JAKARTA – Memori hari ini, 15 tahun yang lalu, 27 Maret 2009, Tanggul Situ Gintung yang berada di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten jebol. Peristiwa itu membawa kedukaan yang mendalam. Semuanya karena mereka yang meninggal dunia mencapai 100 orang dan ratusan rumah rusak hingga hancur.
Sebelumnya, tanggul buatan Belanda era 1932-1933 terlihat mulai tak terawat. Kondisi kerusakan macam keretakan tembok sudah jadi perhatian warga setempat. Mereka mencoba melaporkan kepada pemerintah setempat, tapi empunya kuasa abai.
Tanggul Situ Gintung pernah jadi andalan untuk irigasi. Namun, tak demikian dengan era kekinian. Usianya sudah uzur. Kehadiran Situ Gintung tak lagi memiliki manfaat signifikan. Semuanya karena sawah-sawah yang ada telah berganti dengan pembangunan perumahan dan lain sebagainya.
Tanggul itu mulai tampak kerusakannya pada era 2000-an. Pemeriksaan rutin yang notabene tanggung jawab pemerintah jarang dilakukan. Warga setempat pun berinisiatif melihat adanya keretakan di tanggul sedari 2006. Masalah muncul. Laporan ditanggapi sekenanya.
Empunya kuasa mencoba menurunkan orang untuk memperbaiki. Namun, tak efektif. Perbaikan yang dilakukan tak lebih dari sekedar polesan. Tak mendasar sampai masalah yang dikeluhkan dapat terselesaikan dengan baik.
Kondisi itu bak menabung petaka besar. Hujan yang tak henti-hentinya membuat air menumpuk di Tanggul Situ Gintung pada 26 Maret 2009. Volume air lebih dari 2,1 juta meter kubik. Volume itu nyatanya melampui kapasitas maksimal waduk.
Malang tak dapat ditolak. Tanggul Situ Gintung pun jebol pada 27 Maret 2009. Wilayah Cirendeu, Ciputat Tangerang, Banten, bak diterjang tsunami. Pemukiman di bawah tanggul hancur-lebur – Perumahan Pratama dan Perumahan Cirendeu.
“Perbaikan menyeluruh tetap tertunda, padahal sudah pula diketahui ada retakan di dasar limpasan air (spill way). Sikap abai semacam ini jelas tak dapat ditenggang. Jumat dinihari itu, sikap abai inilah pula yang harus dibayar mahal. Tanggul jebol. Volume air Situ Gintung, normalnya 1,5 juta meter kubik dan diperkirakan menjadi 2,1 juta meter kubik ketika hujan deras pada Kamis malam, tumpah dalam sekejap menjadi kekuatan alam dengan daya destruksi yang dahsyat.”
“Beberapa pejabat, seperti biasa, kurang menyukai langkah introspektif. Mereka memilih menyalahkan intensitas hujan yang turun melampaui kebiasaan. Tentu saja alasan ini tak lucu lagi. Sudah sejak beberapa tahun lalu, terkait dengan fenomena pemanasan global, cuaca berayun ekstrem. Sudah seharusnyalah pemerintah menghitung kemungkinan curah hujan yang luar biasa tinggi,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Lampu Merah Situ Gintung (2009).
Kerugian dari peristiwa itu bejibun. Rumah warga yang rusak parah mencapai 300 buah. Pun mereka yang meninggal dunia karena diterjang air bah mencapai 100 korban jiwa. Jatuhnya korban dalam jumlah besar itu disinyalir karena warga tak mendapatkan peringatan apa-apa.
BACA JUGA:
Mereka hanya tahu bahwa tanggul tak lagi layak. Warga setempat tak menyangka volume air yang tinggi dapat membuat tanggul jebol. Seisi Indonesia pun berduka. Mereka tak kuasa menahan kesedihan karena masalah itu harusnya dapat dengan cepat ditanggulangi sehingga korban jiwa tak berjatuhan.
"Kemarin siang itu hujan deras sejak pukul 14.00 WIB sampai maghrib jam 18.00 WIB hingga air tanggul penuh. Malam sekitar pukul 00.00 WIB, tanggul sudah mulai retak, tidak lama jebol, byuurr…" terang warga Kampung Situ Gintung, Mulyadi sebagaimana dikutip laman Detik.com, 27 Maret 2009.