JAKARTA - Zaman dahulu kala Jakarta masih bernama Batavia, hidup seorang pemuda Tionghoa bernama Oey Tambah Sia. Mewarisi segala kekayaan dan nama harum sang ayah, Oey Tambah Sia tumbuh menjadi anak muda yang penuh kilau. Hasratnya pada perempuan begitu tak terkendali. Hasrat yang membawanya ke tiang gantung.
Kesohornya Oey Tambah Sia tak terlepas dari peranan ayahnya, Oey Thoa yang dikenal kaya raya di Batavia (Jakarta). Oey Thoa merupakan pedangang Tionghoa asal pekalongan yang memiliki toko sembako terbesar di daerah Toko Tiga, Jakarta pada 1830-an. Oey Thoa tak cuma terkenal karena kaya raya, namun juga karena sifat dermawannya. Selain itu, Oey Thoa menjabat sebagai Luitenand der Chinezen atau Letnan Etnis Tionghoa di Batavia.
Gelar tersebut didapatkan Oey Thoa karena kedekatannya dengan Mayor Tionghoa, Tan Eng Gan yang dikenal sebagai Ketua Dewan orang-orang Tionghoa. Nahas, setelah beberapa tahun menjabat, Oey Thoa meninggal. Atas jasa-jasanya, Oey Thoa mendapat gelar kehormatan dari otoritas setempat, yakni Oey Thay Lo yang berarti "Oey yang besar dan tua".
Selanjutnya, harta Oey Thoa yang meninggal pada usia 50 tahun dibagi ke tiga anaknya, termasuk Oey Tambah Sia. Sekilas informasi, Sia adalah gelar kehormatan bagi anak laki-laki orang berpangkat yang baru berusia 15 tahun. Mengenang Oey Thoa, Benny Setiono di buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) menggambarkan sosoknya sebagai Tionghoa pendatang yang dermawan, baik hati dan sering membantu.
“Berjiwa sosial dan sering memberikan pertolongan kepada orang-orang yang tidak mampu, namanya cukup dikenal. Setiap tanggal satu dan 15 kalender Tionghoa, ratusan orang miskin telah menantinya di Kelenteng Kim Tek Ie, tempat ia melakukan ibadahnya untuk menantikan saat ia membagikan bantuannya,” tulis Benny.
Playboy Tionghoa
Sayang, satu-satunya hal yang terwariskan pada Oey Tambah Sia hanyalah kekayaannya. Sifat-sifat baik sang ayah tak diserap oleh Oey Tambah Sia. Sang anak bahkan dikenal dengan watak sebaliknya. Oey Tambah Sia hobi berjudi sabung ayam. Ia juga doyan mengisap candu. Dan yang paling santer, Oey Tambah Sia dikenal sebagai pezina. Ia dicap sebagai playboy yang tak pernah puas dengan satu wanita.
Itulah mengapa Oey Tambah Sia menjadi pemuda yang begitu royal, namun juga sombong dan takabur. Dikutip dari Achmad Sunjayadi dalam buku [Bukan] Tabu di Nusantara (2018), kesombongan itu diyakini karena dalam usia ramaja Oey telah mendapat warisan dari kekayaan ayahnya. Ia tak pernah mengenal esensi bekerja keras.
Salah satu mitos yang paling dikenal dari kelakuannya adalah menghamburkan harta ayahnya dengan cara "... Jika selesai buang air besar di Kali Toko Tiga di depan rumahnya, ia selalu membersihkan dengan uang kertas. Tentu saja ulah nyeleneh itu menimbulkan kehebohan. Tiap pagi selalu terjadi perkelahian orang-orang yang memperebutkan lembaran uang kertas tersebut.”
Kebiasaan itu belum ada apa-apanya. Sesuatu yang membuat gempar Batavia tak lain karena kegemarannya mengganggu anak-istri orang. Oey Tambah Sia memang dikenal tampan. Ia juga pandai bergaya. Hobinya berkeliling kota menunggangi kuda Australia pada pagi dan sore hari untuk menemani perempuan-perempuan cantik. Setiap bepergian, Oey Tambah Sia selalu ditemani dua centengnya, Piun dan Sura.
Kalau pun tak menemui wanita cantik, Oey akan langsung mendatangi germo langganannya supaya mendapatkan referensi lebih lanjut terkait wanita yang sesuai tipenya. Tak segan-segan, dalam setiap aksinya merayu wanita, Oey Tambah Sia sering kali memanfaatkan kekuatan harta dan kekerasan dalam beraksi.
Cara itu sangat bekerja untuk Oey Tambah Sia. Kalaupun tidak, para centeng setianya akan melakukan segala cara untuk membahagiakan tuannya supaya mendapatkan imbalan yang besar. “Sebagai anak muda kaya, Oey Tambah Sia memiliki rumah peristirahatan di Ancol. Tempat itu ia beri nama Bintang Mas. Tidak hanya dipakai untuk plesiran, tapi juga tempat rendezvous dengan para perempuan yang berhasil di bujuk kaki tangannya atau tempat menyimpan mereka,” ungkap Achmad Sunjayadi.
Salah satu wanita yang berhasil dirayu dan ditempatkan di Bungalow Bintang Mas miliknya --yang mirip harem pangeran Timur Tengah-- adalah istri seorang pedagang kelontong di Tongkangan, Nyonya Khoe Tjin Yang. Untuk menggaet wanita cantik tersebut, Oey memanfaatkan jasa seorang Mak Comblang. Dari Mak Comblang itulah dirinya mendapatkan informasi bahwa hidup Nyonya Khoe Tjin sebagai istri pedangang kelontong serba kekurangan.
