Megawati Soekarnoputri Ikut Mencari Supersemar yang Asli dalam Sejarah Hari Ini, 4 Mei 2001
Reklame terkait Supersemar yang menggambarkan Soekarno memberi wewenang kepada Soeharto pada tahun 1966. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 22 tahun yang lalu, 4 Mei 2001, Wakil Presiden, Megawati melanggengkan kunjungan ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Kedatangannya dalam rangka meminta ANRI untuk menelusuri Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang dikeluarkan oleh mendiang bapaknya, Soekarno.

Namun, keinginan Megawati cukup sulit dikabulkan. Supersemar yang asli telah hilang. Padahal Supersemar adalah dokumen penting yang menjadi penanda keruntuhan kuasa Bung Karno dan Orde Lama.

Kondisi ekonomi Indonesia di bawah kuasa Soekarno dan Orde Lama sedang tidak baik-baik saja. Apalagi, kondisi ekonomi itu bertambah buruk dengan munculnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Penculikan dan pembantaian sederet jenderal Angkatan Darat (AD) dianggap terlalu keji. Berita kekejamannya pun sampai muncul di berbagai media massa. Alhasil, amarah segenap rakyat Indonesia kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai dalang memuncak.

PKI diyakini melakukan G30S karena ambisi politik. Kegeraman rakyat pun memuncak. Narasi menginginkan pembubaran PKI menggema di mana-mana. Agenda turun ke jalan pun semakin masif. Protesnya tak melulu diarahkan kepada pembuburan PKI semata, tetapi ikut pula disuarakan perihal perombakan kabinet dan penurunan harga.

Salinan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). (Wikimedia Commons)

Tiga tuntutan itulah kemudian dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Pun makin hari, aksi mahasiswa semakin mengancam jalan pemerintahan. Kondisi yang tak kondusif itu membuat Bung Karno ambil sikap. Ia mengeluarkan Supersemar untuk memberikan perintah kepada Letjen Soeharto untuk menjaga ketertiban pada 11 Maret 1966.

“Pertemuan tiga jenderal AD (Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amir Machmud) tiba di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966 saya menyambut kedatangan mereka dan mengantarkan ke paviliun tempat Bung Karno dan Ibu Hartini tinggal. Pertemuan tiga jenderal dan Bung Karno inilah yang melahirkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang tersohor itu.”

“Usai pertemuan, Bung Karno menuju Jakarta naik helikopter. Waktu telah menjelang magrib dan tenyata tidak ada kendaraan yang membawa ketiga jenderal itu. saya menawarkan kendaraan saya dan mereka berkenang untuk berdesakan dalam mobil itu. saya antarakan mereka ke Jakarta dalam remang-remang malam yang mulai menyelimuti jalan. Berdasarkan Supersemar yang ditandatangani oleh Bung Karno sendiri itulah jalan hidup Bung Karno berubah dan karier politiknya berakhir,” ungkap ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Bersama Bung Karno (2010).

Kehadiran Supersemar itu dimanfaatkan Soeharto tak hanya untuk menjaga ketertiban, tapi juga untuk memukul mundur seluruh loyalis Bung Karno. Pun wewenang Supersemar itu dianggap jadi pintu Soeharto berkuasa di selama 32 tahun.

Khalayak umum pun penasaran isi sebenarnya dari Supersemar. Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang notabene anak Bung Karno, apalagi. Ia ingin menguak kebenaran dari Supersemar. Langkah itu dilakukannya kala berkunjung ke ANRI pada 4 Mei 2001.

Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia Periode 1999-2001 dan Presiden Indonesia periode 2001-2004. (Antara/Fikri Yusuf)

Megawati meminta petinggi ANRI untuk mencari Supersemar yang asli. Namun, keinginan Megawati tak kunjung diwujudkan. ANRI hanya menyodorkan dokumen versi TNI AD dan Sekretariat Negara belaka.

“Dalam kunjungannya ke Arsip Nasional tanggal 4 Mei 2001, Megawati Sukarnoputri yang ketika itu menjadi Wapres, memerintahkan lembaga arsip itu untuk menelusuri dokumen asli dengannya bapaknya telah melimpahkan kekuasaan kepada Jenderal Suharto tanggal 11 Maret 1966.”

“Ketika ia bertanya kepada Mukhlis Paeni, Direktur Arsip Nasional tentang dokumen yang hilang itu, diberitahukan kepadanya bahwa meskipun yang aslinya tolah hilang, namun dua versinya masih terdapat di badan arsip itu: yang satu dikeluarkan oleh Pusat Penerangan Angkatan Darat, dan yang satu lagi oleh Sekretariat Negara. Direktur itu mengatakan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang mencolok antara keduanya,” terang Laporan Harian Jakarta Post sebagai dikutip Victor M. Fic dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi (2005).