Sisi Radikal Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Kiprah Ki Hajar Dewantara sebagai sosok yang memajukan pendidikan nasional tak perlu diragukan lagi. Hadirnya Taman Siswa sebagai sebuah lembaga yang memberikan kesempatan bumiputra jelata untuk memperoleh pendidikan selayaknya kaum priayi dan orang Belanda adalah buktinya. Jauh sebelum itu, Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai sosok yang radikal dalam pergerakan nasional. Radikal dalam konteks hari itu, tentunya. Sebelum radikal dibelokkan dalam konotasi negatif sebagaimana hari ini.

Sedari kecil, sosok yang bernama asli Soewardi Soerjaningrat dikenal memiliki sifat pemarah dan mudah terbakar. Dikutip dari Irna H.N Hadi dalam buku Soewardi Soejaningrat dalam Pengasingan (1985), meski terkenal keras hati dan nakal, sejak kecil Soerwardi memiliki sifat membumi. Ia terbiasa bergaul dengan anak-anak yang bukan keturunan bangsawan. Namun, sifat itu juga yang sering membawanya ke dalam perkelahian dengan anak-anak Belanda.

Suatu ketika, saat pulang sekolah, Soetartinah diganggu oleh Karel, anak Belanda yang sering memancing pertengkaran. Melihat hal tersebut, Soewardi dan kawan-kawannya tak tinggal diam. “Mereka menghadang di tikungan jalan. Ketika sudah saling berhadapan, gerombolan Karel dan Soewardi saling mengumpat dan mencaci. Dengan bahasa Belanda yang fasih, Soewardi memaki. Perkelahian pun tidak dapat dihindarkan,” ungkap Irna.

Setelah tamat dari Europeesche Lagere School (ELS) --tempat anak-anak kulit putih dididik bersama dengan anak golongan priayi, Soewardi kemudian melanjutkan pendidikannya ke School Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Di sekolah ituah pangeran Jawa tersebut bergaul dengan para pemuda berbagai suku bangsa dari pelosok negeri.

Meski begitu, aturan yang dihadirkan di STOVIA menurutnya banyak mengandung diskriminasi, yang mana hal itu sangat menyinggung perasaan. Beberapa di antaranya terkait larangan bagi para pelajar dari Jawa dan Sumatra memakai pakaian Eropa, kecuali mereka beragama Kristen.

Akan tetapi, Soewardi menjadikan larangan tersebut sebagai sebuah kebanggaan. Oleh peristiwa itulah, Sowardi semakin bangga memakai pakaian tradisional dalam kesehariannya. Tercatat, dirinya sampai akhir hayatnya sering mengenakan sarung, jas, dan peci.

Ki Hajar Dewantara bersama rekan pribuminya (Sumber: Commons Wikimedia)

Tak hanya itu. Ada pula diskriminasi lainnya di STOVIA yang melarang siswa yang hidup di asrama untuk tidak merayakan hari raya Idulfitri dengan membunyikan petasan. Padahal, Idulfitri bagi masyarakat Indonesia mempunyai sifat nasional.

Dalam artian, perayaan Idulfitri sudah lazim dikenal di seluruh Indonesia, terutama dengan gegap gempita bunyi petasan. Terkait petasan, kami pun pernah mengulasnya dalam tulisan “Gelagar Riwayat Petasan di Bulan Ramadan”.

“Oleh sebab itu, Soewardi dan teman-temannya membunyikan beberapa puluhan mercon. Akibatnya, pimpinan asrama marah dan Soewardi bersama kawan-kawannya dimasukkan ke dalam kamar tertutup sebagai hukuman,” tertulis dalam buku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 1945-2018 (2018).

Andai aku Belanda

Pada akhirnya, Soewardi tak menamatkan pendidikan di Sekolah Dokter Jawa STOVIA. Lantas, dirinya kemudian pindah ke Bandung pada 1912. Itulah titik mula dirinya bergabung dengan surat kabar De Expres sebagai editor.

Sebagai sosok yang bernyali tinggi, kesempatan mengkritik Belanda kemudian muncul pada parayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari jajahan Prancis pada 1913. Kompeni kala itu ingin merayakan perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dalam skala besar dengan mengikutsertakan pribumi.