Tanpa menunggu lama, ajian harta kekayaan digunakan olehnya. Berhasil. Kendati demikian, Ibunda dari Oey Tambah Sia tak begitu senang dengan kebiasaan anaknya memiliki banyak wanita simpanan. Oleh ibunya, Oey Tambah Sia dibujuk untuk menikah baik-baik. Oey Tambah Sia tak menolak bujukan tersebut. Hanya saja, ia memberikan syarat agar calon istri dipilih langsung oleh dirinya sendiri.
Perburuan jodoh
Perburuan calon istri pun dimulai. Merasa tak mendapatkan wanita cantik di sekitar Glodok sampai pasar ikan, Oey Tambah Sia memperluas pencarian ke Pasar Baru dan Senen. Suatu ketika, kala Oey Tambah Sia melewati Gang Kenanga, Senen, tiba-tiba peti kayu jatuh dari loteng salah satu rumah. Perhatian orang-orang teralih pada kejadian itu. Saat itulah Oey Tambah Sia melihat seorang gadis dari keluarga Sim yang cantik jelita keluar rumah untuk mengetahui biang masalah keributan.
Beberapa hari kemudian, Oey Tambah Sia mengirimkan utusan ke keluarga Sim untuk mengabarkan keinginannya meminang sang gadis. Strategi yang sama pun digunakan. Ia menawarkan keluarga Sim dengan iming-iming harta dan lagi-lagi hal berhasil.
Singkat cerita, Oey Tambah Sia pun menikah pada usia 17 tahun dengan pesta besar-besaran. Jalan umum di sepanjang jembatan Toko Tiga sampai ujung Jalan Patekoan ditutup. Tenda-tenda terpasang di sekitarnya. Pesta perkawinannya pun menjadi salah satu pernikahan yang paling meriah di Batavia pada masanya. Kesenian, mulai dari wayang China, tayuban, arak-arakan, dan kembang api berlangsung selama beberapa hari dan disaksikan oleh beberapa para pejabat Belanda.
Akhir tragis Oey Tambah Sia
Seusai pesta perkawinan, Oey hanya sebulan betah berada di rumah. Hari-hari selanjutnya, ia mulai melakukan petualangannya kembali. Hati sang playboy kembali tersangkut. Kali ini oleh pesinden bernama Mas Ajeng Gunjing Pesinden tersebut ditemuinya kala menghadiri sebuah hajatan di Pekalongan, Jawa Tengah. Bermodal kekayaan dan wajah rupawan, Oey Tambah Sia berhasil memboyong pesinden cantik itu ke Batavia.
Seperti yang sudah-sudah. Betapun cintanya Oey Tambah Sia kepada Gunjing, kebiasaan lamanya berburu gadis, janda, dan istri orang lain masih tetap dilakoni. Gunjing yang semula ditempatkan di Bungalow Bintang Mas mulai tak kerasan berada di tempat yang sama dengan perempuan-perempuan Oey lainnya. Gunjing pun meminta dipindahkan ke rumah besar Oey di Tangerang.
Di sanalah awal mula masalah terjadi. Suatu waktu, rumah Oey didatangi oleh saudara jauh Gunjing bernama Mas Sutejo dari Pekalongan. Oey Tambah Sia tiba-tiba terbakar api cemburu melihat kedekatan Mas Sutejo dengan Gunjing. Oey Tambah Sia gelap mata. Ia memerintahkan centengnya untuk membunuh Mas Sutejo secara diam-diam.
Demi menutupi aksi pembunuhan, Oey Tambah Sia meracuni pembantunya yang bernama Tjeng Kie. Kemudian, Oey Tambah Sia bersiasat memfitnah seorang Tionghoa yang menjadi rivalnya, Liem Soe King sebagai pelaku pembunuhan. Tapi, siasat tersebut tak berhasil. Dalam sebuah penyelidikan, Liem terbukti tak bersalah. Liem berbalik mengumpulkan bukti kejahatan Oey Tambah Sia. Bahkan, Liem meminta Gunjing ikut membantu dan memberikan kesaksian kepada pihak polisi atas keterlibatan Oey Tambah Sia dalam dua kasus pembunuhan.
BACA JUGA:
Meski Oey Tambah Sia telah melakukan segala upaya untuk lolos dari jerat hukum, usahanya tampak sia-sia. Walau sempat berusaha naik banding, namun hal itu ditolak mentah-mentah. Oey Tambah Sia pun dijatuhi hukuman gantung. Petualangan sang playboy pun berakhir di tahun 1851.
Pada hari eksekusi, Oey Tambah Sia tampak gagah berjalan sendiri menaiki tangga tiang gantungan. Tak tergambar rasa takut di diri Oey Tambah Sia. Digambarkan oleh Alwi Shahab dalam buku Batavia Kota Hantu (2010), semua penonton yang berdiri di sekitar tiang gantungan kagum melihat keberaniannya. Kala algojo mulai memasukkan tali gantungan ke lehernya, Oey Tambah Sia malah berseloroh:
Dikantong bajuku, ada selembar uang kertas 50 gulden untuk kau punya upah. Namun, aku minta kau jangan terlalu bengis jiret batang leherku.