Bagikan:

JAKARTA - Di bangku sekolah, manusia selalu dinarasikan sebagai makhluk sosial. Dikatakan demikian karena manusia memiliki dorongan kuat untuk berinteraksi kepada sesama. Seperti kata filsuf Yunani, Aristoteles: Makhluk sosial adalah zoon politicon, yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain.

Di Indonesia, tradisi berkumpul cukup lestari. Setiap kelompok --termasuk ketika dibagi per daerah-- memiliki sebutan masing-masing untuk menggambarkan istilah kumpul. Di kalangan masyarakat Betawi, orang-orang menyebutnya "kongko."

Dalam tradisi Betawi, kongko dimaknai sebagai wadah untuk membicarakan ragam topik, dari yang resmi hingga santai. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan arti kongko sebagai tindakan bercakap-cakap yang tidak ada artinya atau mengobrol.

Jika digali secara etimologi, maka kata kongko dalam dialek Melayu Betawi berasal dari bahasa Tionghoa dialek Hokkian sub dialek Emwi (Amoy) 講古/ 讲古 (baca: kóng kó) yang secara harfiah memiliki arti bercerita tentang segala hal yang terjadi di masa lampau. Karena itu, secara garis besar kongko digambarkan sebagai aktivitas berinteraksi serius ataupun santai terkait masa lalu.

Ilustrasi foto (Sumber: Wikimedia Commons)

Gambaran sejarah kongko direkam Zeffry Alkatiri dalam buku Jakarta Punya Cara (2012). Ia menjelaskan, tradisi kongko pertama kali dipopulerkan oleh orang China-Betawi jauh sebelum Indonesia merdeka. Saat itu, orang China-Betawi memiliki kebiasaan kumpul bersama sanak famili setiap sore hingga menjelang malam di serambi rumah.

“Pada waktu itulah mereka mengobrol dengan kerabat, teman atau tetangga. Selain itu, kongko-kongko juga dilakukan secara tertutup di suatu tempat yang hanya diketahui oleh orang yang perlu saja. Kongko-kongko seperti itu biasanya membicarakan masalah bisnis atau masalah kekerabatan yang penting,” Zeffry menulis.

Saking kesohornya tradisi kongko, imbasnya kongko pun menjadi lestari pada tiap kawasan pecinan. Sebut saja seperti di Pasar Baru, belakang Glodok, Taman Sari, Gunung Sahari, dan beberapa tempat lainnya.

“Mereka biasanya menggunakan setelan baju tidur. Mereka kongkowan leha-leha uncang-uncang kaki, sambil berkipas dengan kipas bambu dan makan panganan kecil, seperti kacang atau kuaci, yang diselingi minum teh atau es sirop.”

Akan tetapi, bahan yang diceritakan masih pada koridor masa lalu, yang umumnya membahas perihal leluhur mereka. Dikutip dari G.J Nawi dalam tulisannya Kongko Betawi (2019), lestarinya tradisi ini terletak dari kongkowan yang senantiasa secara bergantian bercerita. Ada pun panganan sebagai pelumas obrolan, antara lain seperti kue satu, manisan yanwo (sarang walet), teh, dan kopi atau bahkan ciu (arak).

“Kemudian kebiasaan ini diadaptasi oleh masyarakat Betawi dengan duduk di bale-bale depan rumah, bercengkerama ngalor-ngidul sambil ditemani kudapan seperti roti gambang, kue lopis, ketan urap, dan minuman kopi atau teh yang tidak terlalu kental dan manis (nyahi).”

Kendati demikian, obrolan tak cuma terbatas pada topik masa lalu, seperti orang China. Melainkan topik menjadi berkembang dan melebar ke masa kini hingga masa depan. “(Semuanya) tergantung topik yang akan dibahas. Intinya adalah mengisi waktu luang.”

Sarat manfaat

Untuk mendapat gambaran lebih luas terkait tradisi kongko, kami menghubungi budayawan Betawi, Masykur Isnan. Baginya, kongko merupakan bagian dari aktivitas silaturahmi orang Betawi. Yang mana, bagi orang Betawi melakukan silaturahmi merupakan hal yang penting dan telah dilakukan secara turun-temurun.

Dalam tradisi kongko, orang Betawi menjadi paham bahwa dunia tak ubahnya sebagai tempat yang dikonstruksikan untuk menjaga persahabatan. Saking pentingnya kongko, aktivitas berkumpul itu tak hanya dianggap sebagai sarana berbagi cerita. Namun dalam setiap kali kongko, orang Betawi pun memilki ketergantungan emosional dan sosial antar satu dan lainnya.

“Kongko biasaya dilakukan secara cair, sederhana, dan tanpa sekat. Para kongkowan begitu bebas dalam bicara apa saja tergantung konteks yang ingin dibicarakan. Itulah mengapa kongko bukanlah bentuk tradisi berkumpul yang melulu menghabiskan waktu. Sebab, kongko dapat menjadi pematik produktivitas dan kreativitas,” ungkapnya kepada VOI, beberapa waktu lalu.

Wujud produktivitas dan kreativitas dari kongko sempat pula disinggung lagi oleh G.J Nawi dalam tulisan lainnya di Buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016). Olehnya diungkap ragam kesenian Betawi, seperti Lenong –teater rakyat-- lahir lewat Rahim budaya kongko.

BACA JUGA:


“Teater Betawi umumnya lahir secara kebetulan dari orang-orang yang berkumpul (kongko), seperti di pasar atau tempat lain untuk mengisi waktu, menghibur diri, yang di masa lalu terdiri dari berbagai macam etnis,” tulisnya.

Sayangnya, kebiasaan kongko perlahan-lahan mulai bersalin nama menjadi nongkrong. Setali dengan itu, kebiasaan berkumpul di wilayah pecinaan nyaris tak ada lagi. Alasannya, karena generasi mereka sudah banyak yang meninggal atau telah pindah.

Meski begitu, esensi antara kongko maupun nongkrong bagi orang Betawi niscaya tetap sama. Yakni sama-sama menjadi bukti jikalau manusia butuh yang nama silahturahmi. Dalam artian, frekuensi ketergantungan antar manusia dan manusia lainnya sangat tinggi. Baik itu perihal ketergantungan emosional, maupun sosial.