Presiden B.J. Habibie Diragukan Mampu Mengusut Kasus Korupsi dan Pelanggaran HAM dalam Sejarah Hari Ini, 19 Juni 1999
Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia dari 1998-1999. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 24 tahun yang lalu, 19 Juni 1999 Harian Kompas mengeluarkan hasil jejak pendapat terkait tingkat kepercayaan publik terhadap satu tahun kepemimpinan Presiden Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie. Hasilnya rakyat dominan meragukan keseriusan Habibie mengusut korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebelumnya, segenap rakyat Indonesia menaruh perhatian lebih pada kepemimpinan Habibie. Ahli kedirgantaraan itu dianggap mampu membawa Indonesia lebih baik. Utamanya untuk mengembangkan sumber daya manusia Indonesia.

Pemerintahan Soeharto dan Orde Baru penuh dilema. Tiada yang menyangkal kepemimpinan Soeharto mampu membawa perubahan bagi Indonesia. Namun, tiada juga yang menyangkal pintu korupsi era Orba justru terbuka lebar.

Fakta itu membuat urusan korupsi di era Orba menjamur. Upaya memperkaya diri sendiri dengan jalur korupsi sudah tercium dan bahkan jadi hal biasa. Semuanya karena seluruh elemen pemerintahan terjangkit korupsi. Dari level atas hingga bawah.

Kegiatan itu langgeng karena tiada upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan gerak koruptor. Barang siapa yang coba melanggengkan protes, akan diasingkan oleh sistem. Apalagi Orba tak segan-segan menggunakan kuasa militer untuk itu.

B.J. Habibie sempat diragukan mampu mengatasi korupsi saat menjabat Presiden RI pada 1998-1999. (Antara)

Tiada celah bagi masyarakat untuk melanggengkan protes. Namun, resesi ekonomi mengubah segalanya. Resesi ekonomi membuat segenap rakyat Indonesia jatuh pada level terendah. Empunya kuasa panik bukan main. Perusahaan banyak gulung tikar. Demikian pula dengan munculnya pengangguran di mana-mana.

Imbas anjloknya nilai tukar rupiah membuat aksi demonstrasi muncul di mana-mana. Mereka meminta Soeharto turun. Alih-alih turun, Soeharto justru melancarkan gerakan represif – melanggar HAM. Aksi kekerasan terhadap mahasiswa berujung Tragedi Trisakti, misalnya. Ajian itu justru jadi senjata makan tuan Soeharto dan Orba hingga ia lengser.

“Naiknya kembali Pak Harto sebagai orang nomor satu di republik yang didampingi Pak Habibie -- wakil presiden ketujuh selama 30 tahun Pak Harto menjabat sebagai presiden menuai respons pro dan kontra. Terlebih lagi karena aroma Kerabat Cendana mewarnai susunan kabinet. Akibatnya, muncul isu tentang praktik kolusi dan nepotisme di kalangan masyarakat.”

“Apalagi ada kecenderungan praktik kekuasaan yang koruptif. Mahasiswa di berbagai daerah kemudian merespons kondisi tersebut. Mereka menggelar aksi demonstrasi menuntut reformasi dan pergantian rezim Orde Baru. Para mahasiswa menghendaki Pak Harto lengser. Mereka menduga Pak Harto telah melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) selama menduduki kursi RI I,” terang Sigit H. Samsu dalam buku Daya Akar Tiada Akhir (2021).

Tongkat estafet kepemimpinan Soeharto pun dilanjutkan Habibie pada Mei 1998. Segenap rakyat Indonesia menganggap Habibie dapat membawa warna baru bagi Indonesia. Namun, dalam satu tahun kuasanya, Habibie dianggap tak mampu mengerjakan tuntutan rakyat. Utamanya, dalam penegakan korupsi dan pelanggaran HAM.

Narasi itu semakin diperjelas dengan hasil jejak pendapat yang dilakukan Harian Kompas pada 19 Juni 1999. Hasil jejak pendapat itu menunjukkan bahwa rakyat ragu terdapat kepemimpinan Habibie dapat mengusut kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Jejak pendapat yang ada kemudian jadi bukti bahwa ganti presiden tak serta merta dapat langsung memuluskan keinginan rakyat Indonesia.

“Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas (19 Juni 1999), masyarakat meragukan keseriusan pemerintah B.J. Habibie dalam mengusut kasus-kasus korupsi (73 persen) dan pelanggaran HAM (67 persen). Demikian pula pandangan masyarakat tentang cara pemerintah memberantas KKN. Sebagian besar menilai cara pemerintah buruk (46,7 persen), biasa saja (9,0 persen), baik (35,6 persen), dan tak tahu (8,7 persen),” ujar Dadang S. Anshori dalam buku Bahasa Rezim: Cermin Bahasa dalam Kekuasaan (2020).