JAKARTA - Jurnalis senior yang juga sejarawan Betawi, Alwi Shahab meninggal dunia pada Kamis, 17 September. Seperti banyak diwartakan media massa, Abah Alwi –-sapaan akrabnya-- mengembuskan napas terakhir di kediamannya, di Kompleks Balekambang Asri Nomor 14, Gang Haji Sarbii, Jalan Munggang, Condet, Jakarta Timur.
“Kabar duka kembali datang menghampiri dunia jurnalistik Indonesia. Tokoh pers dan wartawan senior Republika Alwi Shahab meninggal dunia pada Kamis, 17 September dinihari. Alwi Shahab adalah wartawan yang telah berkontribusi pada dunia jurnalistik Indonesia sejak era Bung Karno,” tulis Republika mengenang Abah Alwi di Instagram.
Duka itu juga dirasakan penikmat karyanya di seluruh pelosok Nusantara. Termasuk kami. Bagi kami, Alwi Shahab adalah tokoh penting dalam literasi sejarah Jakarta dan Betawi. Menteri BUMN Erick Thohir menggambarkan Alwi Shahab sebagai wartawan senior berdedikasi tinggi.
"Innaillahi wa innailahi rajiun. Telah berpulang salah satu wartawan senior Republika, Alwi Shahab, yang memiliki dedikasi tinggi, berkepribadian baik, dan loyalitas kepada pekerjaan yang luar biasa," Erick Thohir, dalam keterangannya, dikutip VOI, Kamis, 17 September.
Sejarawan muda JJ Rizal juga mengutarakan duka. Sebagai sesama pegiat literasi sejarah Ibu Kota, Rizal mendeskripsikan Alwi Shahab sebagai sosok terbaik dalam menceritakan sejarah Jakarta. Kehidupan Alwi Shahab di Jakarta telah mengakar lewat tiga zaman yang ia lalui. Alwi Shahab mencicipi fase kehidupan di zaman Belanda, zaman Jepang, masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga hari ini, era reformasi.
"Sedih deh kita kehilangan tukang cerita terbaik kota Jakarta. Terbaik karena ia dapat menyajikan kisah kampung-kampung di Jakarta dengan manusianya, sehingga mampu menuturkan sejarah kota dari suara orang kecil terutama kaum Betawinya yang meskipun adalah mukimin awal tetapi sedemikian rupa dalam periode yang panjang centang perenang jadi korban ketidakadilan pembangunan dari masa kolonial dulu sampai hari ini," kata JJ Rizal, dikutip Liputan6.com, Kamis, 17 September.
Rizal menambahkan, kepiawaian Alwi Shahab sebagai jurnalis senior tak perlu diragukan lagi. Ia begitu andal mengumpulkan dan mengelola sumber sejarah, baik lisan dan tulisan. Hal itu yang menurut Rizal adalah keunggulan utama Alwi Shahab. Hal itu pula yang membuat karyanya selalu ditunggu pembaca.
“Setiap ceritanya ditunggu-tunggu karena (karyanya) bukan sekadar gimnastik bahasa belaka, pamer referensi akademik, tetapi proses pengalaman yang dikucurkan dengan keberpihakan kepada bagaimana kota Jakarta itu seharusnya. Bukan hanya jadi mimpi kaum arsitokrasi uang dan politik yang cenderung deskriminatif, tetapi menjadi kota kita bersama," tambahnya.
Abah Alwi dan jurnalistik
Kebanyakan orang mengenal sosok Abah Alwi yang lahir di Jakarta, 31 Agustus 1936 sebagai seseorang yang kerap mengangkat permasalahan kota Jakarta, terutama sejarah dan kisah-kisah tempo dulu. Sederet buku ia hasilkan. Sebit saja, Robinhood Betawi (2010), Saudagar Baghdad dari Betawi (2004), Oey Tambah sia: Playboy Betawi (2007), Batavia Kota Banjir (2009), Batavia Kota Hantu (2010), dan lainnya.
Sebagai jurnalis, karier pertama Abah Alwi adalah berkerja di Arabian Press Board di Jakarta. Tiga tahun kemudian, Abah Alwi Hijrah ke Kantor Berita Antara. Kala itu dirinya belajar banyak hal sebagai jurnalis, mulai dari menjadi reporter kota, kepolisian, parlemen, hingga bidang ekonomi.
