki hajat hidup kaumnya terlihat ketika ia bergerak menjadi Dewan Kota Batavia (kini: Jakarta). Ia banyak menyuarakan keinginan kaumnya untuk dapat hidup yang layak. Aksinya membela kaum bumiputra makin berani kala ia jadi bagian dari Volksraad.

Posisi itu membuat Thamrin dapat banyak membantu kaum pejuang kemerdekaan lainnya di jalur non koorporatif untuk bergerak. Thamrin menggunakan seluruh kuasanya. Dari uang hingga pengaruhnya. Soekarno dan Tjipto Mangoenkoesoemo adalah dua pejuang kemerdekaan yang pernah ia bantu.

“Thamrin selanjutnya juga hendak membantu dua orang veteran pergerakan nasional yakni Soekarno dan Tjipto Mangoenkoesoemo, yang satu hidup dalam pembuangan di Ende, yang lain di Banda Neira. Dalam bulan Oktober 1937 berhadap dengan wakil pemerintah urusan umum, RGAZ Hartevelt dengan sepucuk surat dari Soekarno, ia meminta tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh dari Jawa.”

“Menurut Soekarno, Flores berada di luar jalur spiritual, sedang tempat lebih dekat ke Jawa akan terbuka kemungkinan bagi istrinya untuk sesekali mengunjungi sanak familinya tanpa mengeluarkan ongkos terlalu banyak. Kontak keluarga seperti yang diinginkan Soekarno akan mempunyai manfaat besar bagi suasana kejiwaan istrinya,” ungkap sejarawan Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin (2003).

Rumah Mohammad Husni Thamrin di Jl. Kenari II/15 Jakarta Pusat yang sekarang difungsikan sebagai museum. (Istimewa)

Belakangan, Thamrin makin berani menyuarakan kemerdekaan bagi kaum bumiputra. Ia pernah menolak mengibarkan bendera Belanda kala hari ulang tahun Ratu Wilhelimina. Ia pun kerap secara terang-terangnya mendukung pejuang kemerdekaan untuk melawan Belanda.

Lebih lagi, aksi Thamrin dianggap pemerintah sebagai antek-antek yang mendukung Jepang di Nusantara. Anggapan makar pun di utarakan langsung ke Thamrin. Ia dicurigai sebagai pemberontak. Apalagi, Belanda lewat PID melakukan penggeledahan secara paksa di rumah Thamrin di Batavia paa 6 Januari 1941. Padahal, Thamrin kala itu sedang sakit parah.

“Akan tetapi beberapa saat sebelum kewafatannya, pemerintah kolonial telah melakukan tindakan 'sangat kasar’ terhadap dirinya. Dalam keadaan sakit, ia harus menghadapi perlakuan kasar itu, yaitu rumahnya digeledah oleh polisi-polisi rahasia Belanda (PID). la memprotesnya, akan tetapi tidak diindahkan.”

“Sejak itu rumahnya dijaga ketat oleh PID dan tak seorang pun dari rumahnya yang diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa seizin polisi, juga termasuk anak perempuannya yang masih anak-anak. Deece, demikian nama anaknya, juga tidak diperkenankan meninggalkan rumahnya, sekalipun untuk pergi ke sekolah. Tindakan polisi Belanda itu tentulah sangat menekan perasaannya, dan menambah parah sakitnya,” ungkap sejarawan Anhar Gonggong dalam buku Muhammad Husni Thamrin (1985).