JAKARTA - Ia adalah pemberontak paling terkutuk di mata Belanda. Bagi Jepang, ia adalah simbol perlawanan terhadap Kolonial. Untuk bangsa Indonesia, ia adalah pejuang kemerdekaan. Ia tak lahir dari peranakan Ibu Pertiwi. Ia adalah penduduk Eurasia (Indo-Eropa) Batavia. Inilah kisah tentang Pieter Erberveld.
Di tahun 1721, Pieter Erberveld menyusun rencana mengusir Belanda. Serangkaian pertemuan ia gelar bersama rekan-rekan pribuminya yang lain. Namun, tepat sebelum hari H rencana dijalankan, kabar pergerakan yang disusun Erberveld bocor ke telinga kompeni. Salah seorang rekan pribuminya berkhianat.
Akibatnya, sebagaimana yang dikisahkan William Bradley Norton dalam artikelnya --yang kemudian menjadi buku-- berjudul Pahlawan dari Batavia, "Erberveld segera ditangkap dan dieksekusi dengan cara mengerikan bersama rekan pemberontak lainnya --Cartadrie, 14 orang pria lain dan tiga orang wanita," tertulis.
Eksekusi Erberveld membuat namanya dikenang sebagai "Pangeran Pecah Kulit". Julukan itu menggambarkan betapa mengerikannya eksekusi yang dilakukan. Kedua tangan dan kaki Erberveld diikat dan ditarik oleh empat kuda yang berlari berlawanan arah. Tubuh Erberveld terbelah menjadi empat bagian.
Belum selesai. Kepala Erberveld kemudian dipenggal dan ditancapkan ke sebuah tombak. Satu tahun berselang, tepatnya 14 April 1722, Belanda membangun sebuah monumen. Monumen berbahasa Belanda dan Jawa itu dibuat dengan tujuan menjadikan kisah Erberveld sebagai peringatan untuk masyarakat.
“Sebagai kenang-kenangan yang menjijikkan atas dihukumnya sang pengkhianat: Pieter Erberveld. Karena itu dipermaklumkan kepada siapa pun, mulai sekarang tidak diperkenankan untuk membangun dengan kayu, meletakkan batu bata dan menanam apa pun di tempat ini dan sekitarnya. Batavia, 14 April 1722,” tertulis dalam monumen tersebut.
Dulu, monumen ini dapat dikunjungi di kawasan Jacatraweg --sekarang menjadi jalan pangeran Jayakarta. Kala itu, Monumen Kepala Erberveld masyhur lantaran dilalui jalur trem listrik yang beroperasi pada tahun 1925. Turis yang melancong ke Hindia Belanda kala itu paling tidak menyempatkan diri melihat atau bahkan berhenti di monumen yang disebut-sebut dengan konspirasi 1721.
Saking masyhurnya Jacatraweg kala itu, Mr Speenholf sampai menulis lagu dengan bait terkutip: At long last I enjoyed my self/ ouside Batavia along the green/ heather on Jaketra road.
Strategi pembangunan monumen dapat dikatakan efektif. Kenapa? Karena setelah kejadian itu, hampir tak ada lagi pemberontakan melawan kompeni di Batavia. Fakta itu diungkap oleh Mayumi Yamamoto dalam buku Pahlawan dari Batavia.
Kaneko Mitsuhari, dalam antologi buku berjudul Kaneko Mitsuhari Shishu mengungkap kemasyhuran Monumen Kepala Erberveld bahkan lebih masyhur dari patung perunggu Gubernur Jenderal sekaligus pendiri Batavia, Jan Pieterszoon Coen.
Melihat langsung Monumen Erberveld
Dari kisah Monumen Erberveld, kita dapat belajar banyak hal tentang kemerdekaan. Lantas, ke mana harus pergi untuk melihat monumen tersebut? Apakah ia masih berdiri di tempat yang sama di Kampung Pecah Kulit di Jalan Jacatraweg alias Jalan Pangeran Jayakarta?
Sayang, informasi yang kami dapat mengungkap bahwa monumen tersebut telah dibongkar pada tahun 1942. Kala itu, pembongkaran disertai upacara penguburan tengkorak oleh pasukan Jepang. Mereka menganggap Erberveld terlalu banyak menggambarkan sejarah kelam masa kolonial. Dan dihapuslah sejarah itu.
Pascakemerdekaan Indonesia, monumen tersebut didirikan kembali. Namun, bukan di tempat asalnya di Jacatraweg. Kini, Monumen Erbelveld dengan gagah berdiri di Museum Taman Prasasti atau dulu lebih dikenal dengan nama Kerkhof Laan. Kami mengunjunginya, menginjakkan kaki di museum yang dahulu dijuluki kuburan orang Belanda atau Graff der Holanders.
Di tempat tersebut, kami dapat menemukan makam istri Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles, Olivia Marianne Raffles. Selain itu, kita juga dapat menemukan makam pendiri sekolah kedokteran, Stovia, Dr. H. F. Roll yang tewas pada tahun 1935. Makam penulis catatan harian Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie pun dapat kita temukan.
Langkah kami berakhir di hadapan monumen berciri khas tengkoran tertancap. Sejenak, ingatan tentang narasi yang disampaikan Mayumi Yamamoto kembali. Susunan taman dengan batu-batu nisan yang tersusun menggambarkan profil Erberveld sebagai pahlawan kemerdekaan. Atau, setidak-tidaknya pahlawan antikolonial.
Tak cuma menjadi simbol utama kekuatan nasionalisme Indonesia, Erberveld yang merupakan Muslim juga jadi simbol identitas Islam pada masanya. Namanya tak begitu dikenal. Ia jauh lebih sunyi dari Soekarno, Tan Malaka, atau pun Thomas Stamford Raffles. Namanya asing dari tumpukan literasi di sekolah-sekolah. Tapi, pergerakannya untuk kemerdekaan bukan perkara sepele.
Dan dibangunnya kembali Monumen Erberveld pada zaman Orde Baru rasanya patut diapresiasi. Setidaknya pemerintah menunjukkan penghargaannya terhadap makna yang mewakili semangat seluruh bangsa Indonesia dari kisah martir Erberveld. Dan yang terpenting, Jas Merah. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.