Meski begitu, karier terbaik yang dimiliki anak Betawi kelahiran Kwitang adalah menjadi wartawan istana selama 1969 hingga 1978. Bukan cuma itu. Abah Alwi kerap dikirim dalam liputan ke negara seberang. Saat tentara Malaysia melakukan penumpasan gerakan komunis di perbatasan Malaysia-Thailand pada 1983, misalnya. Abah Alwi hadir di tempat itu untuk menjalani tugas sebagai pewarta.
Abah Alwi pensiun dari Antara pada 1993. Setelahnya, ia bergabung dengan Harian Umum Republika. Atas pengalamannya sebagai jurnalis senior, Abah Alwi tak kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kantor yang dihuni oleh sebagian besar kaum muda.
Bak gayung bersambut, berkarier di Republika nyatanya jadi awalan bagi Abah Alwi menulis terkait sejarah Kota Jakarta. Banyak rubrik diisi Abah Alwi, mulai dari rubrik Sketsa Jakarta hingga Nostalgia.
Kepiawaiannya menulis tempat di mana dirinya tumbuh dan berkembang membuat Abah Alwi tak pernah kehabisan bahan untuk menulis sejarah Jakarta. Alhasil, keseriusannya mendalami Jakarta berbuah banyak buku yang menceritakan Jakarta dan segala problemanya dalam lintasan zaman.
Abah Alwi dan Jakarta
Sebagai sosok yang piawai mengulas sejarah Jakarta, Abah Alwi selalu mengedepankan objektivitas penulisan. Segala macam buku sumber sejarah, hingga mendatangi narasumber dan melakukan observasi lapangan demi mendapatkan fakta penulisan sering dilakukan Abah Alwi.
Saat menulis terkait jago Betawi, Entong Gendut, misalnya. Abah Alwi mendatangi langsung seorang narasumber, H. Entong bin Syaichun yang menyaksikan langsung bagaimana Entong Gendut dengan berani pasang badan membela petani dari gangguan kompeni di tahun 1916.
Dikutip dari tulisan berjudul Condet dan Pembrontakan H. Entong Gendut dalam buku "Betawi: Queen of the East" (2002), H. Entong Bin Syaichun memberi keterangan kepada Abah Alwi bahwa rakyat Condet ketika itu hidup dalam tekanan pihak Kompeni dan tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedong. Detail peristiwa itu pernah kami ulas dalam tulisan Kala Entong Gendut Mengangkat Keris: Ketika Petani Melawan Polisi dan Ketidakadilan.
Karya lain dari Abah Alwi yang paling monumental adalah ketika ia menceritakan kisah hidup seorang playboy Tionghoa bernama Oey Tambah Sia. Dalam bukunya berjudul Oey Tambah Sia: Playboy Betawi (2007), Abah Alwi mendalami berbagai sumber sejarah, membuat para pembaca nikmat dengan kisah yang sejatinya masih awam ditelinga orang banyak.
BACA JUGA:
"Abah Alwi membahas cerita seorang playboy yang berwajah tampan, mewarisi kekayaan bapaknya, suka main wanita dan berakhir dengan dieksekusi pada tiang gantungan. Abah Alwi bahkan melukis suasana kala algojo mulai memasukkan tali gantungan ke lehernya. Oey Tambah sia kemudian berseloroh, seperti yang kami pernah ulas dalam tulisan Kisah Playboy Tionghoa Oey Tambah Sia yang Berakhir di Tiang Gantung.
“Di kantong bajuku, ada selembar uang kertas 50 gulden untuk kau punya upah. Namun, aku minta kau jangan terlalu bengis jiret batang leherku.”
Kiranya, itulah sederet karya yang dapat dinikmati untuk mengenang jejak beliau meneropong masa lalu Jakarta. Abah Alwi, dalam setiap karyanya setia menyelipkan budaya Betawi, entah itu perihal tradisi, daur hidup, filosofi kehidupan dan lain sebagainya. Selamat jalan, Abah Alwi, kisahmu tentang Jakarta abadi. Kami akan berada di sana untuk menciptakan keabadian itu.