JAKARTA - Sejarah hari ini, 80 tahun yang lalu, 31 Agustus 1940, pejuang kemerdekaan Indonesia, Mohammad Husni Thamrin menolak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya. Ia tak mau merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Langkah itu dilakukan Thamrin sebagai bentuk protesnya kepada Belanda yang tengah menjajah Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda tak tinggal diam. Thamrin dianggap sebagai tokoh yang berbahaya. Padahal, sebelumnya Thamrin dipandang sebagai tokoh yang kooperatif.
Perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan banyak cara. Alias dengan jalur masing-masing. Ada yang berjuang dengan gaya radikal (non koorporatif). Ada pula yang berjuang dari dalam ‘tubuh’ pemerintahan Belanda sendiri (koorporatif).
Thamrin, misalnya. Ia memilih berjuang dengan cara koorporatif, yakni bergabung dengan Volksraad (Dewan Rakyat). Mimbar Dewan Rakyat itu digunakan olehnya untuk menyuarakan hajat hidup kaum bumiputra. Ia tak melulu membela nasib orang Betawi, ia justru membela hajat hidup kaum bumiputra di seluruh Nusantara.
Karismanya membuat Belanda tak berkutik. Segala yang disuarakan oleh Thamrin mampu memaksa Belanda untuk peduli nasib kaum bumiputra. Ia pun jadi juru penghubung antara kelompok radikal dan pemerintah kolonial Belanda. Ia bergerak mendukung seluruh upaya yang dilakukan oleh pejuang kemerdekaan.
Ia mendukung langkah Tiga Serangkai (Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat). Soekarno apalagi. Semua jenis bantuan diberikan. Utamanya perkara dana. Karenanya, jasa besar Thamrin untuk kemerdekaan Indonesia takkan mampu dihapuskan oleh zaman.
“Sebagaimana banyak orang lain sebangsa, maka Thamrin kian terkesan dengan visi Soekarno dengan gagasan utamanya yakni pembentukan kesatuan sinkretis yang padu. Sejak itu di volksraad Thamrin selalu berbicara dalam alur perpaduan nasionalisme Indonesia baik golongan koorporatif dan non koorporatif. Hal ini untuk mengantisipasi kedua macam nasionalisme evolusioner berdasar pengertian dirinya sendiri maupun pemerintah seperti yang disampaikan oleh Gubernur Jenderal De Graeff.”
“Dengan melakukan simbiosis dengan Soekarno, dari kelompok non koorporatif yang jauh lebih radikal, Thamrin mulai memandang dirinya sendiri sebagai trait d union (tali penghubung) penting, bukan saja antara kelompok koorporatif dan non koorporatif, juga di antara anggota federasi pergerakan dengan volksraad,” ungkap Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin (2003).
Satu sisi Belanda menganggapnya sosok yang kooperatif. Di sisi lain, Thamrin terus bergerak melawan dominasi Belanda di tanah Nusantara. Thamrin mendedikasi seluruh hidup dan matinya demi perjuangan bangsa Indonesia.
Makin hari kiprah Thamrin menggelorakan perjuangan untuk merdeka kerap dilakukan terang-terangan. Thamrin mencoba memberontak layaknya tokoh radikal (versi Belanda) seperti Soekarno dan Tjipto. Ia menolak untuk mengibarkan bendera Belanda di perayaan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940.
“Meski pada mulanya dipandang sebagai tokoh kooperatif, pada akhirnya hayatnya justru Thamrin dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Thamrin tidak mengibarkan bendera Belanda di rumahnya pada ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1940,” terang Sejarawan Asvi Warman Adam dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul M.H. Thamrin, Politikus yang Santun (2004).