Momentum itulah yang dimanfaatkan oleh Soerwardi bersama tokoh tiga serangkai lainnya, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ernest Douwes Dekker. Soewardi kemudian mendirikan Komite Bumiputra yang kemudian menerbitkan artikel berjudul Als ik eens Nederlander was (1913).

Artikel yang kalau di terjemahkan menjadi bahasa Indonesia “Seandainya Aku Seorang Belanda” itu menjelma menjadi tulisan yang paling radikal di Hindia-Belanda. Soewardi menulis seolah-olah dirinya orang Belanda yang mengkritik kontradiksi perayaan besar-besaran kemerdekaan Belanda dari jajahan Prancis. Sementara, Belanda masih menjajah di tempat perayaan berlangsung.

“Sungguh, seandainya saya ini orang Belanda, maka saya tak akan pernah mau merayakan pesta peringatan seperti itu di sini, di suatu negeri yang kita jajah. Berikan dahulu rakyat yang tertindas itu kemerdekaan, baru sesudah itu kita memperingati kemerdekaan kita sendiri!” tulis Soewardi.

Kendati demikian, pada mulanya artikel tersebut tidak membuat pemerintah Belanda mengambil langkah-langkah mengasingkan Soewardi dari Hindia Belanda. Sebagaimana yang ditulis oleh Takashi Shiraishi dalam tulisan berjudul Impian Mereka Masih bersama Kita dalam buku "1000 Tahun Nusantara" (2000), persoalan mulai timbul setelah artikel yang ditulis Soewardi diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

“Meski isinya bernada Subversif, tulisan itu tidak berbeda dengan sekian banyak artikel yang diterbitkan Douwes Dekker dalam De Expres. Bedanya, De Expres adalah Koran berbahasa Belanda yang hanya dapat dimengerti orang-orang yang melek bahasa Belanda. Sementara, artikel Soewardi yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dapat dibaca banyak orang yang melek bahasa Melayu,” imbuh takashi Shiraishi.

Atas artikel itu, Kompeni menganggap artikel Soewardi sangat berbahaya. Sebab, disinyalir tulisan Soewardi dapat membakar semangat dan mempengaruhi golongan bumiputra lainnya untuk melawan Kompeni. Maka, pemerintah Belanda mengambil tindakan dengan segera memangkap dan membuang tiga serangkai (Soewardi, Douwes Dekker, Tjipto) keluar dari Hindia-Belanda.

Tiga Serangkai (Sumber: Commons Wikimedia)

"Dalam peristiwa Komite Bumiputra, Dekker dianggap sebagai 'pengabar Injil yang melenceng' (oleh Kompeni), sementara Tjipto dan Soewardi adalah rasul-rasulnya," kata Kenji Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (2019).

Sebelum dibuang, di persidangan Kompeni pun sempat peduli kepada Soewardi karena dirinya berasal dari kalangan bangsawan. Kompeni saat itu berniat ingin membebaskan Soewardi dari segala tuduhan asalkan dirinya mau mengundurkan diri dari segala macam kegiatan politik.

Sayangnya, Soewardi sudah berniat untuk tidak melangkah surut. Sampai-sampai, Ayah Soewardi, Pangeran Soerjaningrat diminta untuk menasehati anaknya. Ajaibnya, komentar sang ayah tampak bersimpati dengan Soewardi dengan berucap: Dia memang anak berandal.

Alhasil, Soewardi diasingkan ke Belanda selama enam tahun. Baru pada 1919, dirinya tiba kembali ditanah air. Lantaran jiwa yang masih menggebu-gebu menggelorakan perlawan kepada Belanda dengan tulisannya yang tajam, Soewardi sering kali berurusan dengan pihak berwajib, bahkan Soewardi sempat merasakan menjadi dinginnya ubin penjara.

Soewardi pun mulai merubah gaya radikalnya dalam pergerakan saat istrinya jatuh sakit. Semenjak itu, arah perjuangan Soewardi berubah. Dari situlah Soewardi memilih pendidikan sebagai wabahnya berjuang. Dirinya turut mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922, dan mencoba melepas kebangsawanannya dengan memakai nama baru: Ki Hajar Dewantara.